Bagaimana rasanya teh kemasan yang kamu konsumsi hampir setiap hari? Atau cola pendamping makan yang sekarang mungkin berada di sampingmu? Enak, bukan? Tapi sepertinya, tahun ini kamu tidak bisa lagi menikmatinya dengan santai sebab pemerintah telah mewacanakan akan memberikan pajak cukai untuk minuman-minuman berpemanis sebesar 20 persen lebih mahal.
Bukan tanpa alasan pemerintah menyegerakan penerapannya. Dalam satu dekade terakhir, tidak sedikit pihak yang menyorot pentingnya penerapan cukai pada minuman berpemanis di Indonesia baik pihak organisasi dalam maupun luar negeri salah satunya adalah UNICEF.
UNICEF menilai bahwa penerapan pajak pada minuman berpemanis harus segera direalisasikan mengingat laporan kesehatan masyarakat-terutama anak-anak semakin mengkhawatirkan. Awal 2023 lalu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut kasus diabetes anak Indonesia meningkat hingga 70 kali lipat sejak 2010. Ada sekitar 1.645 anak di Indonesia yang mengalami diabetes.
Tak hanya itu, menurut esai yang ditulis oleh Benny Gunawan Ardiansyah dari Politeknik Keuangan Negara STAN berjudul "Kajian Ekonomi dan Keuangan" (2017), konsumsi minuman berpemanis di Indonesia meningkat sebanyak 15 kali lipat selama 2 dekade terakhir.
Sementara, esai yang ditulis oleh Ratu Ayu D. Sartika dari Universitas Indonesia berjudul "Consumption of Sugar-Sweetened Beverages and Its Potential Health Implications in Indonesia" menunjukkan masyarakat Indonesia sudah diperkenalkan dengan minuman berpemanis sejak usia dini. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018 menunjukkan kalau 61,3 persen penduduk Indonesia mulai usia 3 tahun mengonsumsi setidaknya satu minuman berpemanis per hari.
Alasan-alasan inilah yang membuat banyak negara sudah menerapkan cukai pada minuman berpemanis sebagai solusinya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015 sudah melihat bahwa penerapan pajak pada minuman berpemanis efektif dalam mengurangi konsumsinya. Lantas, apa dampaknya bagi Indonesia setelah ini diterapkan?
Sisi Lain Penerapan Pajak
Peneliti dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam laporan akhir tahun lalu menyatakan ada berbagai dampak lain dari penerapan pajak minuman berpemanis ini. Lewat kenaikan harga minuman berpemanis sebesar 20 persen, kemungkinan permintaan rata-rata produk-produk tersebut menurun sebesar 17,5 persen atau 14,3 persen hingga 18,6 persen pada setiap kelompok minuman berpemanis.
Tak hanya itu, cukai minuman berpemanis berpotensi meningkatkan pemasukan negara sekitar Rp2,7 triliun sampai Rp6,25 triliun per tahun. Tambahan penerimaan negara ini bisa digunakan untuk membantu pembiayaan upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat di Indonesia-yang sekarang masih sangat minim anggarannya terkait diabetes dan obesitas.
Oleh sebab itu, penerapannya pun harus dipersiapkan secara matang dan pemetaan seberapa besar dampak ke depannya terhadap kesehatan dan perekonomian masyarakat. Dikutip CNBC Indonesia, Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis, Direktorat Jenderal Bea Cukai Muhammad Aflah Farobi mengatakan Ditjen Bea dan Cukai akan mempersiapkan pelaksanaan aturan tersebut dengan hati-hati. Sebab jika tidak dilakukan dengan cermat, cukai ini justru bisa mendatangkan lebih banyak dampak buruk.
"Kami sudah di tahap penyiapan regulasinya dan pemetaan seberapa besar dampaknya dan kami sedang mensimulasikan penerapannya seperti apa dan lingkupnya seperti apa. Kalau kami tidak siapkan konteksnya dengan tepat nanti mudaratnya akan lebih banyak," ujarnya.
Selain itu, yang harus lebih cermat dipertimbangkan adalah golongan pedagang yang tidak akan terkena cukai. Para pedagang ini, kerap menggunakan mesin press untuk kemasannya dengan harga relatif murah.
"Menurut kajian kami, di tahap awal sepertinya belum akan dikenakan," ungkapnya. Meskipun belum ada kepastian kapan penerapannya akan direalisasikan pada tahun ini, namun bea cukai berjanji akan melakukan sosialisasi secara masif pada masyarakat.
Nah, bagi kamu para pecinta minuman manis kemasan, bersiaplah tahun ini kamu tak lagi bisa menikmati "si manis" dengan nominal harga yang sama.
(DIR/alm)