Sepertinya sudah sepantasnya orang-orang saling bersikap baik dengan satu sama lain. Namun, akhir-akhir ini, saya sedikit menyadari bahwa terkadang kebaikan yang diungkapkan atau dilakukan memiliki 'tujuan' lain yang pada akhirnya membuat saya terasa seperti diremehkan. Misalnya dalam situasi di mana perempuan menolak untuk ditraktir atau diberikan suatu barang oleh pria, berujung tuduhan bahwa perempuan seharusnya jangan terlalu mandiri, menolak rejeki, dan sebagainya.
Bisa juga dalam situasi saat perempuan diminta melakukan sesuatu, karena yakin mereka punya sifat alamiah tersebut. Seperti karena perempuan itu harusnya punya sifat keibuan, mereka mampu menjaga anak-anak. Tujuannya baik, mempercayakan anak-anak kepada kita karena kita perempuan, tapi tidak semua perempuan punya sifat keibuan yang keluar begitu saja ketika melihat anak-anak. Sadar atau tidak hal tindakan ini adalah benevolent sexism.
Benevolent Sexism adalah bentuk seksisme yang cukup sulit dikenali karena orang yang melakukannya tidak secara terang-terangan meremehkan. Namun mereka selalu menekankan bahwa peran gender laki-laki sebagai pelindung dan penyedia kebutuhan perempuan, sementara perempuan harus berada dalam sifat alaminya. Sehingga ketika ada seorang perempuan yang menolak kebaikan atau tidak sesuai dengan tata masyarakat yang sudah ada, mereka merasa seharusnya perempuan tetap berada dalam peran gender tradisionalnya yakni tetap harus lemah dan tidak boleh mandiri.
Ilustrasi menolak seksisme/ Foto: Pexels |
Itu sebabnya dalam sebuah masyarakat patriarki, pria seperti punya tuntutan untuk tampil lebih perkasa, seperti terlihat punya banyak uang dan mampu mentraktir perempuan yang mereka inginkan. Dilansir Bustle, menurut sebuah laporan untuk konferensi Gender dan Pekerjaan Harvard Business School, negara-negara dengan tingkat seksisme yang 'baik hati' juga memiliki seksisme yang lebih terbuka dan bermusuhan.
Selain itu, tempat-tempat di mana orang-orang yang mempunyai keyakinan seksis yang 'baik hati', para perempuannya cenderung lebih sedikit berperan dalam pemerintahan atau berada di dalam struktur kepemimpinan dalam sebuah perusahaan. Lebih jauh lagi, perempuan yang secara tidak sadar sering terpapar seksisme 'baik hati' ini, cenderung menunjukkan permusuhan kepada perempuan yang menentang peran gender.
Misalnya, mereka menganggap para perempuan yang suka pulang malam sendiri, atau bekerja terlalu keras untuk mencapai goals tertentu terlihat ambisius dan menyalahi aturan masyarakat yang ada. Padahal tak ada salahnya dengan semua itu, sebab perempuan juga punya cita-citanya sendiri. Lantas, darimana asal mula pemikiran ini?
Ilustrasi tolak seksisme/ Foto: Pexels |
Asal Pemikiran Benevolent Sexism
1. Perempuan Penyayang
Tanpa kita sadari, sebenarnya ada banyak pernyataan seksisme yang kerap dianggap sebagai pujian. Misalnya, dulu Dalai Lama pernah dipuji karena mengatakan bahwa harus ada lebih banyak pemimpin perempuan karena perempuan lebih welas asih. Namun, pernahkah kamu berpikir, jika kamu bukan orang yang welas asih artinya kamu tidak pantas menjadi pemimpin?
Memandang dan berpikir bahwa seorang perempuan harus yang lebih penyayang dan lembut daripada pria, akan membuat orang lain menganggap para perempuan yang memiliki sifat keras atau perempuan alpha misalnya, dianggap bukan perempuan. Sehingga jika ada seorang pemimpin perempuan yang tidak lembut dengan gaya kepemimpinannya cenderung tegas, orang-orang akan mengkritiknya habis-habisan karena tidak sesuai dengan sifat alamiahnya.
2. Perempuan Cantik Itu...
Keyakinan bahwa perempuan lebih menyenangkan untuk dilihat membenarkan status quo di mana perempuan di objektifikasi dan ditentukan oleh kecantikan yang telah diukur oleh masyarakat. Ketika seseorang mengatakan, perempuan cantik itu harus bertubuh langsing, putih, berlekuk, indah, dan sebagainya. Padahal cantik punya makna luas, bukan terbatas ketentuan preferensi saja.
3. Perempuan Itu Intuitif
Dari mana pun asalnya, klaim bahwa perempuan lebih intuitif menempatkan kita di atas tumpuan dan mendorong keyakinan bahwa kita cenderung tidak bergantung pada pemikiran rasional. Sehingga adanya profesi-profesi tertentu yang lebih cocok untuk perempuan, seperti mengajar atau melakukan konseling yang konon membutuhkan banyak intuisi daripada teknis yang lebih banyak membutuhkan logika. Jadi ketika ada perempuan yang melakukan pekerjaan yang sebenarnya lebih banyak dilakukan oleh pria, semua itu terasa tidak benar dan aneh.
Ilustrasi seksisme/ Foto: Pexels |
4. Perempuan Itu Lebih Rapi
Kata siapa? Perempuan juga memiliki sisi yang berantakan. Namun entah dasar dari mana, jika yang lebih rapi dan bersih itu seharusnya perempuan. Sehingga perempuan dianggap cocok untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, sebab semua akan selesai dengan benar jika dilakukan oleh perempuan. Sistem kepercayaan ini berbahaya karena membuat perempuan terjebak dengan pekerjaan rumah tangga, sementara pria menggunakan ketidakmampuan mereka sendiri untuk menghindari melakukan pekerjaan domestik.
5. Semua Hal Buruk Ada pada Pria
Sadar atau tidak, benevolent sexism juga menyakiti pria. Saat masyarakat patriarki meyakini bahwa perempuan itu lebih penyayang, penuh kasih sayang, cantik, dan intuitif, semua keburukan yang ada di dunia ini dilakukan oleh pria. Sehingga ketika ada pria yang lemah lembut, penuh kasih sayang, melakukan sesuatu berdasarkan intuisinya, melakukan pekerjaan domestik lebih baik dari perempuan, akan ada anggapan bahwa dia adalah pria 'feminin'. Tak jarang para pria juga menjadi bulan-bulanan para pria lainnya yang menganut patriarki bahwa pria seharusnya mempunyai andil lebih tinggi dari perempuan dan tak pantas punya sifat alami layaknya perempuan.
Pemikiran seksisme semacam ini, sebenarnya masih banyak di sekitar kita, apalagi sebagian besar keluarga orang Indonesia masih menganut sistem patriarki ini. Sulit memang melihat benevolent sexism di lingkungan kehidupan kita, tapi kamu masih bisa memahaminya ketika melihat 'tujuan' di balik orang mengatakan dan bagaimana caranya memperlakukanmu.
(DIR/iyas)