Saya selalu kikuk ketika berkunjung ke 'taman-taman' ini. Sebagai sebuah taman-yang seharusnya menenangkan dan penuh kebahagiaan, tempat ini kerap diselimuti raut lara, dan getir, dari setiap wajah yang datang berkunjung. Sekalipun naif, taman memang dikenal sebagai tempat yang teduh, di mana sepasang kekasih memetik melati buat sang pujaan hati. Atau setidaknya, menjadi tempat bermain yang asyik bagi bocah-bocah riang.
Tapi, entah apa alasannya, dan siapa pula yang memulainya; orang-orang justru gemar berduka di Taman Pemakaman Umum. Padahal bunga-bunga masih mekar di tanahnya. Pohon yang rindang juga bisa ditemukan dengan mudah. Banyak pula bocah-bocah berlarian yang fokus menerbangkan layang-layang di taman ini.
Lantas, mengapa para pengunjung Taman Pemakaman Umum, yang aslinya sekadar mengantar jenazah atau hanya mampir menengok rumah abadi para moyangnya, malah menangis terisak-isak penuh ratap saat datang ke taman ini? Maksudnya, sebagai sebuah taman, mengapa kita tidak bisa mengunjungi Taman Pemakaman Umum seperti saat kita mengunjungi taman-taman lain, yang selalu bertujuan untuk bergembira? Mengapa pula taman ini sering membuat seseorang larut dalam keadaan mengurut dada, jika sebenarnya kita tahu bahwa, setiap yang tinggal di taman ini akan menuju tempat yang lebih baik?
Ilustrasi pemakaman/ Foto: Pexels |
Bagi saya, hal ini terasa begitu mengherankan. Apalagi jika lebih diperhatikan, setiap raga yang dibaringkan di taman ini, selalu menampakkan senyuman simpul di bibir masing-masing. Sebuah senyum, yang sama-sama kita artikan sebagai tanda puas dan ikhlas, karena sudah meninggalkan rumah yang fana dan bergegas menuju taman-taman abadi yang tidak pernah tak berhiaskan bunga-bunga beragam rupa.
Harusnya, kalau memang seperti itu, mengapa kita tidak bisa berpiknik, atau sekadar bersenang-senang saja di taman ini? Bukankah berkunjung ke makam para leluhur sama juga dengan silaturahmi? Bukankah silaturahmi itu berarti menjalin kasih sayang, dan sayang itu lebih efektif dibagikan dengan perasaan senang?
Saya jadi teringat dengan kelakuan Benyamin Sueb dalam Si Doel Anak Sekolahan. Sekali waktu, mereka sekeluarga kawulan ke makam leluhur yang sudah berubah menjadi lapangan sepak bola. Uniknya, rombongan bang Ben yang berniat ziarah tersebut malah menenteng sederet piknik starter pack, seperti rantang-rantang makanan, buah-buahan, lengkap dengan segulung tikar. Lebih mengesankannya lagi, mereka mengaku datang untuk silaturahmi tanpa merasa sedih, melainkan dalam euforia perayaan kelulusan Doel sebagai 'tukang insinyur', atau dengan kata lain melakukan syukuran di pemakaman meski sudah disulap menjadi bangunan lain.
Ilustrasi taman pemakaman umum/ Foto: Pexels |
Serupa tapi tak sama, sutradara kondang Joko Anwar, pada salah satu podcast malah pernah mengungkap kalau dirinya sangat gemar menulis dan berpikir di taman pemakaman. Bagi pembuat Janji Joni tersebut, taman pemakaman adalah tempat yang cukup menenangkan. Buktinya, mood untuk menulis mengalir deras di tempat yang sama dengan dibaringkannya tubuh-tubuh manusia tak bernyawa.
Apalagi, menurut seorang sufi klasik yang kian masyhur di media sosial, Jalaluddin Rumi, kematian bukanlah sesuatu yang pantas diratapi. Sesaat sebelum meninggal, Rumi bahkan melarang para sahabatnya bersedih dan meratap. Katanya, "Aku bukan pergi: Aku telah sampai kepada Cinta Yang Abadi." Rumi juga melarang sahabat-sahabatnya mengucap selamat tinggal, "Ingatlah, kuburan hanya bagi Surga yang berada di sebaliknya, engkau hanya akan melihatku (seperti yang) diturunkan ke kuburan, sekarang, lihatlah aku bangkit," pesan Rumi, sambil menegaskan, "Saat kuburan mengurungmu (manusia), saat itulah jiwamu akan terbebaskan."
Jadi, sampai di sini, kalau kita mau melihat Taman Pemakaman Umum sebagai sebuah taman berbunga yang indah, masih pantaskah kita menangis meronta-ronta di sana? Meminjam anggapan Rumi, semestinya kuburan adalah pintu menuju Cinta yang Abadi, sebuah taman dengan kamboja bermekaran, tempat manusia menjadi kekal di haribaan Sang Maha Cinta.
Wallahu Alam Bi Sawab.