Selama 32 tahun, orang tua kita merasakan sulitnya berekspresi. Jangankan untuk berekspresi lewat karya-karya pop-culture cantik yang penuh kritik dan satire kepada pemimpinnya. Membela hak asasi manusia sendiri saja sudah sulit. Salah-salah malah 'dikandangi' atau 'menghilang tanpa jejak'.
Buktinya? Bisa dilihat setiap hari Kamis, di depan Istana Negara, sederet orang tua dan kerabat menuntut keadilan orang-orang hilang tak berjejak karena mereka bersusah payah ingin mendapatkan haknya sebagai seorang warga negara dan manusia.
Tak bisa dimungkiri bahwa trauma masa Orde Baru dari kisah-kisah orang tua kita, atau kita sendiri yang pernah mengalaminya, masih menghantui. Ada yang berpendapat bahwa 'kita harus move on, jangan terjebak dalam trauma lalu'. Namun bagaimana mau move on dari luka lama, kalau ujung-ujungnya penyebab dari luka itu meminta peran lebih luas sampai ke ranah birokrasi tanpa mencopot jabatannya.
Yap, seperti deja vu bukan? Lewat Revisi Undang-undang (RUU) TNI beberapa poinnya secara tidak langsung mengisyaratkan ingin mengembalikan dwi fungsi TNI dan menguatkan militerisasi dalam ranah birokrasi.
Lantas, bagaimana hal ini jadi heboh dan dianggap mengancam reformasi demokrasi yang telah berjalan selama ini?
Poin-poin yang Jadi Masalah
Di negara manapun, unsur militer adalah sesuatu yang tidak bisa lepas dari sebuah negara. Namun yang perlu digaris bawahi semuanya harus ada batas jelas dan tegas. Revisi ini merupakan momentum bagaimana peran TNI dalam sektor pertahanan dan sektor non-pertahanan.
Sebelumnya pada Juni 2024, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto membuat pernyataan kontroversial, di mana ini adalah awal mula segala polemik ini. Ia mengatakan bahwa TNI bisa bersifat multifungsi. Lalu pada rapat DPR pada 11 Maret lalu, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan kalau TNI yang aktif diusulkan agar bisa menempati 15 kementerian/lembaga.
Bukan cuma itu, Revisi UU TNI juga diminta memasukkan poin non krusial seperti penambahan jabatan berupa Wakil Panglima, perluasan kewenangan untuk fungsi keamanan, hak berbisnis, dan pelonggaran pengisian jabatan publik oleh TNI aktif. Perluasan jabatan sipil yang dimaksud adalah TNI didorong untuk masuk ke ranah institusi krusial seperti Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, atau Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat sipil adalah apa urgensinya sampai-sampai TNI harus masuk ke tiga lembaga tersebut. Sektor kelautan dan perikanan misalnya, argumen mengapa harus ada TNI di badan tersebut adalah soal pengelolaan wilayah perbatasan atau konflik kedaulatan wilayah di Selat Malaka dan Laut China Selatan.
Dikutip Amnesty, lembaga ini adalah lembaga sipil sehingga tidak tepat ditempati oleh prajurit TNI aktif, kalaupun masih aktif mereka harus mengundurkan diri sebagai prajurit. Kemudian, penambahan tugas operasi militer selain perang seperti penanggulangan masalah narkotika, juga diminta oleh TNI.
Padahal penanganan narkotika semestinya masih bersifat ranah penegakkan hukum, sebagai alat pertahanan negara, fungsi TNI tidak diperlukan sama sekali. Penanganan masalah narkoba juga seharusnya lebih ke arah medis dan penegakkan hukum pun harus dilakukan secara proporsional, bukan secara represif seperti operasi militer.
TNI pun tidak akan bisa melakukan 'criminal justice system' karena selama ini yang dilakukan untuk menanggulangi suatu masalah adalah dengan menggunakan 'war model'. Sehingga dikhawatirkan peran militer dalam penanganan narkoba akan berlebihan dan berbahaya.
Namun yang menjadi poin penting dalam revisi adalah pelibatan militer dalam operasi militer kemungkinan tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara yakni kebijakan presiden dengan mempertimbangkan DPR seperti yang diatur pada pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004), tetapi akan di atur lebih lanjut dalam PP sebagaimana diatur dalam draft RUU TNI.
