Hasil akhir 2-2 antara Bahrain vs Indonesia pada Kamis (10/10) meninggalkan luka menganga bagi pendukung Pasukan Garuda. Bagaimana tidak, kepemimpinan wasit asal Oman, Ahmed Al Kaf, patut dipertanyakan sepanjang pertandingan. Beragam keputusan yang condong menguntungkan Bahrain sering terjadi.
Dari jumlah foul yang berbanding 180 derajat hingga puncaknya tambahan waktu ekstra tiga menit pada akhir babak kedua-padahal seharusnya hanya enam menit saja. Bahrain dan Al Kaf seakan membangunkan pemangsa yang sedang tertidur pulas. Tidak perlu menunggu waktu lama untuk melihat puluhan ribu komentar pedas di akun Instagram dan X dari AFC hingga tim nasional Bahrain sendiri.
Belum lagi serangan ke akun Al Kaf yang tidak tahu apakah itu memang akun resminya atau bukan. Kemarahan yang memuncak hanya menjadi tip of iceberg dari jejak-jejak kotor Bahrain dan negara Timur Tengah lainnya. Merekalah bukti betapa gampang sepak bola dunia menjual harga dirinya kepada pundi-pundi uang berlumuran minyak dan darah.
Jejak Berdarah Sepak Bola Bahrain dan Timur Tengah
Siapa yang masih ingat kasus-kasus yang dianggap kecil tapi banyak di balik Piala Dunia 2022 di Qatar? Mengutip The Guardian, ada lebih dari 5.000 pekerja migran yang dinyatakan tewas sebagai tenaga kerja di fasilitas Piala Dunia. Belum lagi penunjukkan tuan rumah yang terhitung kontroversial sejak awal karena membuat kalendar sepak bola berubah; biasanya Piala Dunia diselenggarakan pertengahan tahun tapi malah menjadi akhir tahun. Semua demi sang raja Timur Tengah.
Atau mau yang lebih mendalam lagi? Sportwashing menjadi usaha terselubung Qatar untuk memperbaiki citra mereka yang sudah banyak mendapatkan catatan hitam. Human Rights Watch (HRW) menulis daftar seberapa banyak hal janggal dari ketiadaan hak asasi manusia di Qatar. Dari hak perempuan yang dibuat seminimal mungkin; persoalan sexual orientation; kebebasan berekspresi; sampai climate change yang sama sekali tidak dipedulikan oleh mereka.
Setelah Qatar, sekarang giliran Bahrain yang sebenarnya sudah berulah dari lama tapi baru kita perhatikan sekarang ini. Kedua negara tersebut sama-sama pernah merugikan Indonesia di atas lapangan dengan keputusan wasit yang sama-sama condong ke kedua negara Timur Tengah tersebut. Di luar urusan pertandingan babak penyisihan Piala Dunia 2026 kemarin, ada hal menarik yang ditemukan netizen Indonesia. Apalagi kalau bukan fakta bahwa presiden AFC (Asian Football Confederation) merupakan orang Bahrain bernama Salman bin Ibrahim Al Khalifa.
Perannya di industri sepak bola Bahrain sudah diawali sejak 1980, namun namanya baru terdengar ke negara Asia lain saat menduduki kursi presiden AFC pada tahun 2013. Terpilihnya Salman langsung membawa tensi tinggi karena sebenarnya ia sudah ditentang oleh masyarakat Bahrain yang diwakili oleh HRW, Human Rights in Bahrain, dan Bahrain Institute for Rights and Democracy ketika mencalonkan diri sebagai presiden AFC.
Alasannya pun sangat masuk akal; Salman terlibat dalam penangkapan sekaligus penyiksaan atlet yang ikut turun ke jalan dalam demonstrasi anti pemerintah Bahrain pada tahun 2011 berbarengan dengan berlangsungnya Arab Spring. Saat itu posisinya sebagai sekjen tertinggi pemuda dan olahraga Bahrain membuat ia mengeluarkan ancaman bahwa setiap atlet dan para staf yang ikut berdemonstrasi dan turun mengecam pemerintah akan dihukum.
