Aku telah jatuh cinta terhadap hidup di dunia.
Kehidupan yang aku jalani dari hari demi hari, dalam waktu yang terus berjalan tanpa mungkin dihentikan, hanya dipenuhi kesibukan. Pekerjaan dengan bayaran tinggi di salah satu gedung pencakar langit ibu kota membuatku akrab dengan kebendaan yang tidak pernah ada habisnya.
Aku yang tidak pernah lepas dari materialisme menjadi pernyataan bahwa keduniaan sudah merasuk ke dalam jiwaku hingga terlalu dalam. Ia bersemayam dalam ruang hatiku yang semakin menghitam.
Namun di tengah hingar bingar denyut aktivitas yang menakjubkan, kebingungan akan hidup terus menghampiriku. Aku selalu mencari di mana kedamaian hati dan pikiran yang terlalu sulit untuk didapatkan tanpa peduli seberapa banyak uang yang kumiliki.
Aku pikir, kekayaan dan keakraban pertemanan yang selalu menemaniku tiap keadaan bisa menjadi jawaban atas pencarianku. Namun itu semua bagaikan balon yang ringkih terhadap jarum tajam. Jarum yang membuatku tidak pernah nyaman, tidak pernah tenang.
Di mana aku harus mencari kedamaian ini?
Setiap malam, keringat yang membasahi telapak tangan menjadi bukti bahwa aku sudah terlalu lama mencemaskan diri sendiri untuk segera menemukan kedamaian.
Tapi mengapa semua yang sudah kulakukan tidak pernah membawa ku kepada rasa damai? Ternyata itu semua buah dari ego tubuh dewasaku yang hanya kosmetik dari jiwaku yang kerdil.
Aku tersadar pada satu sore di bulan Maret. Aku berjalan kembali kepada titik awal hidupku agar mengerti apa arti "damai" yang sebenarnya. Pencarianku membuatku kembali kepada-Mu, Tuhan. Aku ingin merasakan perubahan yang mampu menuai ketenangan.
Setelah sekian waktu, sore itu kusempatkan sejenak melipir ke rumah terdekat-Mu untuk menunaikan kewajibanku menghadap-Mu. Atas nama kedamaian yang sudah tidak lagi perlu kucari bersama kemegahan dunia dan segala isinya.
(tim/alm)