Di pertengahan tahun 2016, jagat maya dihebohkan dengan kemunculan influencer bernama Lil Miquela. Seperti influencer pada umumnya, feed Instagram Miquela dipenuhi dengan selfie, foto outfit of the day, dan foto saat ia sedang hangout bersama para selebriti. Sekilas, Miquela terlihat seperti remaja Gen Z gaul yang banyak ditemui di Amerika Serikat. Tapi, ada satu hal yang membedakan dirinya dengan influencer lain-ia tidak benar-benar ada. "19-year-old Robot living in LA", tulisnya di bio Instagram. Hingga kini, pengikutnya telah mencapai 2.6 juta.
Lil Miquela adalah sosok yang diciptakan menggunakan kecerdasan buatan. Kalau dilihat lebih dekat, wajah Miquela memang terlihat seperti animasi 3D yang kita sering lihat di permainan simulasi The Sims. Lil Miquela adalah virtual influencer yang diciptakan oleh Brud, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kecerdasan buatan untuk menciptakan persona media sosial. Namun hingga kini, tujuan dari diciptakannya Lil Miquela tidak diketahui secara jelas.
Di Indonesia juga sudah ada beberapa virtual influencer, salah satunya yaitu Laverda Salsabila atau yang lebih dikenal dengan Lav Caca. Laverda Salsabila adalah penyanyi dangdut virtual yang diperkenalkan oleh Ujung-ujungnya Dangdut (UUD), yaitu platform musik dangdut yang diinisiasi oleh Denny Caknan. Akun Instagram-nya, @lav_caca, sudah diikuti oleh lebih dari 8 ribu orang. Bahkan, Lav Caca akan turut memeriahkan UUD Festival yang akan diselenggarakan di Banyuwangi. Menurut Denny Caknan, sosok Lav Caca diharapkan bisa menjadi ikon dangdut yang relevan dengan generasi muda.
Dunia Semakin Meta
Pertanyaan utama yang muncul dari banyak orang adalah untuk apa sebenarnya mereka diciptakan? Banyak yang curiga, virtual influencer adalah taktik marketing baru yang digunakan oleh perusahaan. Namun kalau diperhatikan, para virtual influencer ini tidak meng-endorse produk dari berbagai merek, seperti yang dilakukan oleh banyak influencer lain. Meski tujuannya belum jelas, tapi barangkali mereka justru mengingatkan kita betapa luasnya makna dari profesi influencer, yang pada dasarnya hadir untuk mempengaruhi opini orang lain. Seperti Lil Miquela yang kerap mempromosikan pandangan-pandangan 'woke' dan Lav Caca yang mempromosikan musik dangdut Indonesia.
Virtual influencer adalah inovasi teknologi yang mampu mengaburkan batasan antara dunia fisik dan dunia maya. Buktinya, banyak juga yang tergocek dengan persona para influencer ini sampai-sampai melempar pertanyaan apakah mereka manusia sungguhan atau bukan. Tapi, siapa yang pernah membayangkan kalau kita akan hidup di masa ketika sebuah karakter virtual bisa memiliki pengikut lebih banyak di media sosial ketimbang manusia sungguhan? Semenjak Mark Zuckerberg mengumumkan Metaverse, dunia simulasi virtual memang digadang-gadang akan mengubah masa depan kehidupan sehari-hari. Tapi, virtual influencer adalah sebuah terobosan yang menjungkirbalikan pemahaman kita mengenai dunia simulasi. Sebab kini bukan hanya manusia yang diubah menjadi avatar di dunia visual, tapi manusia virtual pun juga bisa hidup di dunia fisik.
Dalam sebuah 'wawancara' bersama YouTuber Shane Dawson, Miquela disodori pertanyaan mengenai foto-fotonya yang dimanipulasi. Ia pun balik bertanya, "Adakah pengguna Instagram yang tidak mengedit foto mereka?" Jawaban dari Miquela ini memuat sebuah refleksi penting bahwa dunia maya yang kita hidupi hari ini sudah sangat artificial, bahkan sebelum adanya virtual influencer. Hal ini juga menimbulkan paradoks, sebab para virtual influencer yang didesain cantik atau tampan secara konvensional ini justru melanggengkan standar kecantikan yang tidak realistis.
Menuai Kontroversi
Walaupun membawa terobosan dalam pemanfaatan teknologi, tapi virtual influencer tidak luput dari kontroversi. Brand Calvin Klein pernah dikritik karena menggunakan Lil Miquela dalam salah satu kampanyenya. Di iklan tersebut, Lil Miquela berciuman dengan model Bella Hadid. Selain dikritik karena melakukan queerbaiting, iklan ini juga dikritik karena lebih memilih menggunakan karakter virtual ketimbang mempekerjakan model yang benar-benar memiliki orientasi seksual gay.
Isu representasi memang kerap muncul dalam diskusi mengenai virtual influencer. Brand fesyen ternama Balmain pernah menggunakan 3 supermodel virtual dalam kampanye mereka. Ketiga supermodel ini adalah Margot yang berketurunan Eropa, Shudu yang berketurunan Arika, dan Zhi yang berketurunan Asia Timur. Hal ini pun menuai kontroversi, pertama karena mereka diciptakan oleh Cameron-James Wilson yang berkulit putih. Sehingga, ia dianggap sedang mengeksploitasi identitas ras lain yang dianggap 'eksotis'. Kedua, representasi keberagaman seharusnya diwujudkan dengan mempekerjakan model-model dari kelompok minoritas nyata dan bukan dengan menggunakan model virtual.
Virtual Influencer/ Foto: Istimewa |
Berkaca dari kasus Calvin Klein dan Balmain, virtual influencer bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka diharapkan bisa menjadi wajah dari keberagaman di media. Namun di sisi lain, virtual influencer bukanlah representasi yang valid. Esensi dari representasi adalah keterlibatan dan partisipasi, sedangkan di sini tidak ada kelompok minoritas yang dilibatkan. Pada akhirnya, keberagaman yang dihadirkan pun adalah keberagaman yang semu dan artifisial.
(ANL/alm)