Dilansir dari HuffPost, ada sekitar 150 orang yang ditangkap, bahkan mengalami penyiksaan selama ditahan, termasuk dua pemain tim nasional Bahrain. Tentu saja Salman membela dirinya kalau ia sama sekali tidak memerintahkan seluruh aktivitas kriminal itu.
Namun semua tuduhan itu baru ia bantah saat sudah menjadi presiden AFC pada periode pertamanya; sambil menyatakan bahwa olahraga dan politik itu harus dipisahkan. Padahal lihat sendiri nama-nama yang menduduki kursi kepengurusan olahraga Bahrain. Siapa lagi kalau bukan keluarga kerajaan, termasuk Salman sendiri.
HARGA DIRI SEPAK BOLA TELAH DIGADAIKAN
Salman hanya menjadi salah satu bagian dari bab di antara tebalnya buku sejarah sepak bola. Sekarang ia sedang menjalankan periode ketiga sebagai presiden AFC tanpa sempat dikalahkan oleh kandidat lainnya. Tidak asing dengan sebutan tiga periode? Kalau menggunakan frasa "the good, the bad, the ugly", sekarang kita sedang merasakan bagian ugly-nya. Apalagi saat kita sudah menikmati sepak bola tanpa harus melihat kedigdayaan Timur Tengah yang coba membeli sorotan lewat olahraga ini dengan uang tak berseri.
Sekarang coba perhatikan detail-detail kecil yang telah terjadi beberapa tahun terakhir. Setelah AFC yang dikuasai oleh mereka lalu Piala Dunia yang kemarin digelar di Qatar dengan segala macam keajaibannya, bagaimana dengan liga-liga sepak bola?
Saudi Pro League masih lumayan hangat dengan membeli pemain-pemain berusia matang dari klub Eropa dengan gaji berkali-kali lipat. Cristiano Ronaldo menjadi ikon dari bedol desa yang dilakukan para pemain. Keputusan mereka untuk menerima pinangan klub Arab Saudi itu masih terhitung masuk akal karena setelah gantung sepatu, masih ada kehidupan yang perlu dijalankan. Gaji selama bermain di sana bisa menjadi fondasi hidup mereka selanjutnya. Walaupun tetap terlihat janggal.
Begitu juga dengan keputusan aneh dari pengurus Supercoppa Italiana (Piala Super Italia) dan Supercopa de España (Piala Super Spanyol) yang mempertemukan juara liga dengan juara cup di masing-masing negara. Dalam sejarahnya, pertandingan tersebut selalu digelar pada awal musim sebagai ajang pemanasan sekaligus adu gengsi semata. Namun saat oil money masuk, semuanya berubah.
Sekarang keduanya digelar di Timur Tengah sesuai negara yang dipilih. Supercoppa Italiana punya sejarah panjang atas keputusan seperti ini karena sempat digelar di China mulai tahun 2009 lalu berputar-putar di Qatar dan Arab Saudi tergantung keputusan sejak 2014. Kemudian Supercopa de España ikut-ikutan digelar di Arab Saudi dari tahun 2020 silam. Konyolnya lagi, formatnya pun berubah bentuk menjadi mini turnamen berjumlah empat klub-yang awalnya cuma dua klub dengan langsung bertanding sekali saja untuk menemukan juara.
Bagaimana ceritanya negara dengan kompetisi yang memiliki sejarah panjang dalam melahirkan juara bergengsi dan pemain-pemain ikonik seperti Italia dan Spanyol malah menjual salah satu kompetisinya ke Timur Tengah? Lagi-lagi membuktikan kalau Timur Tengah benar-benar mengubah peta sepak bola dunia. Bukan lagi berdasarkan passion yang diutamakan, tapi apa cara terbaik mencari gelontoran uang demi memenuhi perut para petinggi sepak bola di balik meja mereka.
Semoga kita dijauhkan dari praktik monopoli nan licik berwujud materi untuk menjual harga diri sepak bola yang kita cintai. My game is fair play? Yeah right...
(tim/DIR)