Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan dengan mantap tetap menjalankan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dimulai pada 1 Januari 2025. Alasannya adalah rencana tersebut sudah tertulis dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Meski begitu, gelombang suara permintaan penundaan aturan yang datang dari berbagai pihak, termasuk rakyat yang terbagi dalam beberapa kelas ekonomi, sama sekali tidak digubris.
Kabar ini memang disambut sporadis. Bagaimana bisa ketika daya beli masyarakat menurun, yang mana terbukti dari deflasi pada tahun 2024, malah dihajar kembali oleh kenaikan pajak yang katanya "cuma" 1% saja. Harus diakui kalau kenaikan pajak bukanlah berita yang ingin didengar masyarakat menuju penutupan 2024 yang dipenuhi banyak sekali gejolak. Kondisi ini membuat suara-suara penolakan terus didengungkan lewat berbagai medium.
Sampai-sampai Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, meminta agar rencana ini dikaji ulang seperti dikutip dari detikcom. Menurutnya, kenaikan PPN terasa kontradiktif jika dibandingkan dengan usaha peningkatan kesejahteraan rakyat. Lucunya, saat kita sudah mulai putus asa atas beberapa kebijakan pemerintah, beberapa pihak yang berada di sisi pemerintah juga ikut memberikan penolakan secara halus. Ini menandakan Kementerian Keuangan memang harus mempertimbangkan kembali tentang perihal kenaikan pajak yang "cuma" 1% ini.
Masalah yang Bakal Timbul dari PPN Naik 12%
Hal ini pun menimbulkan tanda tanya besar. Apakah pemerintah yang dipimpin oleh Kementerian Keuangan untuk urusan ini masih belum cukup untuk menarik pajak dari rakyat, terlebih dalam situasi ekonomi yang tengah tak menentu? Padahal jika dibuat dalam satu catatan, maka sudah banyak pungutan yang ditarik pemerintah dari kantong masyarakat, dan bahkan masih memiliki risiko kenaikan.
"Ada 10 pungutan yang berisiko naik di 2025. Ada PPN, Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), BPJS Kesehatan, uang kuliah tunggal (UKT) mahasiswa, cukai, third party liability untuk asuransi wajib kendaraan bermotor, Pajak Penghasilan (PPh) usaha mikro kecil menengah (UMKM), subsidi kereta rel listrik (KRL) berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK), pembatasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) 2025, dan dana pensiun wajib," kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, dilansir dari detikcom.
Dari sepuluh pungutan itu saja, ada beberapa yang masih terhitung kontroversial. Contohnya Tapera dengan polemik yang seperti memaksa untuk menabung tanpa ada ujung yang terlihat jelas. Semuanya pun samar, sama seperti PPN naik menjadi 12% ini. Kalau sudah begini, maka yang dipertanyakan adalah apa urgensi kebijakan ini dipilih? Lantas, seperti apa dampaknya untuk rakyat yang menjadi pihak paling menjadi 'korban'?
Sudah pasti masyarakat kelas menengah menjadi yang paling terdampak. Banyak diskursus serius yang kerap dibahas oleh para pakar hingga perbincangan di media sosial yang menyatakan bila kelas ini selalu menjadi pihak paling diperas habis-habisan. Ketika kelas bawah mendapatkan bantuan, sedangkan kelas atas sudah punya harta melimpah, maka yang tergencet adalah kelas menengah. Penghasilan tidak seberapa, namun tak ada bantuan nyata untuknya.
Hasil akhir dari kebijakan ini bisa berdampak negatif dengan mindset menghemat pengeluaran. Semua akan lebih menjaga uang keluar dan mengurangi konsumsi dalam pembelian produk, khususnya kepada UMKM. Pada akhirnya perputaran ekonomi di masyarakat menjadi semakin melambat hingga memberikan efek domino lebih besar lagi, yakni masyarakat menjadi lebih sedikit menabung, bahkan mereka malah menggerus tabungan sendiri atau yang lebih buruk adalah menambah utang lewat pinjaman.
Intinya, kita yang sama-sama merasa menjadi masyarakat kelas menengah, sebaiknya siap-siap saja menyambut 2025 kalau kebijakan PPN naik 12% tetap dijalankan. Mau pakai janji untuk mengubah pajak itu menjadi hal-hal baru demi kemajuan Indonesia, tetap saja harus ada hati nurani dalam menjalankan suatu kebijakan; karena manusia sendiri yang membuat kebijakan, tapi malah diperbudak oleh kebijakan itu sendiri. Jika tidak ada kemanusiaan lagi dalam urusan ini, so help us God.
(tim/DIR)