Draft pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran Parlemen sebagai wakil rakyat. Selain itu, hal ini akan menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah di dalam negeri.
Banyaknya poin yang tidak tepat dapat memicu berbagai spekulasi bahwa militer mencoba mengambil alih berbagai sektor strategis. Ini tentu saja berbahaya bagi kehidupan demokrasi yang sudah berjalan selama 27 tahun ini dan berpotensi membuat para prajurit kehilangan wibawanya atau menimbulkan kesan 'kurang militer'.
Berandai Jika RUU TNI Sah
Usai drama RUU TNI datang bagai badai di akhir pekan lalu, menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika RUU TNI ini sah? Apa yang akan terjadi? Apakah masa-masa seperti Orde Baru akan kembali lagi? Atau justru ada polemik baru akan timbul karena gesekan antara pemerintah dan rakyat yang bertentangan soal pemahaman fungsi TNI ini?
Tak salah jika ada ketakutan yang muncul bahwa kondisi akan sama dengan masa sebelum reformasi. Namun sesungguhnya, TNI adalah bagian dari negara ini yang berniat baik menjaga kedaulatan dalam dan luar negeri dengan caranya. Selama ini militer pun aktif dalam proyek ketahanan pangan, distriusi program makan bergizi gratis, dan menduduki jabatan publik setelah mereka melepas seragam prajuritnya.
Tujuan awalnya revisi UU TNI ini dimaksudkan untuk memberikan payung hukum yang pasti dan jelas pada fungsi TNI selama ini. Namun akibat polemik ini, timbul berbagai spekulasi baru, bila disahkan kemungkinan kita akan merasakan nuansa militer di dalam pemerintahan. Contohnya pun sudah kita rasakan yakni bagaimana Presiden Prabowo Subianto mewarnai pemerintahannya selama ini.
Kemudian, TNI yang kita tahu selama ini sebagai prajurit di garis terdepan, bisa saja beralih ke garis birokrasi setelah revisinya disetujui. Mereka dituntut untuk jadi orang serba bisa, sehingga fokus mereka bisa saja terpecah sebab bebannya bukan melindungi negara lagi, tetapi mengatur segala urusan negara di dalamnya.
Padahal dalam Pasal 30 ayat (3) UUD NRI 1945, TNI adalah komponen tempur nasional. Jika agenda multifungsi tetap diakomodasi dalam revisi UU TNI, dapat terjadi demiliterisasi terhadap angkatan tempur nasional Indonesia. Profesionalisme militer mereka pun dipertanyakan perihal pengembangan militer nasional.
Selagi kita berdebat soal ketepatan penempatan TNI di sektor-sektor sipil, militer di luar negeri justru telah semakin maju dengan berbagai penemuannya. Amerika Serikat (AS) misalnya, telah berhasil membentuk satuan tempur luar angkasa pertama di dunia.
Singapura, meski dengan jumlah militer yang tak banyak, telah memiliki satuan pertahanan siber yang tangguh di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, Laos yang tidak memiliki wilayah maritim (landlock) memiliki angkatan laut karena memprioritaskan pertahanan perairannya di Sungai Mekong. Lantas, bagaimana Indonesia? Kamu sudah bisa menilainya sendiri, bukan?
Padahal kalau melihat dari pernyataan Presiden Prabowo yang saat itu masih berstatus Menhan, urgensi peremajaan alutsista nasional sangat diperlukan. Selain itu, jumlah personel TNI juga masih dianggap kurang 'greget' menjaga teritorial negara yang luas ini. Lalu, sekarang mengapa para prajurit justru ditarik ke balik meja untuk mengatur negeri ini?
Walaupun 'luka lama' Orde Baru mungkin saja tidak terjadi lagi, tetapi potensi tetap saja ada melihat sejarah panjang bagaimana campur tangan militer yang berlebihan bisa berujung pada sesuatu yang buruk. Sebab sebagai seorang prajurit, mereka telah dididik untuk menyelesaikan masalah dengan 'keras'.
Oleh sebab itu, kita sebagai warga negara harus benar-benar mengawal agenda revisi UU TNI ini. Jangan sampai pemerintah dan DPR menyelesaikannya dalam senyap ketika kita tertidur nyaman di rumah. Bisa-bisa kenangan masa lalu yang telah kita kubur rapat-rapat, kembali mencuat di masa kini.
(DIR/DIR)