Tanggal 9 Februari hanya menjadi bagian dari kalender biasa bagi sebagian besar orang. Namun, tidak untuk orang-orang yang bergelut di industri media. Setiap tahunnya, 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional yang pada tahun 2023 memiliki tema tersendiri, yakni "Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat". Tenang saja, artikel ini tidak akan membahas apa saja aktivitas yang dilakukan pada Hari Pers Nasional yang sebenarnya tidak terlalu penting. Lebih penting melihat bagaimana lanskap industri media yang pelan tapi pasti mengalami perubahan, baik dari segi bisnis, mindset para pekerja di dalamnya, serta perilaku konsumen media itu sendiri.
Untuk itu, CXO Media bertanya kepada Hasief Ardiasyah, seorang jurnalis musik yang namanya sudah dikenal baik di kalangan musik underground hingga mainstream lewat karya tulisannya yang selalu mendalam dan komprehensif. Kami membahas tentang bagaimana pers hari ini, apa yang membuat perubahan dalam industri media, dan pandangannya tentang Hari Pers Nasional.
Seperti pertanyaan standar dalam interview, boleh deskripsikan Hasief Ardiasyah itu siapa?
Bagi pembaca wawancara ini yang berasal dari generasi tertentu, mungkin mengenal Hasief Ardiasyah sebagai salah satu anggota tim redaksi Rolling Stone Indonesia sejak majalah tersebut pertama kali terbit di pertengahan 2005 hingga akhirnya tutup di penghujung 2017. Dalam beberapa tahun belakangan setelah tutupnya Rolling Stone Indonesia, bisa jadi kenal Hasief Ardiasyah dari kanal YouTube miliknya yang berisi rekaman pertunjukan musik.
Apa kesibukan lo saat ini?
Lebih banyak di rumah mengurus ayah yang sudah lanjut usia. Kalau dari segi karier, mungkin bisa dibilang pekerja lepas yang belakangan ini lebih banyak menulis edaran pers untuk musisi-musisi yang akan merilis karya baru. Kadang-kadang menjadi kontributor untuk Pop Hari Ini juga, kalau merasa tergerak untuk menulis artikel yang cocok untuk mereka.
Kenapa lo tertarik terjun ke dunia jurnalistik? Dan kenapa bidangnya di musik?
Sejak kecil memang suka musik dan membaca, yang kemudian menjelma menjadi suka membaca tentang musik. Seiring dengan semakin tumbuh dewasa, ternyata ada bakat menulis juga yang entah didapat dari mana. Maka ketika muncul sebuah majalah bernama djakarta! yang mencari kontributor, saya tertarik untuk melamar karena suka dengan gaya berbahasanya dan pekerjaan kontributor tersebut bisa dikerjakan secara paruh waktu karena ketika itu saya masih sekolah. Mereka tidak mencari kontributor musik secara spesifik, namun saat melamar saya bilang maunya menulis tentang musik karena tidak tertarik untuk menulis tentang hal lain. Entah kenapa mereka pun setuju untuk menerima saya.
Lo sudah sangat lama bergelut di dunia jurnalistik, bahkan terhitung belasan tahun. Lo melihat dunia jurnalistik sekarang ini gimana? Apa perbedaannya dengan dulu?
Sepertinya makin ke sini makin mengutamakan clickbait dan segala hal yang berbau viral. Di satu sisi itu adalah hal yang wajar, berhubung banyaknya page views menjadi tolok ukur kesuksesan sebuah portal media daring. Alhasil, mau tidak mau hal yang diutamakan adalah bagaimana caranya menjaring pembaca sebanyak mungkin. Di sisi lain, tidak terjamin ada artikel yang akurat, berbobot dan bertanggung jawab di balik judul yang serba bombastis itu.
Gimana lo melihat peta pergerakan jurnalistik musik pada hari ini? Lebih baik dari masa dulu atau malah lebih jelek?
Sebenarnya saya enggan bilang lebih jelek karena tak ingin terdengar seperti tipe orang tua yang merasa bahwa segalanya lebih baik di zamannya. Kalau saya merasa tidak puas dengan jurnalistik musik saat ini, bisa jadi itu karena zaman telah berubah saja sehingga tidak relevan lagi bagi saya maupun sebaliknya.
Banyak media cetak yang akhirnya tutup, termasuk Rolling Stone Indonesia. Menurut lo kenapa ini bisa terjadi? Bahkan sampai ada istilah "senjakala media cetak".
Progress selalu makan korban, dan dengan semakin dominannya media daring, model bisnis media cetak menjadi semakin sulit bertahan. Dari sisi konsumen, untuk apa mengeluarkan uang untuk membaca sesuatu yang bisa didapatkan secara gratis di Internet? Dari sisi pengiklan, untuk apa mengeluarkan dana besar untuk memasang iklan di media yang sirkulasinya semakin mengecil kalau mereka bisa menjangkau orang yang jauh lebih banyak dengan beriklan di media sosial?
Kira-kira bisakah muncul media online yang mampu produksi artikel yang deep dengan gaya tulisan khas dari masing-masing reporter/writer-nya? Karena selama ini gue lihat, tidak ada yang bisa mengalahkan "kedalaman" dan "kekerenan" tulisan di media cetak.
Seharusnya bisa, dan seharusnya malah bisa lebih dalam karena tidak harus mengikuti keterbatasan jumlah dan ukuran halaman seperti yang terjadi di media cetak. Pertanyaannya adalah apakah media daring mampu dan rela menyediakan sarana serta sumber daya yang memadai untuk bisa menghasilkan tulisan yang lebih komprehensif? Kalau berbicara dari pengalaman pribadi, membuat artikel yang sifatnya lebih mendalam itu bukan hal yang mudah serta cukup menguras tenaga, pikiran, dan lain-lain. Wajar jika penulis mengharapkan kompensasi yang layak untuk jerih payahnya, baik dari segi moneter maupun lainnya. Jika perusahaan media tidak bisa menyediakan itu, untuk apa penulisnya capek sendiri?
Gue lihat makin banyak so called media yang cuma mengandalkan postingan di media sosial doang tapi tidak bikin artikel sama sekali, bahkan tidak punya website. Jadi pure postingan media sosial doang. Gimana pandangan lo tentang tren ini?
Itu gejala dari perkembangan zaman yang menuntut agar informasi disajikan dalam format yang mudah diakses, mudah dicerna dan mudah dibagi. Apalagi sekarang media sosial sudah bisa monetisasi, jadi untuk apa repot-repot membuat situs, menulis artikel dan mengarahkan publik ke sana?
Dari segi bisnis dan efisiensi, sangat masuk akal jika terjadi pergeseran media sosial ke arah portal berita. Namun bagi yang mencari artikel yang lebih dalam, tentu saja unggahan beberapa ratus karakter sangat tidak memadai.
Hari Pers Nasional diperingati tanggal 9 Februari ini. Apa yang lo bisa lihat dari Hari Pers Nasional?
Saya enggan berkomentar terlalu banyak tentang pers Indonesia, karena di saat saya masih bekerja secara penuh waktu di media pun saya tidak merasa terlalu dekat atau terlibat dengan dunia pers nasional. Namun bagaimanapun juga, saya mendukung kedudukan pers sebagai komponen yang vital dalam kehidupan masyarakat, terutama sebagai alat untuk memastikan wakil rakyat dan pelayan publik lainnya melakukan tugas dengan sebagaimana mestinya.
Kira-kira apa saran dan kritik yang mau lo kasih ke dunia jurnalistik hari ini?
Jangan sampai mengesampingkan kualitas dan integritas demi popularitas.
Apa harapan lo terhadap dunia jurnalistik, khususnya jurnalistik musik?
Semoga ada semakin banyak jurnalis yang bisa membuat artikel yang enak dibaca, dan tak sekadar menyalin dari edaran pers yang saya buat.
Untuk saat ini, apa aja media atau jurnalis yang menurut lo punya value bagus dan layak untuk dibaca dan di-follow khalayak ramai?
Tidak mengikuti siapa pun secara spesifik. Bisa siapa saja, selama isinya menarik.
Sampai kapan seorang Hasief Ardiasyah akan bergelut di jurnalistik musik? Termasuk dengan hobi lo ngumpulin setlist konser.
Saya menyebut diri sebagai wartawan musik semi-pensiunan karena memang sudah tak seaktif itu sejak Rolling Stone Indonesia tutup. Terus terang saya pernah beberapa kali bermimpi kalau majalahnya hidup kembali. Itu bukan berarti saya punya harapan realistis kalau bakal ada lagi majalah musik yang bagus di Indonesia, tapi sepertinya dunia itu takkan benar-benar hilang dari jiwa saya.
Mengenai pengumpulan setlist, itu sudah seperti penyakit kronis. Gatal rasanya kalau menonton konser tanpa membawa pulang setlist.
***
Hasief Ardiasyah Picks:
5 Lagu Favorit Saat Ini
Efek Rumah Kaca - "Manifesto"
Sore - "Asmaraloka"
Perunggu - "Membelah Belantara"
Maliq & D'Essentials dan Cholil Mahmud - "Kembara"
.Feast - "Kuping Ini Makin Lalai"
5 Stage Act Band Lokal Terbaik Sepanjang Masa
Barasuara
Efek Rumah Kaca
The Trees & The Wild (formasi Zaman, Zaman)
Maliq & D'Essentials
.Feast
5 Restoran Favorit
McDonald's (terutama saat lapar di tengah malam dan malas berpikir panjang)
Popeyes
Wendy's
Bearrito
Meatsmith