Pernah suatu hari saya pergi bersama teman-teman dan pulang sekitar pukul 12 malam. Pada saat itu, saya sudah berumur 20 tahun, yang secara segi pemikiran, saya memahami betul baik dan buruk suatu hal. Saya pun juga mengabarkan orang tua saya terlebih dulu, akan pergi ke mana dan bersama siapa. Namun ketika saya pulang, saya disambut dengan wajah ketus ibu dan pertanyaan, "Kenapa baru pulang jam segini?"
Sebagai anak perempuan di keluarga, saya memang kerap kali diwanti-wanti agar pulang tidak terlalu malam. Tapi berhubung saya sudah menginjak kepala dua, saya mengira norma itu sudah tidak berlaku. Lagipula, orang tua saya tidak pernah mendeklarasikan dengan jelas, pukul berapa saya harus pulang. Tak hanya itu, kakak laki-laki saya yang lebih sering pulang malam juga tidak pernah mendapat teguran serupa.
Alasan orang tua melarang anak perempuannya untuk pulang malam sebenarnya beragam, tergantung nilai-nilai yang diterapkan dalam keluarga. Tapi setidaknya dari pengalaman saya, ada dua alasan yang seringkali digunakan. Alasan pertama, malam hari bukanlah waktu yang aman bagi perempuan untuk bepergian. Alasan kedua, karena kurangnya rasa percaya dari keluarga. Entah apa yang dibayangkan oleh orang tua saya ketika anak perempuannya pulang di atas pukul 10 malam, yang jelas perempuan yang pulang larut malam kerap dicap sebagai 'perempuan nakal'.
Stigma perempuan yang bepergian malam artinya bukan perempuan baik-baik, pernah dijelaskan oleh Gail Pheterson (1994) dalam artikelnya yang berjudul The Whore Stigma: Female Dishonor and Male Unworthiness. Ia menulis perempuan yang pulang malam seringkali dianggap sebagai salah satu ciri-ciri dari pekerja seks komersial. Secara spesifik yaitu perempuan yang berkeliaran sendirian di jalanan saat malam hari. Sedangkan dalam masyarakat kita, perempuan pekerja seks komersial memiliki julukan "kupu-kupu malam".
Adanya jam malam bagi perempuan tidak muncul secara tiba-tiba. Berbagai faktor sering menjadi alasan seperti keamanan atau kurangnya rasa percaya. Keduanya sama-sama menunjukkan adanya sentimen terhadap perempuan, baik oleh keluarga atau lingkungan masyarakat.
Bila memang ruang publik pada malam hari tidak aman bagi perempuan, mengapa perempuan yang harus mengorbankan kebebasannya untuk bisa terhindar dari kejadian yang tidak diinginkan? Lalu, jika alasannya adalah kurangnya kepercayaan terhadap perempuan, lantas apakah artinya kita tidak memiliki hak untuk mengambil keputusan sendiri?
Penerapan jam malam untuk anak perempuan di keluarga sebenarnya adalah cerminan dari masyarakat kita. Alasan keamanan menggambarkan perempuan yang harus mengorbankan kebebasannya hanya untuk merasa aman. Sedangkan alasan kedua menggambarkan stigma yang melekat pada perempuan, bahwa mereka tidak bisa dipercaya untuk membuat keputusannya sendiri. Mengapa perempuan yang harus terus-menerus menyesuaikan diri?
Sebenarnya, saya percaya bahwa kekhawatiran orang tua yang muncul ketika anak perempuannya pulang malam dilandasi oleh kasih sayang dan kepedulian. Orang tua saya juga mungkin tidak bermaksud untuk membatasi kebebasan saya atau berlaku tidak adil terhadap anak perempuannya. Yang mereka lakukan adalah mencoba melindungi anaknya, dengan cara yang mereka tahu. Namun alangkah indahnya, apabila dunia bisa menjadi tempat yang aman bagi perempuan, baik itu pagi, siang, atau malam hari. Tidak terbatas oleh waktu apapun.
(ANL/DIR)