"Ibu pertiwi sedang hamil tua" didengungkan pertama kali saat negeri ini sedang memasuki masa-masa genting pada tahun 1965. Seharusnya kita sudah paham apa yang terjadi dalam masa yang membuat peta masyarakat berubah 180 derajat. Tepat di bulan September, G30S/PKI terjadi dengan huru-hara yang menjadikan pelanggaran HAM di Indonesia tidak pernah menemui titik terang; dan sepertinya kutukan atas bulan September terus menghantui bumi pertiwi yang mulai kembali sakit.
Beberapa waktu lalu, postingan di X membuat kesadaran pulih. Ternyata banyak kejadian yang berhubungan dengan ketidakadilan sepanjang September yang ironinya, semua berhubungan dengan pengelola negara. Diberi tajuk "September Hitam", sekarang waktu yang tepat untuk mengingat sejarah atas apa saja yang terjadi di bulan yang katanya ceria.
Petaka September Hitam Indonesia
Awal September selalu mengingatkan kita kepada pembunuhan aktivis Munir Said Thalib yang tepat pada 7 September 2024 memasuki "ulang tahun" ke-20. Sampai sekarang, tidak jelas siapa aktor intelektualnya. Belum lagi janji manis Joko Widodo sebelum duduk di singgasananya pada sepuluh tahun lalu untuk menuntaskan kasus ini tidak pernah ditepatinya. Memang lagu lama dari mulut pembesar, tapi lagi-lagi kita harus menelan pil pahit atas kepercayaan yang sudah diserahkan.
40 tahun silam juga ada Peristiwa Tanjung Priok yang merenggut nyawa para akar rumput. Pertikaian antara Babinsa dengan warga pesisir utara Jakarta ini seakan dibiarkan hingga meledak dalam waktu beberapa hari saja. Warga yang bersuara lewat spanduk-spanduk protes terhadap pemerintah Order Baru sudah pasti tidak disambut dengan keterbukaan. Malah, penangkapan secara sepihak hingga mediasi yang tak dipedulikan menjadi imbalannya. Emosi yang memuncak atas ketidakadilan justru disambut desingan peluru dari moncong senjata aparat. Sesuai laporan Masyarakat Tanjung Priok, 400 orang terbunuh atau hilang akibat kerusuhan dengan pelanggaran HAM berat oleh pemerintah.
Menuju ke ufuk timur Indonesia, Penembakan Pendeta Yeremia pada 19 September 2020 menyebabkan eskalasi konflik pemerintah dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Awalnya TNI menyebut sang hamba Tuhan tewas ditembak oleh KKB, namun setelah penyelidikan yang lebih spesifik oleh Tim Independen Kemanusiaan untuk Intan Jaya hasilnya berbalik. Ada dugaan keterlibatan oknum anggota TNI yang terlihat dari luka dari penggunaan pisau dan tembakan dari laras senjata api standar militer. Apa yang terjadi saat itu hanya memperpanjang daftar hitam pelanggaran HAM di Papua yang terus tercatat hingga kini.
Selalu muncul pertanyaan tentang seberapa enteng telunjuk mereka menekan trigger senjata yang diarahkan ke arah masyarakat sipil, dengan kondisi semuanya dibiayai oleh peluh rakyat. Seperti yang terjadi saat Tragedi Semanggi 2 pecah pada 24 September 1999. Gejolak aftermath Reformasi membuat masyarakat tidak pernah berhenti menuntut transparansi di tengah kondisi yang semuanya abu-abu; tidak ada satu musuh tapi semua patut dicurigai. Dipikir semua akan lebih baik, tapi usaha menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB), sekaligus tuntutan mencabut dwifungsi ABRI malah membuat 11 mahasiswa gugur dan ratusan warga sipil terluka. Lagi-lagi, pengadilan pelanggaran HAM pada masa lalu masih menguap entah ke mana.
Menuju minggu terakhir September selalu ada secercah harapan akan muncul harapan baik. Apakah kekejaman itu harus terus berlanjut? Faktanya, Kematian Randi dan Yusuf, mahasiswa Universitas Halu Oleo, di tangan polisi juga masih mengambang. Kedua mendiang mengikuti demonstrasi menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan pelemahan KPK pada 26 September 2019, di depan gedung DPRD Sulawesi Tenggara. Sayangnya, orang tua mereka harus menerima Randi dan Yusuf pulang terbujur kaku. Randi dibunuh oleh tembakan polisi, sedangkan Yusuf mengalami luka berat di bagian kepala hingga pendarahan besar. Pelaku yang membunuh Randi telah ditangkap, tapi nama-nama yang membuat kepala Yusuf retak masih belum ketahuan sampai tulisan ini kamu baca.
Pernah mendengar nama Salim Kancil? Ia dibunuh oleh tangan-tangan preman suruhan kepala desa Selok Awar-awar, Lumajang yang ingin melawan usaha Salim dan kawan-kawan dalam menolak tambang pasir ilegal pada tahun 2015. Penindasan yang membuat Salim dan 12 orang lainnya kehilangan lahan pertanian akibat aktivitas tambang malah membuat ia meregang nyawa. Hampir 40 preman menganiaya Salim beserta Tosan; nama terakhir berhasil lolos tapi Salim tewas di balai desa, tempat yang seharusnya menjadi titik bermusyawarah nan hangat. Orang-orang yang terbukti ikut ambil bagian membunuh Salim memang sudah diadili-walaupun belum semua-tapi tidak dengan konflik agraria di wilayah sana.
Tidak ada tragedi yang bisa ditimbang-timbang demi mencari mana yang lebih tragis. Sekian banyak catatan hitam di bulan September, termasuk Reformasi Dikorupsi, semua memuat kegeraman yang menjalar; keadilan di Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Mungkin berkas-berkasnya masih dicari atau palu godam hakim sedang dibentuk jika kita mau berbaik sangka.
Ibarat album thrash metal, sosok Lady Justice dalam cover album ...And Justice for All milik Metallica sedang melambangkan bentuk sarkasme rakyat atas ketidakadilan negara. Di sisi berlawanan, para penguasa dan raja-raja kecil di dalamnya masih kecanduan untuk mengamalkan judul album Megadeth yang paling tepat menggambarkan hari-hari petaka pada September Hitam: Killing Is My Business... and Business Is Good!
(tim/tim)