Ramadan adalah rumah. Sebab, selain menyimpan berkah tanpa usai sepanjang bulan, masa-masa penuh keindahan ini turut berwujud pintu bagi kami untuk menuju kampung halaman. Atau, istilah kerennya, mudik. Tradisi satu tahun sekali, yang tak luput dari jalan-jalan penuh memori.
Pada edisi TAKBIR (Ta'lim Keliling Bulan Suci Ramadan) kali ini, Tim CXO Media yang berkesempatan untuk kembali ke rumah masa kecil di Bandung, Jawa Barat, berkunjung ke salah satu Masjid penuh cerita, yang dahulu menjadi tempat favorit untuk berteduh semasa kuliah. Yakni, Masjid Salman, Institut Teknologi Bandung.
Berpusat di seberang area kampus yang megah dan rindang, Masjid Salman menyimpan cerita istimewa bagi setiap pengunjung. Pun begitu untuk saya, yang kali ini datang bersama salah seorang alumnus 'Kampus Cap Gajah' yang sempat menjadi salah pengurus Masjid, dan kebetulan, sejak kecil saya panggil: Ayah.
Halaman depan Masjid Salman, ITB, Bandung, Jawa Barat/ Foto: CXO Media - Sarah Syahida |
Kendati berjarak cukup jauh dari rumah, Masjid Salman tetap memiliki kedekatan rasa bagi kami. Seperti mengulang ingatan semasa kecil. Persis waktu saya hanya merasa senang pergi bersamanya, tanpa peduli kemana kami benar-benar pergi. Yang pasti, saya selalu tersenyum riang, seperti kunjungan kali ini.
Ragam Euforia di Masjid Salman
Kami tiba di Masjid Salman sekitar waktu Dhuha. Suatu keputusan yang kami sepakati sebagai "waktu terbaik untuk berkunjung" ketika berada di perjalanan. Alasannya, tentu, selain Bandung agak lenggang di masa awal liburan, waktu pagi menjelang siang memiliki udara yang lebih teduh, dan agak jauh dari waktu salat tiba, sehingga kami tidak akan mengganggu proses beribadah.
Pintu masuk Masjid Salman, ITB, Bandung, Jawa Barat/ Foto: CXO Media - Sarah Syahida |
Sesampainya di bagian depan Masjid, kami langsung disuguhkan spanduk berukuran lumayan besar yang membentang di bawah penanda Masjid, "Marhaban Ya Ramadhan". Suatu tulisan yang khas di pelupuk mata semasa berpuasa, namun bukan sekadar formalitas. Karena turut disusul beberapa spot informasi tambahan yang mengabarkan kegiatan khusus Masjid Salman dalam menyambut bulan Ramadan. Mulai dari peta "Ramadan Festival Masjid Salman", sampai banner "Ramadhan Weekend Workshop on Filmmaking".
Peta Ramadan Festival di Masjid Salman, ITB, Bandung, Jawa Barat/ Foto: CXO Media - Sarah Syahida |
Di lain sisinya, tampak pula Rumah Amal Salman yang diisi beberapa orang. Tempat ini merupakan tempat prosesi pembayaran zakat fitrah, yang nantinya disalurkan pengurus masjid kepada para amil zakat yang memang membutuhkan.
Rumah Amal Masjid Salman, ITB, Bandung, Jawa Barat./ Foto: CXO Media - Sarah Syahida |
Sepengetahuan kami, sarana dan prasarana yang tersedia di Masjid Salman dikelola internal. Mulai dari minimarket, kantin, lapangan olahraga, hingga area taman yang pantas disebut megah dan hijau. Setelah sedikit berputar, kami memutuskan untuk masuk ke dalam. Melongok area yang dahulu sering kami pakai bersimpuh dan mengeluh.
Area taman Masjid Salman, ITB, Bandung, Jawa Barat/ Foto: CXO Media - Sarah Syahida |
Menariknya, apa yang dibayangkan ternyata salah. Alih-alih sepi jamaah, inti Masjid Salman justru dipenuhi jamaah yang semalam mengikuti itikaf. Walaupun begitu, kami malah merasa tertegun haru. Karena nyatanya, bau Ramadan yang mampir sebulan saja masih digiati dengan ibadah penuh gairah, sebagaimana yang saya-dan Ayah-rasakan di masa kami bersekolah.
Sekilas fakta Masjid Salman
Nama Masjid Salam dikutip Presiden Pertama Indonesia Soekarno, yang juga lulusan ITB, dari nama salah seorang sahabat Rasulullah SAW, Salman Al-Farisi RA. Masjid ini pertama kali digunakan saat menggelar Salat Jumat, pada tanggal 5 Mei tahun 1972.
Secara arsitektur, Masjid yang juga menjadi wadah bagi beraneka ragam organisasi mahasiswa ITB ini tentu memiliki keunikan tersendiri. Seperti, tidak memasang kubah di bagian atap, namun beton berbentuk cawan; hingga aksen bergaris vertikal dan horizontal di beberapa bagian Masjid.
Melansir situs resmi ITB, filosofi cawan menggambarkan tangan seorang hamba yang menengadah untuk berdoa kepada Tuhan. Sedangkan aksen vertikal dan horizontal melambangkan habluminallah dan habluminannas, yang berarti hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan antara manusia dengan sesamanya.
Sementara itu, tampak luar masjid ditonjoli sebuah menara menjulang berbahan dasar beton. Menara kokoh satu ini didirikan secara sederhana dan minimalis, atau tanpa ornamen sedikitpun. Konon, hal ini menyiratkan kekuatan iman terhadap Tuhan, yang wajib kukuh namun tetap sederhana.
Beralih ke area dalam, interior Masjid Salman memadukan desain tradisional dan modern. Hal ini diwakilkan oleh sebagian ornamen kayu jati di bagian dalam, yang kian indah kala terpapar sinar matahari alami dari sudut-sudut ventilasi yang efisien, sehingga tetap terasa sejuk meski tanpa bantuan pendingin ruangan.
Tak sampai di situ saja. Jika lebih diperhatikan, bagian dalam Masjid Salman juga terbebas dari tiang-tiang di antara barisan salat-sebagaimana yang sering terjadi di Masjid-masjid lain. Menurut Fauzan Noe'man, Ketua Tim Perancang Masjid Salman, hal ini dipertimbangkan sebagai satu ijtihad, demi memastikan shaf salat yang harus lurus dan tidak terpotong sedikitpun.
Alhasil, Masjid Salman secara menyeluruh memang tepat dibilang sebagai Masjid yang istimewa. Karena, di samping memperhatikan estetika dan ketepatgunaan, ragam aktivitasnya hingga hari ini masih bermanfaat bagi banyak jamaah. Bahkan, menurut kabar terbaru, Masjid Salman hari ini turut dilengkapi panel-panel surya, yang memasok sekitar 8% energi di Masjid.
(RIA/tim)