Inspire | Human Stories

Sulitnya Menunjukkan Empati di Era Digital

Kamis, 23 Mar 2023 16:28 WIB
Sulitnya Menunjukkan Empati di Era Digital
Foto: Freepik
Jakarta -

Empati, perasaan yang mulai memudar di tengah terpaan digitalisasi. Bukan tanpa sebab, karena kesibukan masing-masing di depan gadget pada akhirnya menumbuhkan rasa individualitas yang tinggi. Tidak mengherankan bahwa banyak orang sekarang sulit memahami dan bereaksi dengan tepat pada suatu situasi sosial.

Baru-baru ini sempat viral sebuah video yang menunjukkan seorang perempuan sedang mengalami sakit dan tertidur di kursi kereta commuter dengan posisi terlentang. Namun, penumpang lainnya yang melihat hal tersebut langsung melapor ke petugas, dan perempuan tersebut ditegur karena melanggar prosedur KRL.

Yang menjadi sorotan adalah pelapor justru merekam perempuan yang diketahui tengah sakit haid itu, kemudian mengunggahnya di akun media sosial. Dalam video singkat tersebut, terdengar perekam mengungkapkan kata-kata kurang mengenakan dan minim empati kepada perempuan yang direkamnya.

"Merasa kereta punya nenek moyang lu," ujar perekam yang juga seorang perempuan dalam video sembari tertawa.

Aksi perekam tersebut pun dikecam oleh netizen. Mereka menganggap apa yang dilakukan oleh perekam tidak sopan karena merekam tanpa izin dan juga minim empati.

Peristiwa semacam ini bukan hanya sekali dua kali terjadi di tengah masyarakat kita. Acap kali tindakan tanpa izin dan diskriminasi dilakukan oleh segelintir orang atas nama ingin viral. Lantas, mengapa begitu pesat pergeseran perilaku dan moral masyarakat saat ini?

Minim Empati Dipicu Berbagai Faktor di Era Digital

Bergesernya perilaku masyarakat saat ini bisa terjadi karena beragam faktor. Psikolog Sosial Hening Widyastuti mengatakan sedikitnya empati orang-orang sekarang ini besar kemungkinan karena perubahan kehidupan sosial, lingkungan politik global, ekonomi, dan juga perubahan teknologi yang semakin pesat.

Faktor yang paling mempengaruhi adalah kehidupan ekonomi, di mana saat ini orang sulit untuk memenuhi kebutuhannya karena sulit mencari pekerjaan dan gaji tak cukup. Di tengah permasalahan ini, masyarakat justru disuguhi oleh konten-konten yang menunjukkan hedonisme.

"Lewat kemajuan teknologi, mereka mudah mengakses konten gaya hidup hedonis. Terus-menerus terpapar konten seperti itu membuat mereka akhirnya punya keinginan yang sama. Walau secara keuangan mereka pas-pasan, mereka terus mencoba memenuhinya. Ini menimbulkan efek baru," papar Hening kepada CXO Media.

Tak hanya itu, pemberitaan kriminalitas yang semakin marak dan mudah dikonsumsi, menimbulkan ketakutan tersendiri, kata Hening. Mindset masyarakat pun semakin tertanam dan semakin berhati-hati terhadap orang lain, bahkan cenderung takut menghadapi situasi sosial.

Selain itu, rentetan situasi politik yang tidak stabil, seperti pemimpin yang korup atau tidak berperilaku etis membuat masyarakat semakin skeptis. Secara psikologis, mindset masyarakat yang terbentuk adalah ketika pemimpin yang melakukan tindakan buruk dan tidak dihukum, rakyat pun tak masalah berperilaku serupa.

"Muncullah rasa tega sama orang lain, sebab melihat situasi yang timpang dan tidak adil ini, masyarakat sulit untuk memberontak. Maka masyarakat saat ini lebih cuek, tega, dan tidak empati dengan sesama," ujar praktisi yang berdomisili di Solo, Jawa Tengah, tersebut.

Teknologi Mengubah Perilaku Masyarakat

Menurut Hening, ada tiga hal yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat saat ini. Pertama pergeseran profesi; kedua, kebutuhan keuangan yang mendesak; dan ketiga, kemajuan teknologi itu sendiri. Ketiganya saling berkaitan dan membuat habit keramahan orang Indonesia tergerus sedikit demi sedikit.

"Masyarakat berpikir bisa mendapatkan uang dari konten-konten seperti itu (memviralkan orang). Memang mudah mendapatkannya, hanya dengan merekam video, viral, lalu uang mudah didapatkan. Walaupun harus mengorbankan orang lain. Itu sangat disayangkan," kata Hening.

Mengomentari video viral tersebut, psikolog dari Universitas Negeri Sebelas Maret ini menyayangkan tindakan perekam yang tidak menghargai. Mendengar komentar dari si perekam, Hening berpendapat bisa jadi ia terbiasa mengomentari orang lain dengan kata-kata kurang mengenakan dan menyakiti.

Namun sebenarnya tidak semua masyarakat kita berperilaku serupa. Semua kembali kepada karakter masing-masing. Bila secara personal mereka mampu mengelola diri, seperti berpikir sebelum merekam orang lain dan lebih memahami kondisi orang lain, artinya mereka sudah bersikap dewasa.

"Kalau saya lihat dari video tersebut, dia termasuk berani. Dari situ sebenarnya kita bisa tahu, orang tersebut mungkin terbiasa menghujat orang lain dari bahasa yang disampaikan. Hasil-hasil konten yang disebarnya pun bisa direfleksikan dari tindakannya," kata Hening.

Tindakan yang dilakukan perekam memanglah bukan tindakan terpuji, tetapi kita sebagai penonton, bisa menghentikan penyebaran video tersebut agar tidak viral. Hening menyarankan ketika masyarakat menemukan hal serupa, tidak menyebarkannya kembali agar tidak ditonton dan dicontoh oleh orang lain.

Lebih baik video-video seperti itu ditutupi dengan konten yang edukatif dan juga inspiratif. Selain mengendalikan penyebaran video yang nirmanfaat, publik pun akan lebih banyak mencontoh hal-hal yang positif.

"Tidak mudah untuk mengendalikan lingkungan di sekitar kita, yang bisa kita lakukan adalah membuat video yang menginspirasi banyak orang itu saja. Karena dari situ, timbullah energi positif secara tidak langsung akan menginspirasi orang terdekat. Jadi harus mulai dari diri sendiri," tutupnya.

(DIR/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS