Tak ada salahnya bila kita melakukan sesuatu atau membuat sesuatu karena terinspirasi dari orang lain. Ya, seperti halnya yang sudah-sudah. Bila ada satu hal yang unik kemudian viral, tiba-tiba saja ada hal serupa muncul. Bukan satu atau dua saja, tapi hampir di setiap sudut akan ada hal serupa, contoh paling mudahnya adalah makanan.
Beberapa waktu lalu, saya sempat berkunjung ke sekitaran Grand Indonesia yang menjadi tempat favorit orang Jakarta untuk berburu takjil. Berbekal keinginan pasangan yang sangat ingin menemukan makanan kerap diulas oleh beberapa orang di media sosial, saya pun rela menemaninya, meski saya tahu akan seramai apa sekitaran Grand Indonesia ketika akhir pekan.
Benar saja, ketika sampai di sana, saya mendapati banyak orang tumpah ruah untuk mencari jajanan berbuka puasa. Bahkan untuk berjalan saja susah karena sudah dipenuhi pedagang, orang yang ingin membeli, sampai kendaraan yang lalu lalang dan ingin parkir. Pusing rasanya kalau diingat-ingat. Tapi yang menjadi perhatian saya adalah dari sekian banyak makanan, ada beberapa makanan yang hampir serupa namun pengunjungnya berbeda. Salah satunya adalah ayam penyet cabe ijo katanya enak karena sudah diulas seorang YouTuber kuliner kenamaan Indonesia.
Ayam Cabe Ijo di Grand Indonesia yang viral/ Foto: Detik.com |
Yang membuat saya bingung, hanya berjarak beberapa langkah dari kios ayam penyet cabe ijo viral tersebut, ada gerobak makanan yang menjual menu yang sama. Namun yang membuatnya berbeda hanyalah dari jumlah pembelinya. Ada banyak orang rela mengantre dengan belasan orang lainnya hanya untuk mencicipi ayam cabe ijo viral ketimbang, gerobak makanan dengan menu sama tak jauh dari sana.
Saya pun penasaran, apakah ada yang berbeda dengan ayam tersebut? Saya dan pasangan pun memutuskan untuk membeli ayam tidak viral itu. Hanya beberapa menit menunggu, makanan pun siap. Ketika berbuka puasa dan mencicipinya, ayam penyet cabe ijo tidak viral itu pun saya rasa enak dan tidak jauh berbeda dengan yang viral. Lantas, apa yang membuat kita, khususnya orang Indonesia suka ikut-ikutan sesuatu hanya karena ramai atau viral?
Ilustrasi antre/ Foto: PxHere |
The Bandwagon Effect dan Konformitas
Sebenarnya ada dua kemungkinan mengapa orang Indonesia suka ikut-ikutan atau tidak punya pendirian tentang apa yang dipilihnya. Pertama, konformitas; dan kedua adalah the bandwagon. Dikutip laman Psikologi Universitas Negeri Semarang, konformitas adalah kecenderungan individu untuk mengubah persepsi, opini, dan perilaku, sehingga sesuai atau konsisten dengan norma-norma kelompok. Selain itu, konformitas juga bisa didefinisikan sebagai perubahan perilaku pada individu sebagai akibat dari adanya tekanan kelompok.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi konformitas yaitu pengaruh dari orang-orang yang disukai; kekompakan kelompok; ukuran kelompok; dan norma sosial deskriptif dan norma sosial injungtif. Norma injungtif adalah hal apa yang seharusnya dilakukan, sedangkan norma deskriptif adalah apa yang kebanyakan orang lakukan.
Ketika orang melakukan aksi ikut-ikutan tersebut, sebenarnya itu berdasarkan naluri dan keinginan manusia hidup. Pada dasarnya manusia suka dipuji, dan konformitas adalah caranya untuk mencapai keinginan tersebut. Orang cenderung akan melakukan konformitas agar mereka bisa diterima oleh kelompok sosialnya, dan ingin selalu benar di mata orang lain.
Ilustrasi ikut-ikutan/ Foto: Levi Jones - Unsplash |
Sementara The Bandwagon Effect adalah istilah psikologi ketika orang melakukan sesuatu terutama karena orang lain melakukannya juga, terlepas itu dari keyakinan mereka sendiri atau keinginan kelompok. Fenomena ini tidak memungkinkan setiap individu untuk memeriksa nilai dan keyakinan khusus mereka untuk melihat apakah tren yang ada adalah sesuatu yang mereka sukai atau tidak. Dalam psikologi sosial, kecenderungan orang untuk menyelaraskan keyakinan dan perilaku mereka dengan kelompok juga disebut "mentalitas kawanan" atau " pemikiran kelompok ".
Meskipun dalam kasus ikut-ikutan soal makanan, mode, budaya pop, atau musik adalah hal yang wajar, namun kamu yang mungkin terlalu sering mengikuti arus sehingga jarang punya pendirian sendiri, harus waspada. Sebab budaya ikut-ikutan ini bisa merusak dan memiliki konsekuensi serius. Misalnya, ada individu yang terpengaruh dari gerakan anti-vaksinasi; atau mengubah suara pilihan politik karena faktor tertentu seperti tekanan sosial atau tekanan ekonomi. Oleh sebab itu, percaya pada keyakinan sendiri adalah dasar yang penting agar bisa lepas dari budaya ini.
(DIR/MEL)