Peringatan Halloween khas barat resmi menutup bulan Oktober 2022 yang jauh dari kata cemerlang. Bulan ini sendiri dibuka oleh tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang, dan ditutup tragedi Halloween Itaewon, yang memakan 155 korban. Kendati demikian, antusias masyarakat Indonesia yang aslinya tidak punya tradisi Halloween di akhir Oktober justru penuh dengan gegap gempita. Terlihat dari berjubelnya story Instagram bertema Halloween di timeline: undangan digital dengan nama yang ditulis sendiri, hingga video joget tipis-tipis sambil mengenakan kostum meriah.
Sejatinya, hal ini memang sah-sah saja. Sebab berpesta, terlebih dengan kostum ala-ala saat Halloween, adalah sebuah hak hiburan masyarakat modern, yang hidup di ketatnya persaingan eksistensi dunia maya. Sebaliknya, pesta kostum bertemakan seragam setan, superhero, dan semacamnya itu malah menjadi sebuah momentum, yang mungkin saja mem-viral-kan aksi netizen hingga masuk FYP TikTok.
Saya atau tepatnya tim CXO Media pun tidak mau ketinggalan tren ini. Istilahnya, kami mencoba riding the wave. Namun begitu, alih-alih menghadiri pesta kostum di bar atau club "kalcer" di selatan Ibukota, kami malah menghidupi akhir bulan Oktober dengan cara tersendiri, yaitu cosplay menjadi kolega sepenanggungan yang biasa berjuang bersama-sama setiap hari.
Kalau menyoal esensi, ya, mungkin, berdandan layaknya teman sekantor memang tidak lebih bermanfaat dibanding berpesta sambil meniru baju dinas setan. Hanya saja, setidaknya bagi kami, mungkin momen seperti ini bisa membantu kami lebih bonding. Atau mungkin juga, bisa menyetop kami membatinkan asumsi liar seperti, "enak ya, jadi kamu, bisa begini begitu," atau, "keren ya, gayanya si itu, coba aku begini-begitu, pasti bisa begitu begini," tanpa benar-benar pernah mencoba memahami sudut pandang personal dari kolega kami di kantor.
Before tim CXO Media sebelum jadi 'kolega'/ Foto: CXO Media |
Walaupun sebenarnya eksperimen ini bersifat internal, tapi siapa tahu, ada kesenangan yang bisa kami bagikan. Syukur-syukur kalau ada manfaatnya juga. Nah, untuk ritual yang tidak biasa ini, kami bertukar gaya satu sama lain berdasarkan sebuah kocokan. Alhasil, beginilah jadinya.
Tiga Editor Membongkar Koleksi Pakaian
Almer, Dian dan Timo jauh dari kata seragam ketika memilih busana. Nama yang paling pertama disebut, bisa dibilang cukup underground; nama berikutnya berada di kubus chaotic-normatif; sementara yang terakhir, ada di kelompok hype abis. Pada hajat iseng Halloween ini, ketiganya tampil all-out. Almer ditakdirkan cosplay sebagai Hani (writer), Dian meniru Dinar (writer), sementara Timo menjadi Dian.
Almer (Kiri) dan Hani (Kanan)/ Foto: CXO Media |
Cosplay pertama dijalani Almer yang meniru Hani dengan baik, meski saya rasa keduanya bak kue putu dan klepon berjalan. Akan tetapi Hani bilang, upaya Almer menjadi dirinya patut diapresiasi. Secara, dari pemilihan wardrobe, tone color, hingga detail aksesoris, Almer memberikan dedikasi yang nyata. Bahkan, perbedaan mendasar dari kolega kantor satu almamater ini cuma ada di vibes Almer yang terkesan lebih kalem sementara Hani cukup eksentrik.
Di sisi lain, Almer sendiri mengaku nyaman saat meniru Hani, karena ia memang eksploratif soal pakaian sehari-hari. Dia juga bilang, cosplay sebagai Hani adalah sebuah justifikasi untuk menambah koleksi cardigan. Overall, "it's slay!" ucap Hani dan Almer kompak.
Dian Menyerupai Gaya Dinar/ Foto: CXO Media |
Beralih dari duo hijau, Dian yang biasa bermain aman soal busana kerja kebagian cosplay ala Dinar, writer ekspresif asal Cibinong. Meski tidak ditantang dengan pakaian nyentrik berwarna terang, langkah Dian yang meniru sleeveless top khas Dinar pun sudah bisa diberikan emot jempol. Dian sendiri mengaku nyaman dengan busana ala Dinar yang ia kenakan. Hanya saja, ia merasa dandanan tersebut tidak terlalu fit untuk dipakainya ke kantor.
