Penyanyi anak Farel Prayoga sedang menjadi sorotan di media sosial. Nama Farel sendiri semakin dikenal masyarakat luas setelah ia viral di TikTok hingga akhirnya diundang untuk tampil di Istana Kepresidenan. Namun, bukan karyanya atau penampilannya yang kali ini menjadi sorotan, melainkan, agamanya. Agama Farel menjadi perbincangan setelah Farel menolak untuk menjawab pertanyaan Gus Miftah mengenai agama apa yang dianutnya.
Di acara ini, Farel mengaku bahwa ia tidak mengaji tapi bisa shalawatan. Gus Miftah pun lantas bertanya "Agamamu apa?" Farel menjawab "Mbuh (nggak tahu). Nggaklah, privasi. Privasi, nggak bisa (dikasih tahu)," jawab Farel seperti dilansir dari Insertlive. Respon Farel tersebut mendapat banyak pujian dan dukungan dari warganet. Salah satunya, jurnalis Evi Mariani yang mencuit "Idola Banget. Farel Keren. 'Agamamu apa? Privasi.' Ini harus dinormalisasi." Pertanyaan mengenai identitas agama memang dianggap wajar di Indonesia. Tetapi, tak banyak yang punya keberanian untuk menolak menjawabnya.
Gus Miftah pun memberi klarifikasi bahwa dirinya tak bermaksud untuk mengintervensi agama Farel. Ia hanya ingin mengingatkan Farel untuk taat beragama, terlepas dari apapun agama yang dianutnya. Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa pertanyaan seperti itu seharusnya tidak menjadi kewajaran. Berawal dari sini, warganet pun sibuk berdebat mengenai agama dan privasi. Sebab di Indonesia, agama yang seharusnya menjadi urusan privat seringkali akhirnya menjadi urusan warga se-antero republik. Mengapa kita terobsesi dengan kepercayaan yang dianut orang lain?
Isu yang Terlalu Sering 'Digoreng'
Orang Indonesia memang sulit membedakan mana yang ranah privat dan mana yang publik, termasuk hal-hal yang menyangkut agama. Kalau ditilik, sebenarnya obsesi terhadap kepercayaan orang lain bukan hanya muncul dari masyarakat awam saja. Obsesi semacam ini juga bisa kita lihat di media dan juga panggung politik. Mari kita telusuri bagaimana kedua pilar ini merawat atau melanggengkan obsesi kita terhadap kepercayaan orang lain.
Di media, identitas agama paling sering disorot ketika membicarakan sosok selebriti. Misalnya, begitu jawaban Farel viral, banyak media langsung berbondong-bondong memberitakan agama Farel. Dengan menggunakan judul-judul yang bombastis seperti "Terkuak! Ini Agama Farel Prayoga" akhirnya identitas agama menjadi topik yang sensasional. Tak hanya itu, setiap kali ada selebriti yang pindah agama, hampir pasti ada beritanya di media. Berita-berita semacam ini akhirnya memenuhi hasrat obsesi audiens terhadap identitas agama idola mereka.
Di panggung politik, bukan sekali dua kali saja agama digunakan sebagai alat untuk bermanuver dan menjatuhkan lawan. Contoh yang paling membekas adalah bagaimana Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dipersekusi karena penistaan agama. Ahok adalah seorang double minority, ia adalah keturunan Tionghoa yang beragama Kristen. Sementara itu, protes terhadap Ahok dimobilisasi oleh ormas yang bercorak konservatif.
Berkaca dari dua kasus di atas, terlihat bahwa agama akan selalu menjadi perbincangan dan perdebatan di ruang publik. Baik media maupun politikus, keduanya merupakan agen dari komunikasi massa. Kalau kedua aktor ini rutin 'menggoreng' isu agama, ya wajar saja kalau warga jadi ikut terpicu untuk membahasnya.
Bisakah Agama Jadi Privasi?
Di Indonesia, isu yang seharusnya jadi urusan privat justru jadi urusan publik. Sebaliknya, isu yang seharusnya jadi urusan publik justru jadi urusan privat. Misalnya, kasus KDRT yang seharusnya dibawa ke publik sulit untuk diproses karena dianggap urusan rumah tangga. Tapi agama yang seharusnya menyangkut kepercayaan individu malah menjadi urusan warga dan negara.
Sedari awal, negara kita sudah memperlakukan agama sebagai isu publik. Buktinya, di KTP saja kita diwajibkan untuk mencantumkan identitas agama. Padahal, banyak yang menganggap informasi ini tak relevan untuk dimasukkan ke dalam KTP. Tak hanya itu, negara juga mengatur agama apa yang boleh kita anut dengan hanya mengakui 6 agama resmi yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Boleh-boleh saja menganut kepercayaan di luar 6 agama itu, asalkan siap menerima perlakuan diskriminatif. Negara mengatur praktek keagamaan warganya melalui Kementerian Agama-yang hingga hari ini pun nyatanya belum bisa menyediakan solusi bagi kelompok minoritas yang rentan mendapat diskriminasi.
Menurut Denise Meyerson dalam bukunya yang berjudul Law and Religion in Theoretical and Historical Context (2008), agama tidak seharusnya menjadi isu publik dan harus tetap menjadi isu privat. Agar agama bisa tetap menjadi isu privat, ia mengatakan bahwa agama tidak seharusnya menjadi landasan untuk membuat hukum dan kebijakan dalam sebuah negara. Dengan demikian, menurutnya, dinamika warga negara yang beragam akan menjadi lebih demokratis dan menunjang toleransi.
Di Indonesia, agama terlanjur menjadi isu yang tak terpisahkan dengan kehidupan bernegara. Dalam kondisi itu, agama pun akhirnya jadi isu yang strategis untuk 'digoreng' baik oleh media maupun politikus. Dengan kondisi yang seperti ini, wajar saja apabila warga Indonesia memiliki obsesi yang tak sehat terhadap agama yang dianut orang lain.
(ANL/tim)