Ketika menstruasi, sanitasi sangat penting untuk dijaga agar terhindar dari masalah kesehatan reproduksi. Hal ini adalah pengetahuan dasar yang harus dipahami oleh para perempuan. Namun sayangnya, walau sudah paham dan tahu soal kesehatan reproduksi, akses untuk mendapatkan sanitasi masih sangat minim terutama di daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Akhirnya, mereka pun memilih jalan pintas untuk mendapatkan produk-produk kewanitaan dengan harga murah seperti membeli pembalut reject di toko daring. Ironisnya, pembalut reject ini dijual ber-bal-bal dengar harga yang sangat murah. Seorang pengguna media sosial X (Twitter) menyatakan bahwa pembalut reject ini dijual dalam kondisi yang tidak layak sehingga tidak bisa beredar di pasaran.
Menurut penelusuran CXO Media di salah satu toko daring, harga yang tertera untuk satu bal pembalut reject adalah mulai dari Rp15 ribu hingga Rp40 ribu. Kondisi ini pun memberikan fokus pada isu period poverty yang sebenarnya telah lama menjadi masalah, namun tidak mendapat sorotan. Ini membuktikan bahwa Indonesia pun tidak lepas dari minimnya akses soal kesehatan reproduksi dalam hal ini menstruasi.
Period Poverty yang Kian Marak
Dilansir CNN Indonesia, period poverty adalah isu global yang menggambarkan kurangnya akses perempuan terhadap sanitasi dan pendidikan tentang kebersihan saat menstruasi. Menurut data World Bank, kira-kira ada 500 juta orang di dunia tidak mempunyai akses terhadap produk-produk menstruasi dan fasilitas yang memadai untuk manajemen kebersihannya.
"Walau menstruasi adalah bagian dari kehidupan yang normal dan sehat bagi sebagian besar perempuan dan anak perempuan, tapi banyak masyarakat, pengalaman menstruasi masih dibatasi oleh pandangan tabu dari budaya dan norma di suatu negara yang diskriminatif," tulis World Bank.
Faktornya pun beragam, mulai dari mahalnya harga pembalut bagi orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan, tidak meratanya stok pembalut di berbagai daerah, hingga akses mendapatkan produk tersebut yang tidak terjangkau membuat perempuan-perempuan yang berada di wilayah terpencil atau berlatar belakang ekonomi rendah sulit mendapatkan pembalut, tisu toilet, dan popok anak.
Sebuah laporan yang ditulis oleh UNICEF berjudul Ameliorating Period Poverty in Indonesia, remaja perempuan di Indonesia kerap mempunyai akses yang buruk terhadap informasi komprehensif tentang menstruasi, material yang tepat untuk menangani pendarahan menstruasi, pasokan air bersih, fasilitas sanitasi, kebersihan, ditambah stigma budaya yang berbahaya.
Bukan hanya itu, remaja perempuan yang tinggal di daerah terpencil atau pedesaan akhirnya mencari alternatif produk untuk mengatasi kondisi ketika menstruasi. Mereka kadang menggunakan kain atau handuk, dedaunan, koran, kertas tisu, spons, dan yang sekarang sedang marak adalah menggunakan pembalut reject.
Situasi ini diperparah ketika tahun 2020 lalu, pemerintah menghapus produk pembalut dari komponen kebutuhan hidup layak (KHL) dan justru menggantinya dengan korek kuping.
Dampak Miskonsepsi Menstruasi
Masih tingginya stigma yang ada di masyarakat kita soal menstruasi membuat banyak remaja perempuan sulit untuk mendapatkan haknya. UNICEF Indonesia menemukan bahwa 25 persen remaja perempuan belum membicarakan menstruasi dengan siapa pun sebelum menstruasi pertama dan 17 persen tidak menyadari kalau menstruasi adalah hal yang normal terjadi ketika puber.
Salah satu tabu yang hingga hari ini masih dipercayai adalah 78 persen remaja perempuan dan para ibu mencuci pembalut sekali pakai dan membungkusnya dengan kantong plastik sebelum membuangnya. Darah menstruasi dianggap kotor dan berpendapat bahwa "pamali" kalau sampai orang tahu bahwa mereka sedang menstruasi.
Ini juga berdampak pada kebersihan dan kesehatan mereka selama menstruasi. Hanya dua dari tiga remaja perempuan di perkotaan dan kurang dari separuh anak perempuan di pedesaan mengganti pembalut setiap empat hingga delapan jam atau setiap kali pembalutnya kotor. Beberapa juga mengaku kalau mereka jarang mengganti pembalut ketika di sekolah atau di tempat umum karena malu.
Selain itu, harga pembalut yang mahal dan akses mendapatkannya yang sulit, membuat remaja perempuan memilih untuk "berhemat". Sehingga, ketika muncul produk alternatif seperti pembalut reject, mereka pun tidak enggan untuk membeli. Meskipun pembalut reject bukan barang yang sudah dipakai, tetapi tetap saja produk itu berpotensi menimbulkan masalah kesehatan.
Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit Pondok Indah, Muhammad Fadli, mengatakan bahwa barang reject artinya barang tersebut tidak layak pakai. Kemungkinan juga pembalut tersebut tidak lulus uji Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"BPOM seharusnya dan biasanya sudah mengatur itu [pembalut], kan. Jadi kemungkinan memang ada yang tidak lolos uji, misal soal kandungan kimianya," kata Fadli seperti dikutip CNN Indonesia.
Bila dikaitkan dengan kandungan kimia, pembalut reject bisa menimbulkan bahaya pada organ intim perempuan. Misalnya iritasi, gatal-gatal, ruam, dan infeksi di area kewanitaan. Bukan hanya itu, bisa saja pembalut reject merupakan barang yang tidak lolos uji, kadaluarsa atau tidak menutup kemungkinan bekas pakai orang yang dimanfaatkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab.
Sulitnya akses kesehatan reproduksi di Indonesia menjadi bukti bahwa pemerintah belum benar-benar menganggap isu ini sebagai sesuatu yang penting. Padahal, kesehatan reproduksi adalah hal dan hak kehidupan para perempuan agar terhindar dari berbagai penyakit berbahaya seperti infeksi menular seksual dan mencegah terjadinya infertilitas.
(DIR/alm)