Hidup dalam keluarga yang menjunjung nilai patriarki, sejak kecil saya sering dinasihati oleh orang tua bahwa perempuan itu kerja yang mudah saja. Sebab pada akhirnya perempuan akan menikah dan memiliki anak yang harus diurus di rumah. Hal-hal seperti itu terus saya dengar sampai tiba saya harus memilih jurusan kuliah yang saya inginkan. Kedua orang tua saya menginginkan saya berkuliah di jurusan--yang menurut mereka--cepat mendapatkan uang, dan tidak memiliki jenjang karir yang terlalu tinggi. Tapi justru saya tidak menginginkan jurusan yang disarankan oleh orang tua saya dan memilih jalan karir saya sendiri, yaitu sebagai seorang jurnalis.
Tentu keputusan saya tersebut sempat ditentang oleh orang tua saya, karena menurut mereka kuliah di jurusan seperti itu tidak jelas dan berbahaya untuk saya. Padahal saya hanya ingin memiliki jalur karir yang berbeda dari kerabat-kerabat lainnya seperti pegawai bank, asuransi, dan lain sebagainya. Tapi meyakinkan keluarga tentang ambisi saya untuk berkarir di bidang ini bukan hal yang mudah, terutama keluarga patriarki.
Ilustrasi jurnalis/ Foto: Cottonbro/Pexels |
Bahkan belum selesai saya menyelesaikan studi, ibu saya meminta saya untuk segera menikah karena umur saya saat itu 22 tahun, umur yang sama ketika ibu saya menikah dengan ayah saya. Menurut beliau saat itu, menikah muda akan membuat saya aman mengingat saya nantinya akan mulai bekerja di lingkungan cukup 'bebas'. Hingga pada akhirnya, orang tua pun menyerah dan membiarkan saya menentukan arah hidup saya sendiri. Walau pada perjalanannya ambisi saya berkarir di bidang ini masih terus dipertanyakan.
Bukan hanya di lingkup keluarga, di lingkup sosial pun selalu mempertanyakan saya karena tetap memilih untuk bekerja dan berkarir setelah menikah. Karena menurut mereka, perempuan itu tidak boleh terlalu berambisi sebab akan menjadi terlalu berani dengan suami, egois, dan serakah. Namun saya cukup beruntung memiliki pasangan yang mendukung saya untuk berkarir sampai saya memutuskan untuk berhenti dengan sendirinya.
Sepenggal kisah saya ini hanyalah secuil cerita-cerita perempuan lainnya di dunia yang selalu dipandang sebelah mata karena ambisinya. Sebab ambisi dan perempuan bukanlah hubungan yang direstui masyarakat dunia.
Ilustrasi perempuan dan ambisinya/ Foto: Tima Miroshnichenko/Pexels |
Kata Tabu Itu adalah Ambisi
Sebuah pernyataan seorang pendidik di salah satu instansi pendidikan tinggi pernah menjadi polemik di ranah digital karena terlalu mendiskreditkan kemampuan perempuan dalam hal kepemimpinan. Ia mengatakan bahwa perempuan Indonesia diharuskan mempunyai sifat tertentu untuk menjadi pebisnis atau pemimpin sukses, salah satunya sifat yang tenang.
Menurutnya, perempuan dengan ambisi besar akan menjadi bumerang yang siap menghancurkan perempuan itu sendiri. Selain itu, pernyataan lainnya yang cukup kontroversial adalah perempuan sukses mesti berpikir bahwa dirinya bukan perempuan. Artinya ia berpikir bahwa perempuan tidak boleh menjadi dirinya sendiri jika ingin sukses meraih cita-citanya.
Pernyataan pendidik tersebut sedikit banyak menggambarkan bagaimana perempuan dilihat dalam komunitas. Perempuan adalah individu yang tidak grasah-grusuh, mempunyai batas tertentu, sensitif, tidak boleh mementingkan kepentingan dirinya sendiri, dan lain sebagainya. Kita pun juga dinilai lebih cocok untuk mengurusi urusan domestik ketimbang meraih ambisi layaknya kaum pria. Sehingga, kata ambisius pun menjadi tabu dan terdengar terlalu serakah untuk perempuan.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa secara budaya, ambisi dipandang sebagai sifat positif pada pria namun menjadi buruk pada perempuan. Dalam artikel yang ditulis oleh psikiater dari Cornell University, Anna Fels berjudul "Do Women Lack Ambition" menjelaskan bahwa sejumlah narasumber penelitiannya membenci kata 'ambisi' karena punya makna egois, besar kepala, atau manipulatif untuk mencapai kepentingan pribadi. Padahal, kata ambisi sendiri adalah kata yang netral yang berarti keinginan kuat untuk mewujudkan cita-cita atau harapan.
Ilustrasi perempuan yang ingin mewujudkan cita-cita/ Foto: Rodnae Production/pexels |
Selain itu, menurut hasil survei yang dilakukan oleh American Express dan The New York Women's Foundation melaporkan bahwa 59 persen perempuan mengatakan ambisi adalah sifat penting yang harus dimiliki oleh karir seseorang, dan mereka mengidentifikasi diri sebagai ambisius.
Namun persentase perempuan yang mengaku nyaman dan bangga disebut ambisius lebih rendah yakni sepertiga dari koresponden. Mereka pun lebih nyaman mengidentifikasi dengan kata 'termotivasi'. Menurut para perempuan tersebut, menghindari kata ambisius adalah upaya agar mereka tidak dianggap terlalu agresif, sehingga karir perempuan akan lebih lancar.
"Perempuan telah diingatkan oleh masyarakat bahwa mereka harus rendah hati dan lebih menonjolkan diri daripada laki-laki. Selain itu, ada penelitian yang menunjukkan bahwa meskipun laki-laki dihargai di tempat kerja karena ambisius, perempuan dapat dihukum dan dipandang agresif," kata Margot Levin, seorang psikolog di New York City.
Menurut Denise Pickett, presiden American Express, ambisi secara intrinsik terkait dengan kepercayaan tidak hanya pada diri sendiri tapi pada kemampuan kita untuk diakui atas kontribusi yang dilakukan. Dengan mengungkapkan ambisi perempuan secara blak-blakan, dinilai akan menjadi hambatan untuk mencapainya.
Ilustrasi perempuan yang dijudge karena ambisinya/ Foto: Yun Krukov/Pexels |
Banyaknya stigma negatif perempuan ambisius membuat para perempuan yang sebenarnya mencapai kesuksesan karena kemampuannya menjadi minder dan menganggap pencapaiannya hanyalah keberuntungan. Padahal sama seperti halnya laki-laki, perempuan memiliki kemampuan parsial yang sama, pikiran luas yang diberkahi Tuhan, dan juga kemampuan untuk menduduki posisi teratas dalam komunitas masyarakat. Lantas, mengapa kita terus mencari perbedaan dramatis antara pria dan perempuan terhadap ambisi?
Tak dapat disangkal, bahwa lingkungan inklusif bisa mengalahkan sosialisasi yang diterima perempuan untuk memadamkan ambisi mereka untuk menjadi yang teratas. Sehingga sebagai perempuan, kita sebenarnya harus mengambil inisiatif untuk mengembangkan rasa kenyamanan dan berteman dengan keinginan kita sendiri untuk berusaha menjadi yang terbaik. Kita, perempuan, perlu menyalakan ambisi batin mereka dan mengambil peran kepemimpinan yang kita pun berhak untuk menyandangnya tanpa rasa malu.
(DIR/MEL)