Pemilu sudah dilaksanakan, tapi bukan berarti pembahasan mengenai serba-serbi pemilu sudah selesai. Memilih pemimpin negara dan wakil rakyat memang layak disebut sebagai pesta demokrasi, sebab di momen inilah semua warga Indonesia bisa menggunakan haknya untuk pergi ke TPS dan memberikan suara. Namun, masih ada banyak yang harus dibenahi dari penyelenggaraan "pesta demokrasi" 5 tahunan, salah satunya yaitu penyelenggaraan pemilu yang inklusif.
Dalam keriuhan "pesta demokrasi" ini, hak-hak penyandang disabilitas kerap terlupakan. Padahal, tak jarang para penyandang disabilitas dijadikan sasaran kampanye oleh para politisi yang ingin meraup suara. Lantas, sudahkan pemilu-yang katanya adalah pesta demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia-merangkul semua golongan dalam penyelenggaraannya?
Pemilu yang (Masih) Belum Ramah Disabilitas
Dilansir Kata Data, sejak Juli 2023 KPU mencatat ada 1.101.178 orang penyandang disabilitas yang masuk ke dalam daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024, atau sama dengan 0,54% dari total 204,8 juta pemilih nasional. Jumlah ini bisa dibagi menjadi empat kategori, yaitu disabilitas fisik sebanyak 482.414 orang, disabilitas mental sebanyak 264.594 orang, serta disabilitas intelektual sebanyak 55.421 orang.
KPU sendiri sudah berupaya untuk mengakomodasi pemilih disabilitas, seperti mendata jumlah penyandang disabilitas di masing-masing TPS, mendata kebutuhan mereka, serta memberikan opsi untuk adanya pendamping saat mencoblos. Sementara itu saat pencoblosan, KPU juga membuat panduan TPS ramah disabilitas dengan beberapa persyaratan seperti:
- TPS tidak didirikan di lahan berbatu, berbukit, berlumpur, ataupun bertangga
- Lebar pintu masuk dan pintu keluar TPS minimal 90 cm
- Luas TPS 10 meter x 8 meter untuk memudahkan pengguna kursi roda
- Tersedia surat suara Braille untuk alat bantu tuna netra
- Memberikan tanda tinta ke bagian tubuh penyandang disabilitas yang tidak memiliki tangan dan atau kaki
- Menepuk bahu penyandang disabilitas rungu untuk memanggil
- Memberikan pendampingan untuk disabilitas intelektual jika diperlukan
- Menempatkan pemilih penyandang disabilitas psikososial di tempat yang nyaman dan tenang saat menunggu proses pemungutan suara
Selain itu, KPU juga menyediakan fasilitas menjemput bola ke komunitas-komunitas disabilitas, sehingga mereka tidak harus datang ke TPS. Anna Oktavia, Ketua Pelaksana Roemah Difabel di Semarang, adalah salah satu yang merasakan proses pemilihan suara dengan cara jemput bola sejak beberapa tahun yang lalu. Hal ini dilakukan sebab dahulu jarak TPS cukup jauh dan belum aksesibel bagi pengguna kursi roda.
"Dengan seiringnya waktu berjalan, TPS di tempat kami pun terus berbenah dan lebih dekat. Namun mereka tetap memberikan pelayanan jemput bola bagi warganya yang penyandang disabilitas maupun yang lansia," ucap Anna kepada CXO Media.
Kendati sudah difasilitasi, Anna masih merasakan kendala saat mencoblos dikarenakan kertasnya yang terlalu lebar, sehingga ada kesulitan saat mencoblos bagian atas dan melipatnya kembali. Selain itu, Anna mengatakan kendala juga dialami oleh teman-teman netra.
"Sejauh ini sudah mengakomodasi kebutuhan teman-teman disabilitas, namun belum sepenuhnya. Karena bagi teman-teman netra belum semua (mendapat) akses dengan huruf braille, itu yang menjadi kendala bagi mereka," ungkapnya.
Kendala-kendala yang diungkap oleh Anna sejalan dengan temuan Pemantau Pemilu di lapangan mengenai belum meratanya alat bantu disabilitas di seluruh TPS. Dilansir detik.com, Koordinator Pemantau Pemilu, Farid Fathur, mengatakan bahwa ada sebanyak 290 TPS yang tidak menyediakan alat bantu disabilitas netra untuk pemilihan presiden, sedangkan ada 430 TPS yang tidak menyediakan alat bantu disabilitas netra untuk pemilihan DPD.
Pemantauan tersebut dilakukan di 1.571 TPS oleh 2.082 pemantau yang tersebar di 156 kabupaten di 26 provinsi. Menurut Fathur, tidak adanya alat bantu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, yaitu kurangnya pemahaman petugas KPPS soal fungsi alat bantu disabilitas netra. Kedua, petugas KPPS menganggap tidak ada pemilih disabilitas netra di TPS tersebut.
Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa meski kesadaran untuk menyelenggarakan pemilu yang inklusif sudah terbentuk, namun implementasinya masih belum ideal. Masalah ini perlu menjadi catatan bagi KPU, untuk memastikan ketersediaan alat bantu dan TPS yang aksesibel bagi penyandang disabilitas. Bila tidak, para penyandang disabilitas tidak bisa menggunakan hak suara mereka sebagai warga negara.
(ANL/tim)