Konflik Israel-Hamas telah memicu gerakan dukungan yang masif kepada Palestina di seluruh dunia. Ini bukan lagi persoalan tentang sentimen agama tertentu, melainkan untuk menyerukan penegakan keadilan dan penghentian perang demi menyelamatkan warga sipil—terutama orangtua, perempuan dan anak-anak.
Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara paling vokal dalam mendukung kemerdekaan Palestina ikut menunjukkan aksi solidaritas. Salah satunya adalah yang dilakukan pemerintah lewat Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan mengeluarkan fatwa haram membeli produk-produk Israel.
Masyarakat pun juga tak ingin kalah memberi dukungan dengan memboikot produk-produk yang secara tidak langsung mendukung Israel. Walaupun tidak bisa membantu secara langsung, tetapi usaha ini dilakukan agar Israel tidak lagi mendapatkan asupan dana perusahaan yang menaungi produk tersebut, agar agresi Israel ke Palestina yang kian hari kian tidak masuk akal ini berhenti. Namun, seberapa besar pengaruhnya dan mampukah cara ini menghentikan serangan Israel ke Palestina?
Memahami Fatwa Haram MUI
Sebagian orang Muslim meyakini, ketika kita tinggal di suatu negara, pemimpin kita adalah pemerintah yang berlandaskan hukum dan diakui oleh masyarakatnya. Begitu pula ketika MUI mengeluarkan fatwa haram terkait pembelian produk-produk dari produsen Israel.
Fatwa Nomor 83 Tahun 2023, berisi tentang Hukum Dukungan terhadap Palestina. Di dalamnya tertulis bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina atas agresi Israel, hukumnya wajib. Sebaliknya, mendukung Israel dan produk yang mendukung Israel, hukumnya haram.
"Mendukung pihak yang diketahui mendukung agresi Israel, baik langsung maupun tidak langsung, seperti dengan membeli produk dari produsen yang secara nyata mendukung agresi Israel, hukumnya haram," kata Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Soleh, seperti dikutip CNBC Indonesia.
Namun jangan sampai salah penafsiran. Maksud dari fatwa haram MUI adalah sebaiknya tidak membeli produk-produk yang produsennya berafiliasi dan mendukung Israel, bukan mengharamkan mengonsumsi produk tersebut. Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Miftahul Huda menegaskan MUI tidak pernah mengharamkan produk-produk tersebut.
"Jadi, MUI tidak [memiliki kompetensi] untuk merilis produk, atau yang terafiliasi ke Israel. Dan yang kami haramkan bukan produknya, tapi aktivitas dukungannya," ujarnya.
MUI juga sedang mengkaji produk-produk apa saja yang terafiliasi dengan Israel agar mempertimbangakan pencabutan sertifikasi halalnya. Wakil Sekjen MUI Bidang Hukum dan HAM, Ikhsan Abdullah mengatakan pihaknya telah mengantongi daftar produk yang diduga terafiliasi dengan Israel dan akan segera mengkajinya.
Menurutnya, upaya ini menjadi salah satu langkah pemerintah Indonesia mendukung Palestina dan produk pendukung Israel pun tidak boleh masuk ke Indonesia. Dia juga berharap gerakan boikot yang difatwakan MUI bisa melumpuhkan ekonomi perusahaan-perusahaan pendukung Israel.
"Kalau sudah dicabut sertifikasi halalnya itu, maka nggak akan laku di Indonesia, karena tidak boleh masuk juga," ujar Ikhsan dikutip CNN Indonesia.
Meski begitu, pencabutan sertifikasi tersebut, bukan berarti produk-produk itu haram, melainkan ketika sertifikasi halalnya dicabut tidak boleh dijual lagi di Indonesia.
Boikot dan Akibatnya untuk Israel
Sebelum fatwa haram MUI dirilis, masyarakat sudah terlebih dulu membuat gerakan mandiri dengan memboikot produk-produk yang berafiliasi dengan Israel. Aksi boikot ini sebenarnya telah terjadi sejak lama, tetapi memang tidak semasif sekarang, ketika Israel membombardir Palestina.
Pemboikotan ini diharapkan bisa menghentikan sumbangan pembelian mesin perang Israel agar mereka tidak lagi mempunyai amunisi untuk menyerang Palestina. Bukan hanya Indonesia, beberapa negara pun kini tengah gencar untuk menggaungkan dukungan pemboikotan produk-produk yang mendukung Israel.
Sebulan pasca pecahnya konflik, sejumlah perusahaan yang menjadi target boikot mulai menunjukkan kekhawatirannya. Beberapa di antaranya mengklarifikasi bahwa gerakan boikot tersebut berdampak pada pengurangan jumlah pelanggan dan pemasukan laba.
Meski begitu, dampak boikot sepertinya belum terlihat secara signifikan. Sebab, hasilnya baru akan terlihat setelah 3 bulan ke depan. Itu pun harus disertai dengan gerakan yang masif agar lebih banyak orang yang mendukung aksi tersebut.
Aksi boikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel memang bisa sedikit banyak membantu mengurangi agresi Israel ke Palestina. Tetapi tidak bisa benar-benar menghentikannya, sebab selain mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Amerika Serikat, 40 persen ekspor Israel adalah barang "intermediet" atau produk tersembunyi yang digunakan dalam proses produksi barang di tempat lain, seperti semikonduktor. Bukan hanya itu, 50 persen dari ekspor Israel adalah barang "diferensiasi" atau barang yang tidak bisa digantikan seperti chip komputer khusus.
Jadi perlu diingat, sebelum memboikot produk yang disinyalir mendukung aktivitas Israel, ketahui lebih dalam apakah produsen tersebut benar-benar terafiliasi atau tidak. Sebab jika tidak memahami siapa yang diboikot dalam negeri, bukan tidak mungkin ini akan menjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang besar di kemudian hari bagi tenaga kerja lokal. Bukan tidak mungkin pemboikotan yang bertujuan untuk mendukung Palestina, justru malah menimbulkan kerugian ekonomi negara kita sendiri.
(DIR/alm)