Ramai diperbincangkan, dokumenter true crime produksi Netflix The Tinder Swindler menjadi sorotan masyarakat global. Dokumenter yang berdurasi kurang lebih dua jam ini, menceritakan pengalaman pribadi tiga perempuan yang terjerat modus penipuan hingga ratusan juta yang dimulai dari aplikasi kencan, Tinder. Penipuan ini dilakukan oleh sosok bernama Simon Leviev, seorang pria yang berasal dari Israel yang telah menjerat banyak korban dengan modus operandi yang sama, sebelum maupun setelah kasus ini dialami oleh pembicara utama dalam The Tinder Swindler.
The Tinder Swindler meminjam sudut pandang ketiga korban Simon Leviev, salah satunya adalah perempuan asal Norwegia yang tinggal di London, Cecilie Fjellhøy. Jika kamu sudah menonton dokumenter ini, mungkin sudah paham dengan kejadian buruk yang menimpa Cecilie. Aksi penipuan manipulatif yang dilatarbelakangi rasa cinta oleh Simon terhadap Cecilie terdengar seperti cerita-cerita fiksi, meski halnya kejadian tersebut nyata adanya dan tidak difabrikasi untuk sekadar kepentingan entertainment.
Cecilie, bersama dengan produser The Tinder Swindler, Felicity Morris yang juga sebelumnya menggarap dokumenter Netflix Don't F**k With Cats, menyampaikan beberapa hal dibalik produksi dokumenter dalam wawancara bersama Makna Talks, satu-satunya wawancara langsung di Indonesia bersama korban Simon. Beberapa pihak seringkali lupa bahwa produksi ini bukanlah sebuah cerita fiksi, melainkan sebuah dokumenter yang mengangkat cerita asli. Penyampaian cerita merupakan hal yang esensial dalam menggarap sebuah film dokumenter. Sehingga, menurut Felicity, antusiasme dan respon baik yang ditunjukkan terhadap The Tinder Swindler merupakan efek dari storytelling ketiga korban yang menggugah emosi dan empati penonton.
Layaknya Don't F**k With Cats, The Tinder Swindler juga dikemas dengan penggabungan wawancara interpersonal dan penggabungan arsip digital yang isinya tidak diubah sekalipun. Dalam artian, segala bentuk pesan di WhatsApp, emoji yang dipakai oleh korban, maupun media lain seperti gambar, video, dan voice note, merupakan bentuk autentik dari kejadian nyata yang telah terjadi.
Pada awal produksi, terdapat kekhawatiran akan munculnya respon yang justru malah menyalahkan dan memberatkan kritik kepada korban penipuan. Namun, nyatanya, banyak yang memberikan dukungan terhadap ketiga perempuan ini hingga sampai pengumpulan dana melalui gofundme untuk membantu mengurangi beban finansial yang masih menimpa mereka karena kerugian dari modus penipuan Simon.
Saat kita memiliki shared experience dengan seseorang, tentunya akan muncul rasa keterkaitan dan pemahaman antara satu sama lain. Meski berawal dari tragedi, Cecilie dan salah satu korban Simon, Pernilla Sjöholm, sampai saat ini masih menjalin hubungan yang baik. Bahkan, keduanya juga terlihat menghabiskan waktu liburan bersama di Yunani, Agustus 2021 lalu. Cecilie turut mengungkapkan bahwa banyak hal di luar pengalaman dengan Simon yang mereka diskusikan bersama.
Pada satu sisi lain, Felicity mengungkapkan bahwa dampak post-production dokumenter ini mendatangkan korban-korban penipuan yang memiliki nasib yang sama. Tidak jarang bahwa mereka yang menjadi korban dalam kasus penipuan umumnya merasa malu atau seringkali menyalahkan diri sendiri sampai-sampai membuat mereka tutup mulut perihal tragedi tersebut. Sehingga, dokumenter ini menimbulkan rasa validasi bagi mereka yang memiliki pengalaman yang mirip, bahwasanya masih ada penipuan berbasis emosional yang memang benar-benar dapat dilakukan oleh seseorang yang manipulatif.
Untuk dapat menceritakan ulang tentang pengalaman yang mereka alami tentunya tidak mudah. Hal itu sama saja seperti sedang menghidupkan kembali memori dan perasaan negatif yang menghantuinya. Seperti yang diungkapkan Cecilie, "It's difficult (to talk about it) when you hate the guy. When I see the movie, I got emotional because I can really see that I was so in love and feel sorry for myself." ucapnya. Namun, dengan membagikan ceritanya tetang Simon, nyatanya membantu banyak orang dari penjuru dunia. "I mean, do you regret ever meeting him? Yes. But would I be the person who I am today-would I be able to helped so many people?" ungkap Cecilie.
Selain membuat koneksi antara sesama korban maupun memvalidasi perasaan korban, The Tinder Swindler juga mendorong awareness kepada penonton awam tentang bahaya dari penipuan emosional dan bagaimana perasaan manusia dapat diperalat dalam melakoni aksi kriminalitas yang tidak hanya memunculkan kerugian finansial, namun juga merugikan secara mental.
(HAI/MEL)