Insight | General Knowledge

Mengawal dan Melawan: Aksi 'Peringatan Darurat Indonesia' Tuntut Pilkada yang Adil dan Transparan

Kamis, 22 Aug 2024 15:48 WIB
Mengawal dan Melawan: Aksi 'Peringatan Darurat Indonesia' Tuntut Pilkada yang Adil dan Transparan
Aksi 'Peringatan Darurat Indonesia'/ Foto: CXO Media/Timotius Manggala
Jakarta -

Sejak pagi hari, massa sudah berkumpul di depan Gedung DPR untuk melakukan aksi 'Peringatan Darurat Indonesia' pada Kamis (22/8). Aksi ini merupakan imbas dari sikap pemerintah dan DPR yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi perihal perubahan syarat pencalonan kepala daerah. Mereka menuntut agar DPR dan KPU mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah terlebih dahulu ditetapkan pada awal minggu ini.

Kronologi Aksi 'Peringatan Darurat Indonesia'

Angin kemarahan publik sebelumnya sudah berhembus kencang di media sosial, lewat unggahan "Peringatan Darurat" bergambar burung garuda dengan latar biru dongker yang diunggah secara serentak oleh warganet sejak Rabu malam. Kemarahan dan kekecewaan ini pun dituangkan ke dalam aksi nyata berupa aksi demonstrasi yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat.

Berdasarkan pantauan CXO Media, beberapa elemen yang bergabung ke dalam aksi ini adalah Partai Buruh, Aliansi Jurnalis Independen, mahasiswa, dan sejumlah organisasi masyarakat lainnya. Banyak di antara mereka yang membawa atribut aksi berupa poster dan banner, di antaranya bertuliskan "Tolak Politik Dinasti", "Kawal Putusan MK", dan "Suara Rakyat Bukan Suara Raja Jawa." Di tengah massa, terlihat pula sebuah replika guillotine yang ditempel dengan poster wajah Jokowi.

Aksi ‘Peringatan Darurat Indonesia’Replika guillotine. Foto: CXO Media/Timotius Manggala

Sejumlah figur publik juga ikut menjadi peserta aksi, termasuk anggota komunitas Stand Up Indonesia. "Indonesia, Lawan! DPR, Lawak!" seru Abdel Achrian atau yang lebih dikenal sebagai Cing Abdel ketika berorasi. Komedian sekaligus aktor Arie Kriting juga menyumbangkan suaranya, "Kita semua datang untuk aksi solidaritas karena kita udah capek. Kita dulu masih ada harapan tipis-tipis. Tapi sekarang wakil rakyat nggak mewakili suara rakyat. Kita hadir untuk mengawal apa yang sudah diputuskan MK agar bisa dilaksanakan oleh2 wakil-wakil rakyat kita. Kita tidak tidur. Kawal terus!"

Selain itu, ada juga mantan Co-Captain Timnas AMIN, Tom Lembong, yang hadir sebagai peserta aksi dan menyatakan dirinya hadir tanpa mewakili kubu manapun. "Saya mewakili diri saya sendiri. Saya tidak berdiri mewakili 01, 02, 03. Begitu demokrasi dan lembaga diruntuhkan wibawanya, di situlah masalahnya," ucapnya.

Aksi ‘Peringatan Darurat Indonesia’ Banner aksi. Foto: CXO Media/Timotius Manggala/ Foto: CXO Media/Timotius Manggala

DERETAN MASALAH PILKADA 2024

Secara kronologis, problematika Pilkada 2024 sudah tercium sejak pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dinyatakan lolos verifikasi untuk mendaftar sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta via jalur independen. Laporan adanya sejumlah KTP warga yang dicatut untuk mendukung pasangan calon ini pun tidak membuat KPU lantas membatalkan pencalonan mereka.

Berikutnya, Koalisi Indonesia Maju Plus-yang memenangkan Prabowo dan Gibran dalam kontestasi pemilihan Presiden-mengusung Ridwan Kamil dan Suswono sebagai Cagub dan Cawagub DKI. Suswono sendiri merupakan kader PKS, partai yang sebelumnya mengusung Anies Baswedan sebagai Calon Presiden. Akibatnya adanya koalisi raksasa ini, PDI-P-yang diharapkan oleh banyak orang bisa menjadi oposisi-terancam tidak bisa mengusung calon di Pilkada Jakarta.

Harapan kecil mulai tumbuh ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan dari partai Buruh dan partai Gelora untuk menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah yang sebelumnya harus memiliki setidaknya 20% kursi di DPRD atau 25% popular vote. Namun putusan MK menurunkan ambang batas menjadi 7.5% suara, sehingga partai yang tidak memiliki kursi di DPRD bisa mencalonkan kandidat. Tak hanya itu, MK juga memutuskan usia minimum calon kepala daerah yaitu 30 tahun pada saat pendaftaran.

Putusan ini pun menjadi game changer untuk Pilkada yang akan datang, sebab partai yang tidak tergabung dalam KIM Plus tetap bisa mencalonkan kandidatnya. Dengan kata lain, masih ada harapan untuk oposisi. Selain itu, putusan terkait batasan usia juga menutup kemungkinan bagi siapapun di bawah 30 tahun untuk berkompetisi di Pilkada-termasuk anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep.

Aksi ‘Peringatan Darurat Indonesia’ "Make Nepotism Fall Again". Foto: CXO Media/Timotius Manggala/ Foto: CXO Media/Timotius Manggala

Namun semua berubah 180 derajat dalam waktu 24 jam saja. "Angin segar" demokrasi dari putusan MK ini dicegat oleh DPR dalam rapat Badan Legislasi yang berlangsung kilat. Alih-alih mematuhi putusan MK, DPR justru mengacu pada putusan Mahkamah Agung yang menyebutkan calon kepala daerah harus berusia 30 tahun ketika mereka dilantik. Kemudian, kesepakatan Baleg juga menyebutkan ambang batas untuk pencalonan pilkada hanya berlaku bagi partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Walhasil, apabila disahkan, putusan MK pun menjadi tak ada maknanya.

Revisi UU Pilkada rencananya akan disahkan pada rapat paripurna yang seharusnya digelar hari Kamis. Tapi di kala massa aksi mengepung Gedung DPR, rapat paripurna ditunda karena tidak memenuhi kuorum. Meski demikian, penundaan tersebut tak mengecilkan semangat massa yang telah bertekad untuk menyuarakan aspirasi.

Pada akhirnya masyarakat bersatu dalam satu suara untuk menuntut kontestasi politik yang adil, jujur, dan transparan. Mengutip Bintang Emon ketika berorasi, "Berikan kami kompetisi yang baik untuk mendapatkan pemimpin terbaik."

(cxo/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS