Dalam solidaritas untuk warga di Gaza, masyarakat dari seluruh dunia memohon agar gencatan senjata diberlakukan. Setelah berminggu-minggu sejak Israel melakukan serangan balik kepada kelompok Hamas, ribuan korban jiwa telah berjatuhan; termasuk anak-anak. Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak untuk melakukan gencatan senjata dan mengatakan "Ini waktunya untuk berperang." Menurut Netanyahu, melakukan gencatan senjata sama dengan menyerah kepada organisasi teroris. Per Minggu (28/10/23), korban jiwa di Palestina sudah melampaui 8000 orang.
Meski tekanan dari masyarakat global untuk menghentikan serangan di Gaza sudah bergaung, tapi Israel masih meluncurkan serangannya. Masyarakat pun banyak yang bertanya-tanya, ke mana Perserikatan Bangsa-Bangsa?
Yang Sudah Dilakukan PBB
Dalam Sidang Darurat PBB, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mendesak agar PBB segera mengambil tindakan untuk menghentikan kekerasan di Palestina. "Saya berdiri di sini bukan hanya sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia, tetapi juga sebagai seorang perempuan, seorang ibu, dan seorang nenek. Saya mohon, hentikan pembunuhan. Lindungi warga sipil. Izinkan bantuan kemanusiaan masuk," ujarnya dalam pidato di depan Majelis Umum PBB pada Kamis (26/10/23).
Sehari setelahnya, PBB menggelar sidang untuk memungut suara terkait gencatan senjata agar bantuan kemanusiaan bisa segera masuk ke Palestina. Dalam sidang itu, 193 anggota PBB memungut suara untuk memberlakukan resolusi yang telah disusun oleh 22 negara Arab. Hasilnya, 120 negara memilih "Ya", 14 negara memilih "Tidak", dan 45 negara abstain. Negara-negara yang menolak resolusi tersebut di antaranya adalah Israel, Amerika Serikat, serta beberapa negara Asia Pasifik yang menerima foreign aid dari AS seperti Fiji dan Papua Nugini.
Dinilai Lamban dan Gagal
Sayangnya, banyak yang menilai PBB lamban dalam mengambil tindakan, sebab pemungutan suara untuk gencatan senjata baru dilaksanakan setelah serangan terhadap Palestina berlangsung selama lebih dari 2 minggu. Tak hanya itu, PBB juga dinilai gagal dalam mencegah dan melindungi warga sipil dari pembunuhan massal yang terjadi selama puluhan tahun.
Kegagalan dari PBB ini bahkan membuat Craig Mokhiber, Direktur Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Mokhiber sendiri telah menginvestigasi pelanggaran HAM di Palestina sejak 1980 dan pernah tinggal di Gaza sebagai penasihat HAM pada 1990.
"Saya menulis ini saat dunia mengalami penderitaan yang amat besar, termasuk bagi banyak rekan kerja kita. Sekali lagi, kita menyaksikan genosida berlangsung di depan mata, dan organisasi yang kita layani tampaknya tak berdaya dalam menghentikannya," tulis Mokhiber dalam pernyataan tertulis yang ditujukan kepada Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sabtu (28/010/23).
Dalam pernyataan ini, Mokhiber mengatakan bahwa apa yang terjadi di Palestina adalah "textbook Genocide". Ia juga mengkritik pemerintah Amerika Serikat, Britania Raya, dan negara-negara Eropa yang terlibat dalam melanggengkan kekerasan ini, beserta media Barat yang terang-terangan menyebarkan propaganda untuk membenarkan kekejaman militer Israel. Namun dalam situasi ini, PBB gagal dalam memberikan sikap yang tegas dan mengambil sikap yang efektif.
Surat pernyataan ini ditutup dengan ajakan untuk berpihak pada keadilan dan bersolidaritas dengan warga Palestina. "Mata dunia tertuju pada peristiwa ini. Ini adalah momen krusial dalam sejarah, dan kita semua akan bertanggung jawab atas pilihan yang kita ambil di masa sekarang. Jadi mari berpihak pada keadilan."
(ANL/alm)