Sang filsuf besar, Plato, sering disebut sebagai laki-laki feminis pertama di dunia karena menuliskan bahwa perempuan mampu untuk berpartisipasi sepenuhnya sebagai warga negara, pada karyanya yang berjudul The Republic (360 SM). Sementara di era modern, John Stuart Mill ditasbihkan sebagai tokoh penting dalam pergerakan feminisme, setelah menuliskan buku berjudul The Subjection of Woman (1869), yang mengungkap bahwa perempuan harus memiliki kebebasan, agar bermartabat sebagai manusia, dan wajib memiliki hak dan status politik setara dengan laki-laki.
Dua tokoh barusan, merupakan sosok laki-laki yang sering dianggap sebagai feminis, atau setidaknya, memperjuangkan nilai luhur feminisme. Tetapi pertanyaannya, dapatkah laki-laki menjadi feminis?
Pro-kontra mengenai laki-laki feminis, nyatanya masih terus terjadi dan belum menemui titik akhir yang jelas. Pada rangkaian gelombangnya, sejumlah pemikiran feminisme mencoba untuk menolak kehadiran laki-laki. Dasar asumsinya berada pada anggapan, laki-laki mungkin menjadi profeminis, tetapi tidak bisa menjadi feminis karena tidak memiliki pengalaman kebertubuhan perempuan. Selain itu, para feminis juga sering menyebut laki-laki sebagai dalang dari tatanan patriarki yang mendominasi, sebab sistem tersebut memberikan hak istimewa dan keleluasaan bagi laki-laki di masyarakat secara tidak berimbang.
Tapi kemudian, pemahaman seperti ini dianggap radikal dan menyalahi esensi feminisme yang sesungguhnya, yakni menciptakan kesetaraan gender yang selama ini timpang karena konstruksi budaya patriarki. Sehingga, mendiskredit laki-laki dalam pergerakan feminisme adalah hal yang kurang tepat.
Di lain sisi, sebenarnya feminisme tidak melawan laki-laki, tetapi menentang konstruksi budaya patriarki yang terlanjur mengakar di sistem masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya, laki-laki yang percaya pada nilai kesetaraan, tentu dapat mendukung pergerakan feminisme. Sebab faktanya, di dalam sistem yang patriarkal, laki-laki turut menjadi korban atas tuntutan yang dibebankan kepada mereka.
Karena itu, pergerakan feminisme menjadi penting untuk turut dirayakan oleh laki-laki. Sebagaimana yang diungkap oleh Nur Hasyim dalam Good Boy Doing Feminism (2020), "Persoalan ketidakadilan dalam masyarakat adalah persoalan sistem. Sedangkan laki-laki sebenarnya adalah korban dari sebuah sistem yang tidak adil. Berbeda dengan perempuan yang tertindas, laki-laki dikonstruksi untuk menjadi penindas."
Sehingga, nilai-nilai feminisme tidak lagi terbatas untuk perempuan saja, melainkan dapat pula diamini oleh laki-laki. Sebab dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki juga tak lepas dari ancaman dan kekerasan berbasis gender. Pada salah satu portal media independen yang mengusung perspektif perempuan dan minoritas, Konde.co, Muhammad Darisman dalam artikelnya menuliskan "Laki-laki Juga Bisa Menjadi Korban Kekerasan Seksual". Oleh karena itu, kami yang sedang menelusuri bagaimana seharusnya laki-laki diposisikan dalam feminisme, mencoba menggali perspektif Muhammad Darisman atau yang lebih akrab dengan panggilannya, Ajo, mengenai nilai kesetaraan gender, hingga arti feminisme bagi dirinya secara pribadi.
Melalui perbincangan singkat di WhatsApp, Ajo yang juga bagian dari Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) divisi gender, anak, dan kaum marjinal, membagikan pandangan personalnya mengenai feminisme di kehidupan sehari-hari, hingga nilai kesetaraan gender yang selama ini ia suarakan kepada tim CXO Media.
Q: Bagaimana seharusnya feminisme dipahami masyarakat secara luas?
Secara personal, saya memandang feminisme sebagai salah satu konsep untuk menjadikan pola hidup kita yang komunal menjadi lebih baik. Saya merasa nilai-nilai kesetaraan gender yang diusung merupakan salah satu yang kita butuhkan buat hidup hari ini dan ke depan.
Saya berharap masyarakat kita adalah masyarakat yang tidak menoleransi kekerasan. Konsep untuk setiap individu memiliki hak yang sama, setara, saya rasa perlu diterapkan dalam kehidupan kita sebagai manusia yang diberikan akal dan hati.
Barangkali pemahaman keliru yang berkembang saat ini, soal adanya upaya-upaya gerakan feminis sebagai keinginan perempuan berada di posisi lebih tinggi dari laki-laki. Ini dianggap sebagai hal yang melanggar kodrat dalam pandangan masyarakat kita yang sudah lama mengakar sikap-sikap patriarki. Padahal menurut saya, memperjuangkan dunia yang setara, yang jauh dari kekerasan mestinya menjadi cita-cita kita bersama sebagai manusia.
Q: Bagaimana seharusnya laki-laki berperan dalam feminisme?
