"Bersyukurlah mereka yang pernah merantau," kesan seorang motivator ulung, di sebuah acara seminar kehidupan. Secara pendek atau penuh penjabaran, saya cukup setuju dengan perkataan tersebut. Maksudnya, meski saya masih pesimis dengan narasi penuh cuap-cuap dari sesosok motivator, simpulan yang tertera di kalimat pembuka tetap terasa benar adanya. Toh, kata orang bijak, "jangan lihat siapa yang berucap, tapi dengarkan apa yang disampaikan."
Lebih kurangnya, merantau memang penuh dengan hikmah. Ya, walaupun tidak semua orang bernasib sukses di tanah orang, paling tidak banyak pelajaran yang bisa dipetik. Atau, paling sialnya, masih ada sebuah pengalaman berkesan, yang selalu romantis untuk diceritakan ulang atau bisa dipilih sebagai topik saat melamun.
Menariknya lagi, perasaan nostalgic yang menggebu-gebu di tanah rantau, kerap kali membisikkan pesan tersembunyi kepada semua yang pernah berhajat di sana. Seperti merayu-rayu untuk dikunjungi kembali, dengan iming-iming: mengulang segala keseruan yang tertinggal di sana. Dan sudah tentu pula, jika setiap yang merasa punya kenangan istimewa dengan tanah rantau, pasti merasa ingin kembali ke tanah yang pernah lama dipijak-entah untuk mengulang seutas memori indah yang sudah mulai pudar, atau sekadar membayar perasaan-perasaan rindu yang menggantung di ingatan.
***
Lima tahun setelah masa uji peruntungan usai, saya kembali ke bagian selatan Bandung, tempat yang konon diciptakan Tuhan waktu Ia sedang tersenyum. Ya, walaupun secara geografis, tempat saya merantau, 'Los Bojong Santos' alias Bojongsoang berada di Bandung coret, pancaran hangat senyumNya masih bisa dirasakan.
Seperti sedia kala, Bojongsoang masih digelimangi campuran udara gersang dan debu di terik siang. Kemacetan pun belum pergi, malah bertambah parah. Kiranya, tempat saya menghabiskan masa belajar itu belum banyak berubah. Hanya ada sedikit perbedaan yang bisa dilihat. Misalnya, restoran cepat saji di pinggir jalanan yang macet pagi-malam, proyek apartemen tepi kali yang masih begitu-gitu saja, atau yang paling kentara, sederet pohon cungkring di sebuah bundaran yang mulai rimbun daunnya.
Sebagai lawatan pertama ke Bojongsoang pasca lulus kuliah, saya berharap cukup banyak dengan tempat ini. Makanya, saya mencoba menelusuri jejak keseruan lampau, sambil melirik perkembangan pada tempat yang pernah bernilai, hingga mencicipi kembali berpiring-piring makanan lezat yang menggugah selera.
Beruntungnya, saya pun kembali ke Bojongsoang dengan beberapa kawan lama seperjuangan. Meski tujuan utama kami adalah datang ke pernikahan seorang teman senasib-yang pada kesempatan itu menggelar pernikahan dengan kekasihnya sedari zaman kuliah-maka berputar-putar beberapa jam saja di sekitaran kampus, sudah cukup membuat saya dan teman-teman kembali menghidupkan kenangan.
Dalam waktu yang sekelebat, kenangan bertahun-tahun lampau sudah rampung kami jajakan. Mulai dari menyambangi bangunan yang sarat kenangan, mencicip kembali nasi bebek berminyak pemicu nafsu makan, juga melahap sepiring nasi Bali nikmat dari Akang Warkop bertangan Sunda.
***
Ada beberapa hal menarik yang tersedia dari dunia perantauan. Yang pertama, adalah tempat yang tepat untuk belajar hidup. Berikutnya, membuat kita mengerti arti rumah yang sesungguhnya. Lalu, bisa juga mempertemukan kita dengan orang-orang yang sejalan, hingga menjadi tempat yang melenakan proses berkehidupan.
Hal yang terakhir disebut, merupakan sesuatu yang sulit diantisipasi oleh para perantau. Buktinya, selama ini, di samping kegugupan dan homesick sewaktu awal merantau, tanah yang penuh kejutan itu malah membuat setiap perantau terkurung, dan seperti ogah meninggalkannya.
Fenomena ini bahkan tampak seperti suatu syndrome, di mana sebagian orang yang telah merasa menemukan dirinya di tanah orang justru enggan kembali ke tempatnya berasal. Atau jika ia pergi, maka isi kepalanya sebatas kenangan dan kilas balik ke era perjuangan di tanah rantau.
Padahal, pada kenyataannya, tanah rantau adalah fase yang harus dilewati, jika ingin mendapati rasa syukur tertinggi. Pun sekali dikunjungi kembali, segala kejayaan dan kesenangan di tanah rantau, tidak akan kembali terulang.
***
Meski kurang dari 24 jam, sempat berkunjung ke tanah rantau yang telah lama ditinggalkan sudah cukup membuat kami bersyukur. Walaupun aslinya, pengalaman ini malah menyisakan kesimpulan puas sambil merasa tidak puas, saya dan teman-teman tetap mensyukurinya. Sebab paling tidak, akhirnya kami menjadi tahu, bahwa segala yang kami rindukan hanyalah indah saat di kenang-kenang saja.
Terbukti, sekembali kami dari menengok rumah indekos lama, tidak peduli berapa piring bebek atau nasi Bali yang kami habiskan, Bandung, atau Bojongsoang yang teramat indah di kepala kami, hanyalah bersisa kenangan semata. Sebab yang paling pasti, sekalipun kami berkesempatan untuk singgah lebih lama, rasanya kesimpulannya akan tetap sama: yang dirindukan adalah orang-orang yang bersama kami di sana, dan bukan mutlak pada kondisi tempatnya.
(RIA/DIR)