Saat ini, ada 4 jenis kejahatan berat yang diakui oleh hukum internasional; yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Namun, ada banyak aktivis lingkungan dan tokoh masyarakat yang mengajukan agar ecocide atau ekosida disertakan sebagai kejahatan internasional kelima-beberapa dari mereka adalah Jane Goodall, Paus Fransiskus, dan Greta Thunberg.
Secara umum, ecocide diartikan sebagai penghancuran lingkungan hidup secara besar-besaran dan sistematis. Dilansir Forest Digest, istilah ecocide pertama kali dicetuskan oleh ahli biologi Amerika Serikat, Arthur Galston, pada tahun 1970 dalam Konferensi Pertanggungjawaban terhadap Perang di Washington, DC. Selain merusak hutan dan mencemari tanah, dioksin yang terkandung di herbisida Agent Orange juga mengakibatkan setidaknya 15.000 anak-anak terlahir dalam kondisi cacat.
Sejak saat itu, produksi Agent Orange dihentikan. Ecocide juga dimuat ke dalam Statuta Roma yang menjadi cikal bakal berdirinya Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court. Akan tetapi, hukum internasional hanya mengakui ecocide dalam konteks kejahatan perang, seperti yang terjadi dalam Perang Vietnam. Padahal, di luar perang, ecocide juga terjadi secara masif.
Belajar dari Kasus Lumpur Lapindo
Ecocide bisa dilakukan oleh individu, korporasi, ataupun negara. Salah satu kasus ecocide di Indonesia adalah semburan lumpur panas Lapindo Brantas yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur, pada tahun 2006. Pada 18 Mei, PT Lapindo Brantas, perusahaan kontraktor pengeboran gas yang berada di bawah naungan Bakrie Group, melakukan pengeboran sedalam 8.500 kaki. Namun pada tanggal 29 Mei, lumpur panas mulai menyembur keluar dari salah satu sumur milik Lapindo.
Semburan lumpur dalam jumlah banyak mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dahsyat serta hilangnya tempat tinggal puluhan ribu warga. Bencana ini mengakibatkan terbentuknya lautan lumpur yang menenggelamkan 10.426 rumah warga di 3 kecamatan. Sampai sekarang, Lumpur Lapindo dikenal sebagai bencana industrial terparah di Indonesia.
PT Lapindo Brantas mengklaim gempa Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum peristiwa semburan lumpur merupakan penyebab dari bencana ini. Sementara itu, ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli; ada yang berpendapat penyebabnya adalah gempa bumi, ada yang berpendapat penyebabnya adalah pengeboran, dan ada pula yang berpendapat penyebabnya adalah keduanya.
Komnas HAM sendiri mengkategorikan peristiwa Lumpur Lapindo sebagai ecocide dan termasuk ke dalam kejahatan berat yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Namun, Komnas HAM tidak bisa mengkategorikan bencana ini sebagai pelanggaran HAM berat karena Undang-undang tentang Pengadilan HAM hanya mencakup 2 kategori kejahatan, yaitu kejahatan kemanusiaan dan genosida. Dalam laporannya, Komnas HAM juga memberi rekomendasi agar klausul ekosida disertakan dalam draft amandemen UU 26/2000. Tapi sampai sekarang, ekosida belum diatur dalam hukum Indonesia.
Lumpur Lapindo adalah satu dari banyaknya contoh kasus di mana perusahaan menjadi pelaku pemusnahan lingkungan, dan negara gagal bertindak tegas. Kerusakan alam secara masif akibat perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan pengeboran minyak dan gas, terjadi di depan kita tanpa ada sanksi yang konkret terhadap para pelakunya-dan semua dilakukan atas nama pembangunan.
Ecocide secara jelas adalah kejahatan kemanusiaan. Sebab ketika alam dirusak, manusia jugalah yang harus menanggung akibatnya. Kejahatan terhadap lingkungan adalah kejahatan yang serius dan harus segera diatur baik melalui hukum dalam negeri maupun hukum internasional. Sebab jika kejahatan ini luput dari hukum, para pelaku ecocide akan dibiarkan memiliki impunitas dan lolos dari konsekuensi.
(ANL/alm)