Menurut saya peranan laki-laki sama pentingnya dengan peranan perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan. Bahkan menjadi lebih penting lagi karena sejauh ini data membuktikan besarnya peran laki-laki dalam melahirkan ketimpangan-ketimpangan. Mayoritas pelaku kekerasan, baik fisik maupun seksual, tidak bisa dimungkiri adalah laki-laki.
Sebuah gerakan, akan lebih berarti lagi bila diperjuangkan bersama. Salah satu yang menjadi kendala selama ini, karena misalnya gerakan feminis cenderung lebih banyak disuarakan oleh perempuan, dianggap sebagai semata upaya ingin keluar dari tanda kutip kodratnya.
Q: Adakah urgensi bagi laki-laki dalam menerapkan nilai feminis di kehidupan sehari-hari?
Urgensi lainnya, laki-laki juga tidak tertutup kemungkinan menjadi korban kekerasan seksual. Secara pribadi saya juga merasa banyak hal di budaya patriarki yang merugikan laki-laki. Contoh sederhananya, ketika dituntut untuk selalu maskulin dan tidak menunjukkan sisi feminin.
Di Minang, tempat saya hidup misalnya. Berdasarkan pengalaman langsung, saya banyak mendapati hal-hal yang tidak semestinya dibatasi oleh gender. Misal tidak perlunya saya belajar memasak, dan wajibnya kerabat-kerabat perempuan saya memasak. Padahal menurut saya, di luar dari melahirkan, menyusui, laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama. Kemampuan untuk memasak, mengemudi kendaraan, atau mencuci, menurut saya adalah skill bertahan hidup yang mesti dimiliki oleh semua orang.
Saya juga merasa dirugikan saat laki-laki dianggap memandang perempuan sebagai objek belaka. Sehingga perempuan dituntut untuk menutupi aurat yang mengesankan laki-laki adalah makhluk yang tidak bisa mengendalikan hasratnya.
Q: Sejak kapan Anda mulai menyuarakan nilai-nilai kesetaraan?
Kalau ini secara sadar sih mungkin dari tahun-tahun kuliah. Kalau secara tidak sadar, dari SMP, SMA sudah tidak nyaman dengan becandaan-becandaan seksis, rekan-rekan laki-laki biasanya kan suka ngomongin cewek "A" cakep bahenol segala macam. Sama tidak nyaman dengan lingkungan tinggal waktu itu yang cukup ketat mengawasi anak-anak perempuannya, dan ada banyak kekerasan juga di rumah tangga mereka. Kalau lebih menyadari lagi, mungkin zaman-zaman jadi wartawan dan aktif di Divisi Gender AJI Jakarta.
Q: Adakah paparan lain, misalnya melalui karya populer seperti buku, musik atau film, yang meningkatkan kepedulian Anda terhadap isu ini?
Kalau pas kuliah itu mungkin baca-baca Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami; Wisran Hadi. Buku mungkin Bumi Manusia dan Cantik Itu Luka salah duanya. Kalau ke sininya mungkin cukup banyak orang-orang seperti Kalis Mardiasih.
Q: Sebagai orang yang peduli terhadap pergerakan feminisme dan isu kesetaraan gender, apakah Anda melabeli diri sebagai seorang feminis? Atau, adakah sebutan lain yang lebih tepat bagi seseorang lelaki yang peduli dengan isu ini?
Sebetulnya sih tidak juga, saya lebih ke menyerap mungkin segala konsep yang sesuai dengan harapan bayangan hari depan lebih setara dan jauh dari kekerasan. Ada sih istilah Laki-laki Baru. Cuma saya tidak juga mengklaim sebagai salah satunya, tapi saya berharap bisa menjadi orang yang suportif dan mendukung kesetaraan.
Q: Yang terakhir, menurut Anda, langkah nyata seperti apa yang bisa dilakukan seorang pria dalam mendukung kesetaraan gender secara meluas?
Paling tidak sebagai lelaki kita bisa mulai berhenti melihat perempuan dari penampilan fisik, kecantikan. Berhenti mengedepankan ego sebagai kelompok yang dominan, dan mau berkompromi terutama dengan pasangan dalam urusan domestik. Menurut saya mengurus rumah tangga dan terutama anak itu urusan berdua sih.
***
Sepanjang sejarah, banyak laki-laki yang telah berkontribusi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan turut serta memajukan pergerakan feminisme. Walaupun sejauh ini istilah bagi laki-laki yang mendukung feminisme masih belum bisa dipastikan, keterlibatannya dalam gerak feminisme dan upaya penyetaraan gender, harus mencapai sikap nyata dan tidak boleh berhenti di ranah intelektual semata. Sebagai yang diungkap oleh Ajo, bahwa laki-laki harus berhenti mengedepankan ego sebagai kelompok yang selama ini dikonstruksi dominan, dan mau berkompromi dengan perempuan hingga ke ranah yang lebih privat.
Akhirnya, dalam menyebut laki-laki yang mengedepankan kesetaraan hak dan keadilan di masyarakat yang timpang, sebaiknya kita tidak terbatasi oleh masalah penyebutan. Baik sekadar feminis; laki-laki feminis; atau laki-laki baru; secara parsial atau stimulan. Semuanya tetap memiliki visi besar yang sama, yaitu tatanan masyarakat yang adil dan setara, di mana kekerasan, dominasi dan diskriminasi, tidak lagi dilanggengkan oleh sebagian pihak kepada pihak lainnya.
(RIA/DIR)