Insight | General Knowledge

Catatan Mesin Waktu 20 Tahun Munir Dibunuh

Jumat, 06 Sep 2024 19:05 WIB
Catatan Mesin Waktu 20 Tahun Munir Dibunuh
Catatan Mesin Waktu 20 Tahun Munir Dibunuh/ Foto: KontraS
Jakarta -

Langit Indonesia dipayungi awan hitam pada 7 September 2004 ketika kabar Munir Said Thalib terdengar ke telinga media-media lokal. Pria berumur 38 tahun dengan figur kurusnya itu harus menerima takdir. Raganya meringkuk pilu menahan sakit di ketinggian 35.000 kaki dalam penerbangan Garuda Indonesia 974 menuju ke Amsterdam. Racun arsenik yang telah melebur ke dalam tubuhnya bergerak polos. Ia mangkat dengan kondisi paling memungkinkan dari seorang pejuang HAM: dibunuh.

Saat itu saya masih berumur 11 tahun saat menyaksikan acara berita sore hari di TV nasional pada tanggal yang sama. Ingatan yang coba saya tarik kembali terasa samar. Besoknya, salah satu guru di sekolah berbasis agama Katolik tempat saya menimba ilmu dasar sempat membahas kasus ini. Namun apa yang mau diharapkan dari anak SD yang baru merasakan era demokrasi dan keterbukaan informasi beberapa tahun sebelumnya? Kami hanya fokus belajar dan mencari kesenangan ketika bel pulang sekolah berbunyi.

Siapa Munir?

Kenapa dia bisa meninggal?

Mengapa proses kepergiannya menghebohkan satu negeri ini?

Kalimat penuh tanda tanya itu baru muncul saat saya mulai mengenal musik bernafaskan kritik sosial dan hasrat pembangkangan. Homicide, Seringai, hingga Rage Against the Machine mengisi Winamp saat jakun ini mulai menonjol. Bacaan tentang Tan Malaka dan paham kiri juga ikut mengisi hari-hari saya yang saat itu sedang malas-malasnya sekolah. Tak ketinggalan informasi pergerakan Munir yang jauh lebih menarik daripada materi pendidikan atas nama institusi.

Di titik itu muncul pemahaman kenapa September 2004 menjadi sejarah kelam Indonesia karena Munir sudah jelas dibunuh, tapi tidak ada titik terang siapa dalang di baliknya. Hingga saya kembali membuka arsip ingatan dari catatan mesin waktu ini pada September 2024; 20 tahun setelah Munir pergi.

Munir yang Dibunuh "Di Udara"

Sebuah interview singkat Arian13 di majalah HAI rilisan tahun 2007 yang selalu dibelikan orang tua setiap awal minggu membuat saya penasaran. Saat ditanya rekomendasi band yang wajib diketahui khalayak ramai, vokalis Seringai itu menjawab Efek Rumah Kaca. Sekejap muncul tebak-tebakan apa genre band ini. Saya menerka kalau band ini membawakan distorsi setebal HM-2 dan suara vokalis sekasar megaphone TOA karena direkomendasikan langsung oleh sang empunya rock oktan tinggi.

Jangan aneh kenapa saya masih harus menebak genre Efek Rumah Kaca pada masa itu. Kebetulan rumah saya di pinggiran Jakarta masih belum disusupi kabel-kabel internet. Jadi semua informasi yang saya dapatkan hanya dari majalah saja. Paling tidak, saya tetap berusaha update atas kejadian apa saja yang terjadi di luar rumah sebagai individu yang mengaku sebagai anak rumahan.

Catatan Mesin Waktu 20 Tahun Munir DibunuhAlbum perdana Efek Rumah Kaca/ Foto: CXO Media/Timotius Prasetya

Perburuan Efek Rumah Kaca baru terjawab ketika jadwal mingguan untuk mengunjungi toko kaset di pusat perbelanjaan kembali saya lakukan. Ada CD Efek Rumah Kaca yang tiba-tiba terselip di salah satu rak. Tangan ini tidak ragu untuk membolak-balik dan membaca beberapa judul lagu di belakangnya untuk meyakinkan diri sendiri. "Ah, tidak perlu ragu. Toh CD band lokal alias lebih terjangkau. Mami pasti nggak bakal marah," pikir saya waktu itu.

Sepulang dari mal, PC yang ada di kamar langsung saya nyalakan. Satu per satu lagu di album perdana Efek Rumah Kaca mulai terdengar dari speaker bawaan yang menjadi medium momen bersejarah tersebut. "Jalang" menceritakan UU Pornografi yang lagi heboh-hebohnya, "Belanja Terus Sampai Mati" merekam sifat konsumerisme yang semakin nyata, dan ada track berjudul "Di Udara".

Mencoba memahami arti di balik lagu yang langsung nyantol di kuping, ternyata "Di Udara" menjelaskan sisi dari Munir yang harus menerima nasib dibunuh di udara. Setiap kalimat di dalamnya benar-benar membuat saya sadar bahwa Efek Rumah Kaca bisa membawakan tragisme kehidupan sang pejuang HAM yang dipenuhi ancaman menakutkan.

Catatan Mesin Waktu 20 Tahun Munir DibunuhLirik "Di Udara"/ Foto: CXO Media/Timotius Prasetya

"Di Udara" menjadi pemantik untuk generasi berikutnya untuk mengingat pembunuhan Munir. Ia memang sudah tidak ada, namun bukan berarti perjuangannya selesai. Seperti yang tertulis di sampul album Efek Rumah Kaca yang diambil dari lirik lagu tersebut, "Aku Tak Pernah Mati Tak Akan Berhenti", semangat Munir sudah semakin berlipat ganda dalam wujud-wujud kesadaran lainnya sampai bunyi terompet sangkakala terdengar.

