Apa yang ada di depan mataku adalah hasil jerih upayaku sendiri. Lelahku. Keringatku.
Sedari awal, hanya ada diriku.
Aku tahu pasti.
Bahkan, ketika pagi masih berwarna merah dan ayam belum bangun dari kandangnya, aku sudah bergegas, tergesa, menyongsong segala yang di depan mata.
Sementara kamu? Entah apa yang engkau lakukan. Yang kautahu hanya memaksaku untuk bertemu denganmu.
Kau tahu? Tingkahmu hanya menghambat laju. Bersama suara-suara yang lebih merdu dari kokok ayam, kamu membuaiku. Dengan panggilan yang lebih halus dari terik siang, kamu memberatkan langkahku.
Apalagi, dengan nyanyianmu sejak menjelang hingga larut malam, yang menjanjikan selimut-selimut hangat atau angin sepoi-sepoi di masa datang.
Bisakah kau sedikit membantu? Jangan cuma memaksa. Apalagi pakai janji-janji semu.
Sekalipun banyak orang bilang, "Panggilan Kekasih itu lebih berharga dari dunia dan seisinya," tapi kan logikanya: "Mana bisa dapat apa-apa jika hanya bertemu dan bertemu dan tidak bekerja?"
Jadi, bagaimana kalau begini saja. Biar aku bekerja lebih giat, sedang kau diam di sana, jangan menghambat. Setidaknya itu lebih berguna, daripada menuduhku mengingkari nikmat.
Terima kasih.
Hey, tapi, tunggu sebentar!
Kata sang penjaga jalan, aku sudah sampai di penghujung. Upayaku tidak dibutuhkan lagi.
"Silakan kembali kepadaNya," kata orang itu.
Lantas aku bingung. Kenapa harus pulang? Mengapa? Kepada siapa?
Selama ini, yang kutahu, hanyalah soal diriku. Diriku yang berupaya keras, tanpa siapapun. Apalagi dirimu, yang hanya diam menanti di batas ketiadaan.
"Lekas pulang kepadaNya!"
Hey, kemana aku harus pulang? Apakah Engkau jalan pulang itu? Cepat jawab. Jangan hanya diam. Katanya, kau maha pengasih lagi maha penyayang!
"Hey, tolong! Aku butuh bantuanmu!"
"Hey!"
(RIA/tim)