Selanjutnya, ada effort maksimal dari Timo yang sukses menduplikasi gaya Dian. Seperti yang tergambar di bawah, Timo layak disebut sebagai cosplayer terniat. Vest rajut mirip: check. Gestur tangan dan kaki mirip: check. Rambut sedikit belang ke perak-perakan: check.
Timo meniru gaya Dian/ Foto: CXO Media |
Meski jika lebih disadari, sebenarnya bukan Timo yang terlampau berusaha meniru Dian. Tapi memang, blueprint Dian terbilang cukup umum. Akan tetapi, ada satu hal yang membuat saya dan yang lain mengangkat topi untuk Timo: kerelaannya tidak berbaju kalcer untuk satu hari.
Terlebih lagi, upayanya memesan sepotong vest rajut dari e-commerce sambil memoles warna rambutnya menjadi silver kepirang-pirangan, layak diberi tepuk tangan. "Gue mau sih, pakai baju begini lagi ke kantor," kata Timo. "Soalnya kalau gue yang pake, pasti jadi kalcer juga," lanjutnya terkekeh.
Serupa namun Berbeda
Pada percobaan ini, kami bersepakat bahwa ada tiga orang lain, yang berhasil mengadaptasi gaya dengan baik. Yaitu, Rolland sebagai Almer, Hani berperangai layaknya Timo, dan saya sendiri yang meniru Iyas.
Iyas Lawrence kW AAA Thailand (kanan) - Iyas Lawrence beneran (kiri)/ Foto: CXO Media |
Soal Rolland yang menduplikasi Almer, kami percaya bahwa Rolland sukses tampil di luar zona nyamannya. Ya, memang, rambut mereka sudah sama gondrong. Tapi aksen chain necklace dan segulung gelang di lengan khas Almer, sudah cukup membuat kami pangling akan gaya Rolland hari itu. Ditambah lagi, sehari-hari, Rolland selalu tampil cuek tanpa aksesoris apapun. "Leher gue berat, boy!" keluh Rolland. "Ini pake-pake gelang juga lama banget, 'mayan lah ngerepotin."
Sementara lain, Hani sendiri berupaya agak keras untuk meniru Timo. Ia bahkan repot-repot mengorder "manset tato" seperti yang sering dikenakan Komeng, demi menyerupai perawakan Timo. "Slayyyyyy!" kesan Hani.
Kemudian, nasib saya sendiri cukup membuat kepala gatal. Maksud saya, entah harus senang atau sedih, saya yang kebagian cosplay menjadi Iyas, wajib mengenakan busana semi-formal bernada basic ke kantor. Padahal, di keseharian, saya sendiri jauh dari kata semi-rapi alias cukup terlihat kumal.
Walaupun enak juga dibilang "rapi" dan terlihat lebih profesional sama orang kantor, Saya rasa sulit buat terus "rapi kayak kado" setiap mau pergi ke kantor. Jadinya, kemejaan seperti itu lebih bernilai repot dan gerah. Entah saya yang males, atau cuek, tapi rasanya kerja mah memang nggak usah rapi-rapi amat. Asal kerjaan beres, pakai baju partai ke kantor juga boleh, ygy?
Awak CXO Media ber-cosplay/ Foto: CXO Media |
Satu arus, tapi bukan yang utama
Tanpa disadari, pesta kostum sederhana yang kami paksa adakan turut menimbulkan satu kesimpulan baru: ada kesamaan gaya yang cukup mendasar di cara berpakaian kami. Contohnya bisa dilihat dari Tasya yang meniru Destya, Taca menjadi Zidny, Destya meng-copy Taca, Dinar cosplay jadi Tasya, Desky mengikuti kegembelan saya, sampai Zidny yang berlagak menjadi Rolland.
Praktis, masing-masing dari kami tidak merasa kesulitan, karena gaya berbusana yang ditiru dengan yang meniru tidaklah jauh berbeda. Malahan, di keseharian, gaya asli yang ditiru juga searah dengan para peniru, meski tidak berada di tumpukan teratas lemari. Paling tidak, kontes perkostuman sederhana ini, mudah diterapkan teman-teman.
Pada akhirnya, meski meniru gaya satu sama lain tidak langsung membuat kami terkoneksi secara klop antara satu sama lain, ada beberapa hal yang bisa sama-sama kami pelajari: yang enak dipandang belum tentu enak dicoba, yang bisa dicoba belum tentu menyenangkan, dan yang akhirnya menjadi menyenangkan adalah saling memahami satu sama lain, meskipun tidak semudah meniru gaya berpakaiannya.
(RIA/alm)