Sebagai disclaimer, artikel ini akan lebih sesuai jika diberi judul "Eksperimen Saya", karena di antara anggota tim lainnya, sepertinya hanya saya sendiri sebagai penulis yang belum pernah menaiki KRL Commuterline, meski sudah tinggal bertahun-tahun di Jakarta. Ketika kecil dulu, tentu saya tidak perlu memikirkan mobilitas, karena tinggal bergantung pada orangtua atau mobil jemputan sekolah. Kini setelah dewasa, saya yang mudah terintimidasi rute transportasi publik lebih memilih menggunakan sepeda motor untuk moda transportasi sehari-hari. Beberapa tahun yang lalu, ketika aplikasi Trafi masih aktif beroperasi, saya bergantung padanya untuk menelusuri jalur transportasi publik. Absennya aplikasi se-reliable Trafi membuat frekuensi saya menggunakan transportasi publik menurun drastis, terutama saat butuh bepergian ke daerah yang belum terlalu familiar.
Sering terbersit rasa penasaran untuk menggunakan moda angkutan umum KRL yang digunakan oleh mayoritas teman-teman, terutama ketika mendengar bahwa kualitas angkutan serta pelayanannya jauh membaik jika dibandingkan dengan dulu. Di sisi lain, anekdot soal kereta yang kerap telat, volume penumpang yang terlampau tinggi ketika rush hour, dan fasilitas di stasiun yang tak kunjung diperbaiki ternyata lebih kuat dalam menunda niat saya menggunakan KRL—meski penasaran tetap ada.
Proses pembuatan MEREKA episode kedua, dengan subjek KRL, menjadi kesempatan paling ideal saya menjajal moda transportasi umum ini untuk pertama kali. Tentu desk research saja tidak cukup untuk mengerjakan proyek ini, perlu studi langsung ke lapangan yang dibarengi pengambilan footage bersama tim. Hadirnya teman-teman yang bisa dibilang sudah "profesional" dalam menaiki KRL bersama saya memberi rasa percaya diri yang lebih.
Pada hari H pengambilan gambar, kami berkumpul terlebih dahulu di kantor saat pagi hari. Setelah mengorganisir peralatan shooting dan membagi bawaan, kami berangkat ke Stasiun Sudirman yang merupakan salah satu stasiun paling sibuk di pusat Jakarta. Sesampainya di stasiun pada pagi menjelang siang, rupanya kesibukannya telah sedikit mereda. Setelah mendapatkan footage yang cukup dari Stasiun Sudirman, kami pun berangkat ke pemberhentian-pemberhentian selanjutnya untuk mencari footage lain. Akhirnya, perjalanan pertama saya dengan KRL pun dimulai. Ketika pertama memasuki gerbang, entah kenapa kartu e-money saya sempat tak berfungsi. Setelah menerima candaan bahwa saya terlalu tegang dari teman-teman, kami pun menaiki gerbong.
Kesan pertama saya ketika menaiki gerbong KRL adalah dingin dan nyaman. Mungkin karena bukan rush hour, pengalaman pertama saya menaiki KRL sangat menyenangkan. Ruang di dalam gerbong sangat memadai bagi kami yang membawa peralatan shooting, kemudian informasi mengenai perhentian selanjutnya pun ditampilkan jelas di atas pintu gerbong. Perjalanan antar stasiun juga berlangsung lebih cepat dari yang saya kira, sehingga excitement saya terinterupsi lumayan mendadak. Tak masalah, karena banyak perhentian yang kami tuju di hari itu, sehingga naik-turun antar gerbong di berbagai stasiun saya alami cukup banyak.
Hal yang saya perhatikan dalam perjalanan adalah masih tidak meratanya fasilitas di stasiun satu dan lainnya. Banyak fasilitas seperti eskalator yang tidak berfungsi, dan konon hal tersebut sudah berlangsung lama. Secara keseluruhan, kondisi stasiun yang sudah lama dan baru dibangun juga lumayan jomplang. Sepanjang perjalanan, ketidakmerataan kondisi Jakarta juga bisa dilihat dengan mudah dari jendela gerbong.
Sekali lagi, mungkin hal ini dikarenakan faktor minimnya penumpang KRL ketika saya menaikinya, tapi seluruh penumpang berlaku dengan tertib baik di stasiun maupun di dalam gerbong. Rasanya, hal ini sedikit menegasi pernyataan bahwa masyarakat Indonesia selalu memiliki tendensi untuk berlaku tidak tertib.
Terlepas dari berbagai kekurangannya, saya terkesan dengan betapa proper-nya KRL Commuterline sebagai moda transportasi masif. Sebagai tulang punggung mobilitas urban, murahnya biaya perjalanan KRL dan jangkauannya yang cukup luas memang menjadi penyelamat bagi jutaan masyarakat Jabodetabek.
Beberapa minggu yang lalu, saya sempat berbincang dengan seorang jurnalis dari Malaysia ketika sedang meliput suatu event bersama. Saat mengobrol, ia mengatakan bahwa ia cukup iri dengan banyaknya moda transportasi publik yang dimiliki Jakarta. Awalnya, saya sempat tidak percaya, mengingat Kuala Lumpur sendiri memiliki transportasi publik yang menurut saya sudah sangat baik. Menurut kolega baru saya tersebut, jangkauan transportasi publik di Kuala Lumpur masih belum seluas Jabodetabek. Ketika telah mengalami sendiri bagaimana rasanya menggunakan KRL Commuterline, agaknya kini saya cukup mengerti pernyataannya.
Jika dipikir, ketika bepergian ke luar negeri, mayoritas dari kita selalu menyempatkan diri untuk menjajal transportasi publiknya, sambil kemudian berpikir, "Kapan Indonesia punya transportasi publik sebaik ini?" Namun, Jabodetabek sebenarnya sudah memiliki fondasi yang kuat. Perkembangan transportasi publik di Jabodetabek—dan selanjutnya Indonesia—menjadi lebih baik tentu akan membawa lebih banyak orang untuk sedikit demi sedikit beralih menggunakannya. Aneh juga rasanya jika kita dengan senang hati menaiki transportasi publik di luar negeri, namun tidak mau menggunakannya di rumah sendiri. Walau pengalaman kali ini meninggalkan kesan yang positif bagi saya, belum sah rasanya jika saya tidak menaiki KRL Commuterline ketika peak hour untuk berangkat dan pulang kantor. Yang pasti, saya akan menggunakan KRL lagi.
MEREKA episode kedua, "Surat Cinta untuk KRL" bisa disaksikan di sini.
(alm/alm)