DALAM TEMPO "10 TAHUN KEMATIAN MUNIR"

Twitter yang sedang saya refresh memberikan informasi berharga. Tertulis, Tempo akan merilis edisi khusus "10 Tahun Kematian Munir" pada 14 Desember 2014. Sebagai mahasiswa jurusan Jurnalistik dengan sense of journalism yang mulai terbentuk, minat saya untuk membelinya langsung muncul di tengah kondisi sedang menjalani magang di Rolling Stone Indonesia (RSI). Ditambah lagi dengan kenangan "Di Udara" yang saya dengarkan pertama kali pada tujuh tahun lalu. Momen sebaik ini tidak boleh terlewatkan begitu saja.

Satu hari setelah edisi tersebut dirilis, tepatnya pada Senin, saya turun dari angkot di Jalan Ampera Raya untuk mencapai kantor RSI. Namun misi pertama saya pada hari itu bukan untuk bekerja, melainkan membeli majalah Tempo. Beruntung, di dekat kantor masih ada bapak loper majalah yang tersenyum saat saya menanyakan edisi tersebut.

"Masih ada nih sisa dikit," ucap si bapak sambil menyerahkan majalah dengan sampul yang didominasi warna hitam pekat. "Lagi rame nih banyak dicari. Setau saya sempat diborong gitu. Gak tau sama siapa," tambahnya. Saya mencoba memberikan respon semampunya atas informasi yang cukup membuat mulut ini tersenyum kecut.

Catatan Mesin Waktu 20 Tahun Munir DibunuhTempo Edisi “10 Tahun Kematian Munir"/ Foto: CXO Media/Timotius Prasetya

Tempo berhasil mengejawantahkan investigasi pembunuhan Munir dengan sangat gamblang. Ada empat babak di dalamnya, Pembunuhan; Penyidikan; Politik; dan Riwayat. Lebih dari 70 halaman menggali secara 360 derajat tentang apa yang menimpa Munir dan dampak setelahnya. Bagaimana hukum yang seharusnya melindungi setiap warganya malah berbalik menjadi pisau tajam ke bawah, semuanya coba dikupas oleh Tempo, layer per layer.

Tidak banyak kenangan yang saya ingat saat membaca majalah ini. Cuma yang pasti, saya bisa melihat lebih detail proses pembunuhan Munir, sidang-sidang yang mencoba mencari dalangnya, dan interview dengan As'ad Said Ali dan Hendropriyono; dua nama yang menduduki kursi tertinggi Badan Intelijen Negara (BIN) saat Munir terbunuh. BIN memang sangat disorot saat itu karena kemisteriusan arsenik bisa masuk ke tubuh Munir harus dijalankan semulus mungkin.

Dalam Tempo "10 Tahun Kematian Munir", setidaknya menjadi rangkuman yang harus dijaga sebagai warisan. Warisan dari mesin hukum yang jalan di tempat, bahkan setelah Joko Widodo berjanji menuntaskan kasus Munir setelah naik ke kursi presiden pada tahun yang sama ketika edisi majalah ini dirilis.

CAK MUNIR SUDAH 20 TAHUN PERGI

Lagi-lagi media sosial membantu saya untuk mengingat sosok Munir. Poster Aksi Kamisan dengan foto Munir dan tulisan "Aksi Massa Peringatan 20 Tahun Pembunuhan Munir" membuat saya mencari-cari lagi arsip yang dimiliki; majalah Tempo "10 Tahun Kematian Munir" dan album debut Efek Rumah Kaca. Untungnya semua masih tersimpan dengan cukup rapi walaupun beberapa bagian sudah hilang atau rusak. Namun setidaknya bisa menggambarkan ulang memori hidup saya terhadap Munir.

Aksi Kamisan ke-830 pada 5 September 2024 berhasil dilakukan di depan Istana Negara dengan animo yang besar, berbarengan dengan digelarnya Misa Akbar bersama Paus Fransiskus di Gelora Bung Karno. Kebetulan yang menggambarkan warna-warni tanah air. Ada sekumpulan orang dengan baju hitam sedang berdoa penuh harap untuk keadilan, dan ada sekumpulan lainnya yang juga membawa harapan yang sama untuk negara Indonesia. Kalau memang semesta menghendaki, mungkin gabungan keduanya bisa membuat negeri ini menunjukkan jawaban dari setiap doa-doa kecil itu. Keadilan yang kita tunggu.

Tanpa banyak yang sadar, Cak Munir sudah 20 tahun pergi meninggalkan perjuangan HAM di Indonesia. Aktor intelektual dalam kasus pembunuhannya masih belum ketahuan sampai sekarang. Janji manis dari penyelesaian kasus ini pun menguap entah ke mana seiring mengguritanya penguasa melebarkan pengaruhnya.

Harus butuh berapa dekade lagi untuk mengingat kepergiannya dengan merasakan tubuh kita sendiri yang semakin menua? 30 tahun? 40 tahun? Atau 50 tahun sambil merayakan angka yang identik dengan ulang tahun emas? Alih-alih emas nan membanggakan, masa depan hukum di sini masih terlihat gelap nan sesak.

20 tahun lalu Munir menjadi korban. Ke depannya, kita tidak tahu siapa yang menjadi korban selanjutnya. Bisa saya, kamu, kalian, atau kita. Jangan pernah ragu untuk berisik dalam meneriakkan tuntutan keadilan. Karena satu yang pasti, musuh yang harus dihadapi hanya satu: mereka.

(tim/alm)

Author

Timotius P

NEW RELEASE
CXO SPECIALS