Kabar mengenai kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) menuai protes dari elemen masyarakat, terutama mahasiswa. Menjawab keresahan publik, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Tjitjik Sri Tjahjandarie, mengatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier dan tidak termasuk ke dalam program wajib belajar. Pernyataan ini pun mendapat kritik dari DPR, sebab pemerintah dianggap "lepas tangan" dari tanggung jawab untuk menyediakan layanan pendidikan yang terjangkau.
Tak sedikit pula warga yang membanding-bandingkan Indonesia dengan negara Nordik seperti Finlandia dan Norwegia. Pasalnya, negara-negara ini mampu menggratiskan pendidikan tinggi bagi warganya maupun pelajar internasional. Namun, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, negara-negara Nordik bisa menyediakan pendidikan tinggi secara gratis karena mematok tarif pajak yang tinggi untuk warganya, bahkan bisa mencapai 70 persen dari gaji. Benarkah demikian?
Pajak Tinggi, Layanan Publik Bermutu
Negara-negara Nordik seperti Norwegia dan Finlandia memang dikenal sebagai negara yang mampu menyediakan layanan publik secara gratis bagi warganya, seperti kesehatan, pendidikan, dan pengasuhan anak serta lansia. Semua layanan publik ini sebagian besar dikelola oleh negara dengan menggunakan dana publik. Sehingga, tak mengherankan apabila tarif pajak bagi warga cukup tinggi. Berdasarkan data dari Tax Foundation (2021), pajak penghasilan di Denmark mencapai 55.9%, Swedia mencapai 52.8%, dan Norwegia mencapai 38.2%.
Namun, pajak yang tinggi ini tidak dianggap sebagai beban oleh para warganya. Bahkan, mereka dengan senang hati menyisihkan sebagian besar penghasilan mereka demi mendanai layanan publik. Valentina Valestany, seorang pekerja swasta berumur 39 tahun, mengatakan ia "senang" membayar pajak yang tinggi karena sepadan dengan keuntungan sosial ia akan terima nantinya, termasuk pendidikan bagi anak-anaknya. "Makan siang (di sekolah) gratis, tidak ada kendala untuk mendaftar masuk. Anak-anak saya menerima pendidikan yang bermutu dan guru-gurunya hebat," ucapnya dikutip dari The Guardian.
Pendidikan sebagai Hak Dasar
Warga negara Nordik bisa dengan ikhlas dan senang hati menyisihkan penghasilan mereka untuk membayar pajak karena mereka percaya uang tersebut akan dikelola dengan tepat guna, dan masyarakat akan merasakan dampaknya. Salah satu bukti dari keberhasilan layanan publik di negara Nordik adalah perguruan tinggi yang gratis dan bisa diakses oleh siapa saja. Di Norwegia, misalnya, dana publik mengalir ke seluruh universitas negeri dan beberapa universitas swasta. Total dana yang dialirkan ke universitas negeri sendiri mencapai 95% dari total pendanaan.
Selain itu, Jussi Välimaa, akademisi dari Finnish Institute for Educational Research, mengatakan bahwa kesetaraan merupakan aspek penting dari model pendidikan di negara Nordik. Negara-negara Nordik memiliki tradisi untuk menjunjung tinggi kesetaraan akses pendidikan bagi semua warganya. Alih-alih dipandang sebagai komoditas, pendidikan dipandang sebagai hak dasar yang seharusnya disediakan melalui layanan publik. Hal inilah yang membedakan negara Nordik dengan negara lainnya yang mematok harga tinggi untuk perguruan tinggi.
Jenjang pendidikan yang tinggi juga dianggap akan menguntungkan masyarakat dalam jangka panjang, terutama dari segi industri. Oleh karenanya, pendidikan dianggap sebagai isu kolektif yang menjadi kepentingan pemerintah dan masyarakat.
Negara Nordik memang mematok pajak yang tinggi bagi warganya, tapi ini bukan satu-satunya alasan mengapa mereka sanggup menyediakan pendidikan gratis. Kebijakan yang pro-kesetaran, implementasi kebijakan yang tepat sasaran, serta layanan publik yang berkualitas adalah kunci mengapa model ini berhasil dipraktikkan di negara-negara tersebut.
Dengan gaji yang pas-pasan, biaya hidup yang tinggi, dan rendahnya tingkat kepercayaan terhadap pemerintah, tidak adil rasanya apabila pajak dijadikan satu-satunya alasan mengapa biaya pendidikan tinggi di Indonesia belum terjangkau.
(ANL/alm)