Gemuruh Ramadan hadir kembali. Semaraknya terus dirayakan semenjak sidang isbat digelar oleh para pemangku kepentingan. Biasanya, ketika tanggal 1 Ramadan ditetapkan, segerombol warga khususnya anak-anak akan berkeliling kampung menggunakan obor sambil melantunkan sholawat dan menabuh genderang sebagai tanda bahwa Ramadan telah datang. Konon, para pengkhotbah di langgar-langgar juga menyampaikan pesan ceramah ketika Ramadan tiba. Kurang lebih, mereka akan berkata "sambutlah Ramadan dengan sukacita."
Sependek ingatan saya, tradisi menyambut Ramadan dengan meriah-seperti di atas terus menerus dilakukan pada masa lampau. Namun saat ini, di zaman yang lebih digital daripada masa sebelumnya, banyak yang merasa bahwa denyut keseruan Ramadan perlahan meredup dan menghilang.
Beberapa waktu silam, mungkin di awal milenia 2000an atau akhir 90an, semarak Ramadan terasa lebih lengkap. Ada ritual wajib yang terus dilakukan seperti pawai obor dan menabuh bedug beramai ramai ketika Ramadan ditetapkan. Belum lagi ada ritual solat tarawih yang disemarakan anak muda secara berbeda, seperti malah asyik perang sarung ketika khotbah berlangsung, bertukar panah asmara dengan teman sebaya, atau malah fokus mengeksplorasi jajanan di pelataran masjid yang murah meriah.
Ilustrasi mengisi buku Ramadan/ Foto: Rukita |
Sepintas, kita memang tengah membandingkan bagaimana vibes Ramadan sekarang dengan masa silam. Sebab banyak yang bersepakat, bahwa Ramadan tak semeriah dahulu. Pada masa ini, kemeriahan Ramadan semakin jarang kita rayakan bersama. Apalagi semenjak pandemi mendera dua Ramadan ke belakang, banyak kebiasaan seru Ramadan yang mulai absen. Masjid tidak lagi disesaki jamaah yang sumringah, jalanan tidak dihiasi anak-anak yang bermain petasan dan malam-malam Ramadan justru hanya ramai di dunia maya. Fenomena seperti barusan, jelas menyisakan perasaan rindu mendalam mengenai semarak Ramadan. Khususnya bagi insan yang pernah menghidupi keseruannya di masa silam.
Mungkin, menyaksikan iklan-iklan bernuansa puasa yang terus diulang di televisi menjadi aktivitas aneh yang kini malah dirindukan. Sebab kita tahu, dahulu, hanya dengan melihat iklan sirup yang mulai seliweran, berarti Ramadan dan nuansanya yang meriah telah datang. Selain itu, sepertinya ceramah di masjid tidak lagi digemari anak sekolah yang ditugaskan mencatat inti ceramah sekaligus meminta tanda tangan pengkhotbah. Memang tidak fair rasanya jika kita terus membandingkan keseruan Ramadan. Sebab, kita pun tahu bahwa segala hal telah berubah.
Ilustrasi membangunkan sahur/ Foto: Rukita |
Mungkin dahulu, kita hanyalah segerombolan bocah kecil yang berbahagia jika berkeliling menabuh bedug dan kentongan untuk membangunkan warga sahur. Tapi kini, mungkin kita juga menjadi bagian yang terus sebal dengan mereka yang melanjutkan kegiatan seperti demikian. Mungkin juga, anak remaja tidak lagi antusias meneruskan prosesi sahur on the road, sebab esensinya tidak lagi relevan seperti pada masa silam. Atau mungkin dulu, kita terlampau senang dan merasa bahwa menyambut Ramadan dengan petasan adalah hal yang boleh serta tepat dilakukan, namun kini justru malah melarang orang memainkannya karena kita tahu bahaya dari petasan itu sendiri.
Ramadan dan denyutnya yang meriah telah berubah. Seiring berkembangnya zaman, seiring bertambahnya umur kita, dan seiring bergantinya kesenangan orang-orang. Semangat Ramadan tidak lagi gamblang dirayakan. Kali ini mungkin lebih mendalam ke benak dan hati para penyambutnya. Jadi, sebenarnya, tidak apa-apa jika denyut Ramadan mulai berkurang, karena memang bulan ini tidak patut jika ditanggap secara ritual, namun lebih tepat jika digiati dengan kegiatan spiritual. Ah, tetapi, siapa yang tidak rindu Ramadan yang meriah? Bukankah kita tetap bisa bahagia secara spiritual ketika terus meriah merayakan indahnya Ramadan yang menakjubkan?
(RIA/DIR)