Demi mengakali kebutuhan berbelanja Lebaran di waktu—dan THR—yang kian menipis, awak CXO Media mendadak memilih thrifting sebagai jalan keluar. Memanfaatkan kondisi jalanan senggang di waktu bulan yang semakin meninggi, kami melaju lincah dari selatan ke pusat kota Jakarta, untuk mengunjungi kawasan Pasar Senen, dengan setelan seadanya yang "merakyat".
Asalnya, keputusan ini diambil dalam tempo yang singkat, alias demi merampungkan kegiatan "fun" di kantor sepanjang hari, alias guna menutup hari yang panjang (sedikit sesi lembur dan beberapa match seru di permainan FIFA) dengan aktivitas yang lebih menyenangkan. Ya, walaupun ikut dilatari alasan ekonomis, pergi thrifting ke sentra barang second legendaris, Pasar Senen, juga menjadi satu pembuktian bagi kami.
Odin, Kiki, dan Saya bersiap mengunjungi Pasar Senen./ Foto: CXO Media/Istimewa |
Seperti halnya, mengintip isu penurunan iklim thrift usai pemerintah mengeluarkan peraturan yang hemat riset; menguji excellent communication skill yang tercantum di profil LinkedIn; hingga membuktikan bahwa lirik penjelas "...tak punya pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama..." dari lagu "Baju Baru" Dhea Amanda, tetap bisa direspon dengan syukur "Alhamdulillah".
Terlebih lagi, sebagaimana cerita warisan para tetua, daerah yang diapit stasiun kereta api dan mall ini, masih konsisten menurunkan sandang berkualitas kepada masyarakat, baik di bangunannya yang sedikit usang, hingga di tepi-tepi jalan.
Tidak terkecuali saat malam hari, di mana eksotika thrifting di Pasar Senen akan lebih terang-benderang. Entah karena matahari di seberang jalan sudah meredup, atau karena riuh aktivitas perdagangan yang berjejeran sejak sejengkal dari terminal, berlanjut menghampar di sisi jembatan layang, dan tambah padat menjelang pengkolan.
Satu lagi. Lokasinya di malam hari juga bersandingan dengan bursa kue subuh Pasar Senen—yang kini menempati gedung parkir baru, persis di belakang arena thrifting. Suatu hal yang tidak kami sia-siakan sedikitpun. "Sambil menyelam, minum air." Atau dalam hal ini, "Sambil mengunyah, kami thrifting."
Jajanan di Sentra Kue Subuh./ Foto: CXO Media/Riz Afrialldi |
Efisiensi jalanan
Aturan baru mengenai thrifting yang didasari tuduhan para penjual barang preloved merusak potensi produk lokal tidak digubris para pengusaha di Pasar Senen. Kami pun mendukung mereka. Sebab pada dasarnya, thrifting beserta segala tradisi dan kekuatannya, bukanlah faktor tunggal yang menyebabkan penurunan daya jual produk lokal.
Makanya, usaha nekat para pedagang thrifting melapak di spot Jalan Pasar Senen yang bersejarah-meski bisa dibubarkan aparat kota sewaktu-waktu-kami balas dengan niat berbelanja yang tebal. Walaupun budget tipis, sekitar selembar atau dua lembar "Soekarno-Hatta", kami berharap bisa pulang dengan banyak kresek di tangan.
Saya sendiri mencari sepotong celana panjang berbahan nyaman. Odin, mengincar baju hangat dan topi, sementara Kiki fokus berburu jaket-jaket tempur plus celana panjang yang fit dengan lekukannya.
Sambil mengunyah lemper ayam, risol, dan bakwan secara bergantian, kami terus bergerilya lincah di antara arena dagang. Akhirnya, setelah beberapa kali mengintip, meraba, dan menimbang-nimbang, Kiki resmi membuka keran belanja kami.
Kiki menjajal calon jaket anyarnya./ Foto: CXO Media/Riz Afrialldi |
"Ah, ribet itu dah," seru pedagang bernama Iwan (32), ketika kami menyinggung soal aturan thrifting pemerintah, di sela proses tawar-menawar klasiknya dengan Kiki. "Kalo mau, tuh yang impor-impor kemurahan yang ditutup. Berani kagak? Jangan numbalin kita yang dagang recehan," timpalnya lagi, sebelum merelakan tawaran korting 40% dari Kiki untuk satu jaket anorak yang semula dibanderol 250 ribu, plus satu jaket tambahan.
Selanjutnya, kami semakin gencar bergerilya. Sampai-sampai, rombongan kecil kami berpencar ke arah berlainan, tanpa disadari satu sama lain. Ketika ngeh, saya yang belum menggondol jinjingan memutuskan untuk mampir ke "starling" (sebutan populer untuk penjual minuman yang menggunakan sepeda) yang sedang bersantai di sisi jembatan layang arah Salemba.
Selagi menunggu kopi, saya refleks menjelalatkan mata ke celana-celana yang dijajakan persis di samping sepeda sang barista jalanan. Sementara lain, sambil mengaduk kopi dengan bungkusan kopi itu sendiri, sang barista mendadak memberi saran. "Baru datang, Bang?" sambil meneruskan "kemaleman situ datangnya...harusan jam 10an, pas baru bongkaran sama belum banyak yang datang," ucap pemuda berlogat Madura tersebut.
