Insight | General Knowledge

Kakistocracy: Ketika Negara Dipimpin oleh Orang-Orang Inkompeten

Jumat, 12 Jul 2024 16:00 WIB
Kakistocracy: Ketika Negara Dipimpin oleh Orang-Orang Inkompeten
Kakistocracy: Ketika Negara Dipimpin oleh Orang-Orang Inkompeten/Foto: Unsplash: Hansjorg Keller
Jakarta -

Dalam sejarah, ada model pemerintahan yang masing-masing memiliki karakteristik dan problematikanya sendiri. Ada yang berhasil menciptakan kesejahteraan, ada yang berdedikasi dalam melayani masyarakat, ada pula yang menjerumuskan orang-orang ke dalam penderitaan. Baik itu dalam sistem demokrasi ataupun monarki, pemimpin yang membuat keputusan buruk dan tidak mampu menjalankan fungsinya adalah fenomena yang umum. Tapi, kita nyaris tidak memiliki kosakata untuk menangkap fenomena ini secara komprehensif. Untuk itu, mari berkenalan dengan istilah kakistocracy.

Kakistocracy adalah istilah yang nyaris terlupakan dan jarang sekali digunakan, tapi barangkali sangat relevan untuk menggambarkan kondisi masa kini. Kakistocracy berasal dari bahasa Yunani yaitu kakistos yang artinya terburuk dan kratos yang artinya kekuasaan atau pemerintah. Secara harfiah, kakistocracy berarti pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang terburuk atau mereka yang tidak memiliki kualifikasi untuk menjalankannya.

Pada tahun 1876, penyair dari Amerika Serikat bernama James Russell Lowell menggunakan istilah kakistoracy dalam surat yang ia tulis. "Is ours a government of the people, by the people, for the people, or a kakistocracy rather, for the benefit of knaves at the cost of fools?" tulisnya. Kemudian pada tahun 1896, penulis berkebangsaan Inggris John Martineau menggunakan "kakistocracy" untuk menggambarkan pemerintahan Australia yang menurutnya berkualitas buruk. Namun, istilah kakistocracy sendiri tidak dipakai secara jamak dan penggunaannya hilang ditelan zaman.

Di abad ke-21, istilah ini mendapat popularitasnya ketika mantan Direktur CIA, John Brennan, menyebut pemerintahan Donald Trump sebagai kakistocracy. Oleh karena penggunaannya yang timbul-tenggelam dan hanya muncul sesekali, tidak ada makna definitif dari apa yang sebenarnya bisa digolongkan sebagai kakistocracy. Baik pemerintahan yang inkompeten maupun pemerintahan yang korup sama-sama bisa mendapatkan label kakistocracy.

Definisi paling jelas muncul dari Amorado (2012) dalam artikel jurnal berjudul Kakistocracy: Rule of the Unprincipled, Unethical and Unqualified. Akademisi dari Filipina tersebut mengatakan bahwa kakistocracy merupakan buah dari kepemimpinan tanpa kecerdasan dan integritas. Kepemimpinan yang cerdas namun tidak memiliki integritas akan melahirkan impunitas. Sedangkan kepemimpinan yang berintegritas tapi tak memiliki kecerdasan juga tak akan membawa kemajuan. Ketiadaan keduanya akan menciptakan pemerintahan atau organisasi yang dipimpin oleh orang-orang yang tak memiliki prinsip, tak mengedepankan etika, serta tak memenuhi syarat untuk memegang posisi tersebut.

Kakistocracy juga bisa menghasilkan kleptocracy, yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang yang suka mencuri. Kakistocracy yang berjalan beriringan dengan kleptocracy akan melahirkan macam-macam penderitaan bagi masyarakat; mulai dari korupsi, skandal pejabat dan korporasi, serta tidak berfungsinya hukum.

Lantas, apa yang menyebabkan orang-orang kompeten bisa menduduki posisi yang tinggi di sebuah organisasi atau bahkan negara? Menurut Martin Gutmann, sejarawan manajemen dari Lucerne University of Applied Sciences and Arts, sepanjang sejarah kita kerap merayakan pemimpin-pemimpin yang justru tidak kompeten. Hal ini disebabkan oleh action fallacy, yaitu kesalahpahaman bahwa pemimpin-pemimpin terbaik adalah mereka yang memiliki kisah paling menarik untuk diceritakan.

Gutmann menjelaskan, bahwa kita kerap melihat potensi kepemimpinan ada pada mereka yang lebih banyak berbicara, terlepas dari substansinya; mereka yang terlihat percaya diri, terlepas dari kompetensinya; dan mereka yang selalu terlihat sibuk, terlepas dari apa yang mereka kerjakan. Action fallacy ini menciptakan budaya toksik di mana orang-orang yang berkompeten justru diabaikan, dan mereka yang "terlihat" bisa memimpin akan dengan mudah mengisi posisi yang lebih tinggi.

Ketika inkompetensi dibiarkan dan melahirkan penderitaan bagi banyak orang, mungkin sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali karakteristik seperti apa yang seharusnya ada dalam seorang pemimpin.

(ANL/DIR)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS