Peristiwa 10 November di Surabaya adalah titik balik para pejuang untuk merebut kota yang nyaris dikuasai oleh Belanda dan Inggris. Kita pun pasti sudah tahu tokoh utama dalam perjuangan tersebut adalah seorang pejuang bernama Sutomo atau yang lebih dikenal sebagai Bung Tomo.
Orasi yang penuh semangat tanpa rasa takut itu pun menggerakkan para pemuda yang saat itu ingin mempertahankan kotanya agar tak lagi direbut penjajah usai Jepang tumbang. Tapi tak banyak orang tahu di balik peristiwa besar itu juga ada sosok lain yang ikut berjuang bersama Bung Tomo. Bukan garis terdepan memang, melainkan hanya lewat dapur umum. Ya, dapur umum.
Perempuan Pejuang dari Dapur Umum Itu Bernama Dar Mortir
Pertempuran 10 November 1945 tidak hanya soal mengangkat senjata maju ke medan perang di garis terdepan, tapi perjuangan itu dilakukan di balik layar yakni Dapur Umum. Tak boleh dianggap remeh, Dapur Umum saat itu juga menjadi ujung tombak kekuatan para pejuang, bagaimana tidak, "bensin" yang menggerakkan semangat pemuda-pemudi berasal dari sini.
Adapun sosok di balik Dapur Umum pertempuran 10 November itu adalah seorang ibu yang tak kenal takut bahkan menjadi bagian dari proses kesuksesan pertempuran ini. Dia adalah Dariyah Soerodikoesoemo alias Dar Mortir. Julukan "Mortir" yang disandang Dariyah sebenarnya merupakan sebutan untuk kebiasaannya yang suka melempar sirih di mulutnya begitu ada orang yang meledeknya biasanya para pemuda pejuang.
Meskipun keahliannya bukan senjata, namun prinsip perjuangan Dar Mortir adalah "Orang dapat bekerja dengan tenang dan penuh semangat bila perut mereka kenyang". Dulu masyarakat Surabaya menyebut konsumsi makanan dan minuman untuk pejuang dengan istilah "jaminan" makan.
Dar Mortir/ Foto: Detikcom |
Setiap hari, dapur umum menyiapkan "jaminan" sebanyak 500-1000 bungkus nasi. Dalam menyiapkan "jaminan" ini, para anggota dapur umum yang dipimpin oleh Dar Mortir, rutin memasak nasi, menggoreng ikan, memasak sayur, membungkus nasi dengan daun pisang, dan menyediakan nasi bungkus ke dalam keranjang. Semua itu dilakukan sebelum matahari terbit.
Di samping mendirikan dapur umum, Dar Mortir juga mendirikan dan mengorganisir pos-pos Palang Merah Indonesia (PMI) untuk merawat para pejuang yang terluka. Ia terus mengawasi dengan ketat distribusi nasi-nasi bungkusnya, agar tidak ada makanan yang diterima para pemuda dalam keadaan basi.
Pejuang Perempuan Itu Tetaplah Ibu
Sejatinya, dalam keadaan terdesak, manusia cenderung mementingkan dirinya sendiri. Namun bagi Dar Mortir, mengisi perut para pejuang adalah suatu keharusan untuk mencapai kemenangan. Meskipun dalam keadaan perang sekalipun, ia tetaplah seorang ibu.
Dalam sebuah gerakan mundur dari Surabaya ke kota Jombang di akhir 1945, Jombang saat itu ditinggalkan dalam keadaan kosong oleh sebagian besar penduduknya. Karena saat itu para pejuang sangat kelaparan, Dar berinisiatif mendatangi sebuah toko Tionghoa untuk membeli bahan-bahan makanan untuk memasak.
Tak punya uang, Dar Mortir pun secara sukarela melepas gelang dan kalung emasnya seberat 100 gram untuk ditukarkan dengan bahan makanan bagi para pejuang. Hal ini membuktikan bahwa kecintaan dan perjuangan Dar bagi negaranya tak bisa terhitung oleh harta sebesar apapun.
Semasa hidupnya, ia mungkin tidak terlalu tersorot sebagai bagian dari pejuang atau "secondary figure". Namun, kiprah Dar Mortir agaknya menjadi pengingat bahwa perjuangan bukan hanya garis terdepan, tapi juga di belakang layar. Menjadi sosok ibu yang memasak di dapur untuk mengisi perut para pejuang demi mendukung kemerdekaan tidak kalah pentingnya dari berjuang di garis depan.
(DIR/alm)