Melakukan percakapan lewat aplikasi pertukaran pesan seperti WhatsApp atau Telegram, sudah menjadi kegiatan yang tak bisa lepas dari keseharian kita. Bagaimana tidak, mengobrol dengan teman, keluarga, kekasih, bahkan perihal pekerjaan pun, semua dilakukan lewat chat. Berkirim file multimedia seperti foto, video, rekaman suara, dan dokumen pekerjaan, apapun dimudahkan dengan adanya teknologi aplikasi pesan singkat ini.
Namun, di sisi lain kemudahan yang ditawarkan, muncul perkara baru dalam komunikasi antar manusia. Kita pun kini seakan terbagi menjadi dua jenis komunikator yakni komunikator aktif yang kerap cepat membalas chat dan komunikator pasif yang dinilai sangat lama membalas chat. Juga, hal yang paling menjadi perdebatan adalah ketika seseorang yang tengah melakukan percakapan via chat memiliki kebiasaan terlalu lama membalas. Uniknya, alasannya pun beragam.
Ilustrasi membalas chat/ Foto: Freepik |
Dalam lingkungan CXO Media misalnya, saya bertanya kepada Timo, apakah dia tipikal orang yang akan membalas chat dengan cepat, atau justru sebaliknya. Ia mengaku, sebenarnya perihal penting seperti pekerjaan, Timo termasuk komunikator yang cepat membalas pesan. Namun berbeda halnya ketika ia dalam mode santai, dia tipikal orang yang sangat pasif, bahkan cenderung menunda membalas chat sampai satu jam.
"Kalau gue lagi ada kerjaan, gue cenderung lama balas chat pacar gue. Ya, bisa tiga jam sih. Tapi kalau mode santai, bisa sampai 1 jam baru balas chat. Gue juga punya kebiasaan menjawab chat dalam hati. Padahal gue baru aja mau balas, tapi karena gue udah merasa jawab di dalam hati, ya akhirnya enggak jadi dibalas," kata Timo.
Perihal soal balas-membalas chat dalam hati ini juga dialami oleh Hani. Saat mode santai, Hani cenderung cukup lama membalas pesan singkat. Misalnya ketika ia punya kegiatan lain seperti menelusuri TikTok, kemudian ada notifikasi chat muncul, secara tidak sengaja ia akan membalasnya dalam hati, lalu melanjutkan kegiatannya lagi. Ketika ditanya kapan ia akan membalas chat tersebut, ia mengaku hanya sesuai mood saja.
"Waktu lagi scroll TikTok gitu, tiba-tiba ada notif muncul tuh. Aku udah lihat notifnya, tapi aku jawab dalam hati dulu. Nanti kalau sudah mood mau balas, ya nanti dibalas kok, yang penting sabar aja. Paling lama enggak sampai seharian juga sih, setidaknya 6 jam," ujarnya. Kebiasaan terlalu lama membalas chat ini pun dikarenakan Hani tidak ingin meninggalkan kegiatan yang sedang asyik dilakukan. Bahkan ia dulu sempat ditegur karena orang yang mengirimkannya chat sedang menunggu balasannya yang cukup lama itu.
Ilustrasi membalas chat/ Foto: Freepik |
Beda lagi dengan Tasya, ia mengaku sering mendiamkan sebuah chat dari seseorang dalam waktu yang cukup lama, yakni sampai satu hari. Sebenarnya Tasya telah melihat notifikasi chat tersebut lewat smartphone-nya, tapi bila isi pesan itu menurutnya bukan sesuatu hal penting seperti hanya ingin berbasa-basi ngobrol dalam waktu lama, ia merasa enggan untuk membalasnya.
"Misalnya notifikasinya hari ini, aku bisa balas besoknya sih. Bukan karena enggak mau balas, tapi kayak butuh effort lebih aja untuk balas chat. Kadang kalau sudah sampai rumah gitu, aku udah enggak buka chat lagi, karena udah enggak mau diganggu aja, udah capek. Tapi kalau ada urgensi seperti pekerjaan masih aku balas. Menurut aku, lebih baik ngomong langsung enggak sih, daripada lewat chat?" tutur Tasya.
Percakapan Tatap Muka Tak Bisa Terganti
Meskipun perilaku terlalu lama membalas chat ini jadi perkara menyebalkan di era digital seperti sekarang ini, tapi mungkin sebagian besar orang yang punya kebiasaan tersebut lebih menyukai percakapan tatap muka. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari cara tradisional dalam berkomunikasi ini. Maka tak heran, ada orang yang juga tidak terlalu mengandalkan mesin sebagai perantara komunikasi.
Melanie Chan, Dosen Senior dari jurusan Media, Komunikasi, dan Budaya Universitas Leeds Beckett, dalam penelitiannya tentang teknologi digital menunjukkan bahwa masih pentingnya percakapan tatap muka. Bicara secara langsung bisa memperkuat ikatan sosial dengan tetangga, teman, keluarga, rekan kerja, dan orang lain yang kita temui. Hal ini secara tidak sadar mengakui keberadaan dan kemanusiaan mereka dengan cara yang tidak dimiliki oleh aplikasi pesan singkat.
Ilustrasi ngobrol/ Foto: Freepik |
Percakapan tatap muka adalah pengalaman kaya yang melibatkan ingatan, membuat koneksi, membuat gambaran mental, asosiasi, dan memilih respons. Saat melakukan pembicaraan langsung, kita bisa menatap mata lawan bicara, menjangkaunya, dan menyentuhnya. Kita pun mampu mengamati postur tubuh orang lain dan gerakan yang mereka gunakan saat berbicara pada akhirnya kita punya kemampuan menafsirkan gerak tubuh dalam komunikasi. Semua ini berkontribusi pada seluruh intensitas sensorik dan kedalaman suatu pembicaraan, daripada kamu hanya mengandalkan aplikasi chat bersama emotikonnya.
Pada akhirnya, suara, sentuhan, penciuman, dan pengamatan isyarat tubuh yang kita alami saat melakukan percakapan dengan orang lain secara langsung, tidak bisa digantikan dengan perangkat digital apapun. Terhubung dengan orang lain melalui tatap muka lebih berharga ketimbang harus melalui chat yang bisa diedit atau diputar ulang.
Jadi orang-orang yang punya kebiasaan terlalu lama membalas pesan ini, mungkin terkesan menyebalkan bagi kamu yang suka membalas chat dengan cepat. Tapi bisa saja mereka hanya lebih menghargai melakukan komunikasi secara langsung untuk mendapatkan esensi dari sebuah perbincangan dengan orang lain.
(DIR/tim)