Selaras dengan buai keberhasilan, kegagalan merupakan suatu hal yang turut menanti manusia pada setiap persimpangan jalan. Di saat berhasil, tentu kita akan merasa bangga atas diri sendiri. Namun ketika gagal menghadang, mengapa kita malah menyesal dan tidak berbangga atas pencapaian yang sejatinya merupakan buah susah payah kita juga?
Belajar dari kegagalan atau mencari hikmah dalam penyesalan, mungkin terdengar naif dan hanya bersifat menghibur bagi orang-orang gagal apalagi jika didengar dari sesosok motivator ulung di seminar kesuksesan bertiket mahal. Kembali ke poin yang utama, yakni belajar dari sebuah kegagalan atau penyesalan. Ternyata, kita memang bisa belajar dari pengalaman semacam itu. You only live once, kata orang zaman sekarang. Dari kesempatan hidup yang cuma satu kali ini saja, akankah kita berhenti menjalani hidup hanya karena takut gagal dan menyesal? Bukankah semua itu dapat kita jadikan pengalaman yang berharga? Sebab orang bijak pernah berkata, "guru terbaik adalah pengalaman". Ya, pengalaman.
Ilustrasi merenung/ Foto: Pexels |
Secara luas, petuah tersebut tidak membatasi kita untuk sekadar belajar dari cerita-cerita kesuksesan. Oleh karena itu, artinya kita pun bisa atau bahkan wajib belajar pula dari pengalaman yang mengandung kegagalan. Saya sendiri, sebagai manusia yang sangat tidak sempurna tentunya pernah mengalami penyesalan mendalam dan hampir terlarut di dalamnya. Misalnya ketika saya berada di masa peralihan dari SMA ke dunia Universitas. Waktu itu, saya sangat berharap untuk bisa kuliah di sebuah kampus negeri di Yogyakarta. Namun, karena upaya belajar yang sebelumnya tidak maksimal, saya secara terpaksa harus puas pergi ke salah satu universitas swasta di Bandung.
Pengalaman yang menghantam ekspektasi secara telak itu jelas menyisakan penyesalan dalam diri. Saya pun mulai gemar berserapah dan mengutuk. "Bandung merupakan buah penyesalan mendalam karena kelalaian saya di masa silam," kala itu. Tetapi, pada sebuah buku yang ditulis Puthut EA, alumnus filsafat UGM tersebut pernah menjelaskan pandangannya mengenai suatu penyesalan. Katanya, "penyesalan, adalah bagian paling cepat dari segala yang bisa kita kenang. Tapi jika berlarut, ia akan menjelma menjadi kutukan."
Ilustrasi belajar di universitas/ Foto: Pexels |
Secara perlahan, perasaan tersebut justru mulai menghampiri saya ketika waktu terus berjalan dan saya mulai menerima keadaan. Ternyata, Bandung adalah tempat yang cocok untuk saya dalam segala hal yang jika disadari secara lebih lanjut, mustahil terjadi apabila saya berada di Jogja.
Singkatnya, saya malah belajar bahwa gagal bukanlah akhir dunia, dan sikap meromantisasi penyesalan adalah sesuatu yang tidak boleh dipelihara. Sebab, sekalipun kita menyesal hingga "menangis darah", keadaan yang sudah terjadi tidak akan berubah juga, bukan? Jadi daripada terus mengglorifikasi kegagalan dengan penyesalan kita bisa mengkonversi semua keluh dan sesal di masa silam menjadi bahan bakar perbaikan.
Belajar dari kegagalan/ Foto: Pexels |
Apalagi jika dicermati lebih jauh, sebenarnya tiada satu pun hal di dunia yang patut untuk disesali. Malah, satu-satunya hal yang perlu disesali adalah berhenti melangkah karena takut menyesal. Hal yang sana juga pernah diungkap oleh Windy Dryden, seorang ahli terapi perilaku kognitif. Menurutnya, "jika Anda menghindari melakukan sesuatu yang mungkin kita sesali nanti, Anda akan melepaskan diri dari hubungan, peluang, dan akhirnya hidup itu sendiri dan ironisnya adalah, tidak ada sumber penyesalan yang lebih kuat daripada itu."
Semua manusia pasti pernah gagal dan pernah pula menyesal. Hal yang penting diperhatikan adalah bagaimana cara dari masing-masing kita untuk belajar dari penyesalan dan mengubahnya menjadi kebaikan. Alih-alih trauma perkara menyesal, alangkah lebih baik untuk menerima segala hal dengan pertimbangan yang bijak, dan menutupnya sebagai perasaan penuh syukur serta ikhlas karena menemukan banyak hikmah di belakangnya.
(RIA/DIR)