Rasanya, sebagai sebuah negara berusia 77 tahun, Indonesia kalah ideal dengan Gen-Z saat memilah pasangan. Buktinya, pemerintah malah mengizinkan eks narapidana korupsi yang sudah jelas toksik dan manipulatif, untuk kembali duduk mewakili rakyat di bangku legislatif. Sementara Gen-Z, justru lebih tegas menyortir bibit, bebet, dan bobot calon pasangan, termasuk mengeluarkan 'mantan' toksik dari daftar kandidat.
Fenomena ini memang aneh. Maksudnya, kenapa pula para koruptor terlepas dari hukuman kurang berat yang sudah mereka ringankan dan jalankan masih saja diperbolehkan maju sebagai calon anggota dewan? Ya, walaupun undang-undang melegitimasi aturan ini karena beberapa alasan yang saya rasa janggal, tetap saja koruptor bukanlah sosok yang boleh diberi ruang dalam pemerintahan. Seakan-akan, Indonesia, bangsa besar dengan populasi 270 juta orang, tak lagi punya calon legislator mumpuni yang bersih dari catatan korupsi.
Ilustrasi caleg/ Foto: Freepik |
Ironisnya, di akar rumput, kebanyakan Gen-Z yang sedang berjuang mendapat pekerjaan pertama justru diwajibkan punya portofolio sempurna, lengkap dengan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang semulus "pantat bayi". Suatu beban kredibilitas berat bagi Gen-Z, yang secara tidak langsung turut berdampak pada proses penyortiran calon pasangan hidup mereka. Di mana background check ketat: mulai dari tempat dan circle bergaul hingga perhitungan zodiak, akan ditimbang secara matang sebelum akhirnya Gen-Z siap melangkah ke depan.
Apabila disejajarkan, proses pemilihan wakil rakyat dengan cara Gen-Z memilah pasangan akan tampak begitu kontras. Hal yang pertama, dengan mudahnya memberi kesempatan bagi koruptor, pencuri uang rakyat alias para pelaku kejahatan luar biasa, untuk mengisi pos penting dalam tataran bernegara kita meskipun sudah pernah terbukti berkhianat. Sedangkan yang kedua, meski berada di ranah privat, seleksi alam dan proses tebang pilih mendalam akan berlangsung hebat, dan bisa gagal lantaran following Instagram penuh akun lawan jenis, yang dianggap lebih menggoda semata.
Maksudnya, dalam aturan yang memperbolehkan koruptor kembali nyaleg, sekalipun undang-undang telah diatur sedemikian rupa untuk memastikan hak partisipasi politik para koruptor tidak dirampas dengan catatan: telah mengaku kepada publik kalau mereka adalah pelaku korupsi; mengapa para koruptor tidak sadar diri bahwasanya mereka tidak lagi pantas menjabat sebagai wakil rakyat?
Ilustrasi korupsi/ Foto: Freepik |
Jamaknya, para koruptor wajib sadar kalau mereka kalah ksatria dibanding para Gen-Z tuna asmara, yang secara terhormat mundur dari persaingan hanya karena faktor kesenjangan jumlah followers Instagram dengan sang calon gebetan. Lagipula, seharusnya para koruptor plus partai politik yang mengusungnya lebih bersifat merendah kepada rakyat, yang secara sadar atau tidak, telah memaafkan hingga melupakan kesalahan bejat mereka di masa sebelumnya.
Di samping itu, jika menengok catatan korupsi yang dilakukan anggota legislatif rentang 2004-2022, rasanya aturan: mengizinkan koruptor nyaleg perlu dipertimbangkan ulang. Sebab menurut catatan KPK, terdapat 310 kasus korupsi yang ditunaikan oleh "tikus-tikus berdasi" di tingkat DPR/DPRD, baik secara individu maupun berjamaah. Ya, walaupun boleh dikatakan kalau manusia bisa bertaubat dan juga berubah, tetap saja, menaruh amanah rakyat di pundak politisi-politisi korup bukanlah sesuatu yang mudah dan lebih berpotensi melukai demokrasi yang kita junjung bersama.
Bagi saya sendiri, hal ini malah lebih bersifat rentan dan mustahil. Makanya, kembali mengizinkan manusia korup yang jelas-jelas tega berkhianat kepada rakyat adalah sebuah kecerobohan yang perlu kita hindarkan sekalipun menaruh percaya pada caleg non eks koruptor juga belum tentu membebaskan kita dari kelakuan khianat berupa korupsi, kolusi, nepotisme dan semacamnya.
Sampai di sini, sepertinya pemerintah memang wajib belajar dari teman-teman Gen-Z yang rajin memberikan maaf tapi tidak pernah melupakan dosa orang yang pernah zalim kepadanya. Paling tidak, pada pemilu yang akan datang, caleg-caleg eks koruptor hingga partai politik yang yang tanpa malu melenggangkannya ke kontestasi politik wajib diberi tanda spesial. Entah di lembar pemilihan suara, di akun media sosial, atau di televisi nasional, wajah tikus-tikus pengerat uang rakyat tersebut wajib dipertontonkan secara luas, agar masyarakat tidak lagi terjerumus ke lubang yang sama.
(RIA/DIR)