Insight | General Knowledge

1982: Invasi Israel dan Kelahiran Hizbullah

Kamis, 03 Oct 2024 17:25 WIB
1982: Invasi Israel dan Kelahiran Hizbullah
Foto: Reuters
Jakarta -

Hampir genap setahun sejak genosida Palestina oleh Israel dimulai. Alih-alih menunjukkan titik terang, konflik yang telah terlanjur runyam ini bahkan bereskalasi hingga Lebanon.

Sejak konflik Palestina-Israel pecah pada 7 Oktober 2023, Lebanon telah menyerukan solidaritas dengan rakyat Palestina. Hizbullah   sebagai kekuatan utama militer berpengaruh di Lebanon   turut melangsungkan aksi terhadap Israel demi membela Palestina. Melansir Al Jazeera, pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah menyatakan bahwa serangan lintas batas dari Lebanon ke Israel hanya akan berhenti jika Israel menghentikan operasi militernya di Gaza.

Pada Selasa (1/10/) dini hari, pasukan Israel resmi melancarkan serangan darat ke Lebanon dengan menargetkan Hizbullah. Sejak pekan lalu, Israel juga telah membombardir daerah Kola di Beirut, yang mengakibatkan kematian pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah.

Meskipun perang yang terjadi saat ini memang perpanjangan dari konflik Palestina-Israel, konflik antara Lebanon dan Israel bukanlah cerita baru. Ketegangan antara keduanya sudah mengakar sejak lama.

Cikal bakal konflik Israel-Lebanon

Sejak tahun 1975, Lebanon terjerat dalam perang saudara yang berkepanjangan, melibatkan berbagai kelompok bersenjata termasuk Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan milisi-milisi lokal.

Di bawah kepemimpinan Yasser Arafat, PLO   yang berbasis di perbatasan Lebanon dan Israel-menjadikan Lebanon sebagai pusat operasi strategis untuk melawan Israel. Pada tahun 1982, melalui "Operasi Perdamaian untuk Galilea," Israel merespons dengan melakukan invasi besar-besaran ke Lebanon untuk memburu dan menghancurkan infrastruktur militer PLO di Lebanon, terutama di wilayah selatan, demi mengurangi ancaman serangan lintas batas terhadap penduduk sipil Israel utara.

Pada akhirnya, Israel berhasil mencapai Beirut dan mengepung PLO, tetapi invasi tersebut berakhir dengan ketegangan yang berkepanjangan antara Israel dan kelompok-kelompok Lebanon. Sebab, alih-alih segera mundur dari Lebanon, Israel malah memilih untuk menetap di wilayah-wilayah yang berhasil mereka taklukan.

Bangkitnya kekuatan militer di Lebanon

Sebagai latar belakang, kondisi politik di Lebanon selalu terbelah menurut garis agama dan sektarian, dengan komunitas Muslim Syiah yang telah lama merasakan marginalisasi. Selain komunitas Syiah, terdapat juga Muslim Sunni dan Kristen, yang semuanya diakui melalui penetapan posisi-posisi kunci di pemerintahan untuk masing-masing kelompok agar dapat berbagi kekuasaan. Namun, dalam praktiknya, pembagian ini justru cenderung memperburuk perpecahan. Komunitas Syiah sering kali merasa diperlakukan tidak adil dan diabaikan oleh pemerintah di Beirut.

Di belahan Timur Tengah lain, Iran baru saja menggulingkan sistem monarki dan mengubah negara tersebut menjadi Republik Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini. Revolusi Iran yang berlangsung pada tahun 1979 tersebut lantas memantik perlawanan kelompok Muslim di berbagai negara, salah satunya Lebanon.

Di tengah perang saudara, invasi Israel, dan Revolusi Iran, Hizbullah lahir sebagai respons terhadap kondisi yang memuncak pada tahun 1982-ketika sekelompok warga Syiah di Lebanon yang merasa terpinggirkan sepakat dengan ideologi revolusioner Iran dan bertekad mengusir kehadiran Israel dari negara mereka.

Awalnya, Hizbullah menyatakan diri sebagai kelompok perlawanan terhadap invasi Israel. Sejalan dengan surat terbuka yang diterbitkan tahun 1985, Hizbullah secara resmi mengumumkan pendiriannya dan menyatakan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai musuh utama Islam. Mereka juga merujuk pada 'pelenyapan' Israel yang menurut mereka menduduki tanah umat Muslim.

Namun, setelah Perang Saudara Lebanon berakhir pada tahun 1990, Hizbullah menjelma dari sebuah kelompok milisi menjadi kekuatan yang paling berpengaruh di Lebanon hingga saat ini

Perang 34 Hari

Pada 12 Juli 2006, Hizbullah menggempur patroli militer Israel di perbatasan Lebanon-Israel, dengan tujuan untuk menukar tahanan dengan Israel. Aksi ini direspons oleh Israel melalui operasi militer skala besar terhadap Hizbullah di Lebanon. Keduanya melakukan serangan udara maupun serangan darat secara intens, menewaskan korban sipil dan menyebabkan kerusakan masif pada instruktur di Lebanon maupun Israel.

Perang yang berlangsung selama 34 hari ini akhirnya mencapai titik akhir dengan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Hizbullah mengumumkan kemenangan mereka, sekaligus memperkuat posisinya di Lebanon. Peristiwa ini juga membentuk persepsi bahwa Hizbullah adalah organisasi yang tangguh dan mampu melawan Israel.

Lebih kuat dari pemerintah

Hizbullah memiliki sayap militer yang kuat dan terorganisir, sering dianggap sebagai salah satu kelompok milisi non-negara terkuat di dunia. Mereka memiliki kemampuan militer yang signifikan, termasuk persenjataan modern dan pasukan yang terlatih.

Selain isu militer, Hizbullah juga memiliki pengaruh yang sangat besar dalam aspek politik dan sosial di Lebanon. Kelompok ini pertama kali mendapatkan posisi di parlemen pada tahun 1992. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka memainkan peran kunci dalam membentuk kebijakan nasional.

Hizbullah mendirikan sekolah, rumah sakit, dan pusat bantuan untuk menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan ekonomi bagi masyarakat yang membutuhkan. Inisiatif ini membantu mereka mendapatkan dukungan dan loyalitas dari banyak warga Lebanon, terutama di daerah-daerah yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat.

Hingga saat ini, Hizbullah masih menjadi kekuatan ofensif utama asal Lebanon yang secara konsisten menekankan tujuan mereka; memerangi Israel yang kerap dijuluki sebagai penjajah dan agresor terhadap Lebanon maupun Palestina. Keterlibatannya dalam konteks Israel-Palestina mungkin lebih anyar, tetapi sentimen negatif terhadap Israel telah terpupuk sejak lama.

(HAI/tim)

Author

Hani Indita

NEW RELEASE
CXO SPECIALS