Seperti tidak memberikan saya kesempatan untuk merespon, ia lanjut membredel trivia soal Pasar Senen—yang aslinya belum sempat saya sampaikan. "Bukanya [Pasar Senen] dari ba'da Isya sampai Sahur. Tapi kalau jam segini, biasanya yang bagusan sudah dibeli orang. Paling, kalau situ mau, datangnya hari Kamis malam, Bang. Waktu turun bal-balan," susulnya, seraya memberikan kopi.
Bertemu jodoh, Alhamdulillah
Setelah percakapan searah dengan sang barista jalanan selesai, saya lantas bersyukur. Sebab, saya jadi punya materi tambahan untuk dituliskan, dan yang terpenting, bertemu dengan sepotong chino berwarna krem, yang tergantung persis di lapak tetangga starling.
Dalam waktu singkat, celana yang mulanya dipatok Rp150 ribu itu sukses saya bungkus separuh harga. Sumpah, ini bukan karena saya jago menawar, tetapi kebetulan. Mungkin ini yang dinamakan jodoh. Sebab tanpa upaya keras, sang penjual langsung sudi membanting harga menjadi Rp 90 ribu, dan bersepakat dengan harga Rp 70 ribu. Itu pun berhubung saya punya pecahan 50 ribu dan 20 ribu yang pas, dan alasan "ya sudah sekalian nutup," dari si penjual.
Kemudian, perkara hati telah merasa cukup karena bisa mendapat barang yang dibutuhkan, saya lanjut bergegas mencari Odin dan Kiki, yang entah telah membeli apa saja, dan entah di mana persisnya mereka berada. Sebab panggilan telepon yang diabaikan, saya lanjut bergeser ke area tengah, dan mendapati Odin yang sedang fokus memilah barang.
Lapak thrifting di tepi Jalan Pasar Senen./ Foto: CXO Media/Riz Afrialldi |
Dari situ, kami menuju lapak penjual topi yang Odin temui sebelumnya, karena ia merasa tidak mau kehilangan jodoh. Duet kami berakhir dengan masing-masing satu buah topi "buy one get one". Sebab dari banderol topi yang tadinya dipatok merata Rp 50 ribu, Odin sukses memenangkan hati penjual karena kepiawaiannya berbahasa Jawa.
Saat hendak bertolak dari lapak topi, tiba-tiba kami melihat Kiki yang berjalan setengah celingak-celinguk seperti mengeker keberadaan kami, namun dengan satu kresek tambahan di tangannya. Jadilah kami membuntutinya dalam diam, dan baru resmi regroup saat Kiki mampir di lapak penjual sweater yang searah gedung parkir.
Setelah melaporkan dan menertawakan belanjaan masing-masing, kami akhirnya bersepakat untuk segera mengakhiri pencarian, karena waktu sahur segera tiba. Namun, sekali lagi, "pucuk dicinta, ulam pun tiba." Odin yang asalnya membutuhkan armada baju hangat, akhirnya melirik sang jodoh, di lapak terakhir yang kami kunjungi di Pasar Senen.
Dibantu kelihaian Kiki menego harga, yang sepintas sebelas-dua belas dengan gaya Ibu-ibu di pasar: tak lelah menawar sambil pura-pura pergi meninggalkan lapak, sang Om penjual akhirnya iba dan menuruti tawaran Rp 170 ribu untuk dua sweater, usai Kiki melontarkan rayuan maut. "Kasih dah Om, yak...biar jadi lebaran sama sahur aja kita ya, Om...."
Melampaui Ritual
4 lembar jaket, 2 buah topi, dan 3 potong celana resmi kami bawa pulang dengan harga yang cukup membuat senang. Intinya, tanpa mengedepankan urusan jenama, kami tahu bahwa isi kresek masing-masing membungkus busana yang berkualitas.
Hasil belanjaan Tim CXO Media di Pasar Senen./ Foto: CXO Media/Riz Afrialldi |
Pangkalnya, sembari mengitari jalanan Jakarta untuk mencari santap sahur, kami bersepakat bahwa pencarian busana baru sebelum lebaran tidak selalu relevan untuk dilakukan. Karena pada dasarnya, yang kita butuhkan menjelang lebaran bukanlah pakaian baru sarat gengsi, namun busana nyaman yang pas di hati, dompet, dan mengedepankan fungsi.
Dari sana, selagi ikut membuktikan tudingan thrifting yang sebenarnya debatable, fenomena ini tetap memiliki tempat spesial di hati masyarakat. Nyatanya, kami juga tersadarkan bahwa mencari kebutuhan sandang adalah soal komunikasi kepada diri sendiri dan kepada orang yang menjajakannya.
Hal pertama berkenaan dengan faktor kebutuhan dan bukan keinginan, sementara hal kedua adalah soal kepandaian bersosial, yang nyatanya mampu menggoyang harga. Paling mutakhir, perasaan kami setelah kenyang melahap Soto Jablay alias Soto Tangkar di kawasan Harmoni, kian berujung dengan syukur yang terucapkan. Baik itu karena bisa menggondol sandang esensial di harga yang sesuai, hingga sukses menyadari persoalan baru atau bekas adalah sama saja, asalkan berfokus pada fungsi dan kebutuhan kita. Alhamdulillah.
(RIA/tim)