Singapura yang dikenal sebagai salah satu kota termahal di dunia, ternyata juga menyandang status sebagai kota termahal untuk memiliki mobil. Berbeda dengan Indonesia yang mengobral low cost green car—yang bisa dibeli dengan harga di bawah Rp200 juta—Singapura justru mematok harga yang sangat tinggi bagi warganya yang ingin memiliki kendaraan pribadi, terutama kendaraan roda empat. Di sana, warga yang ingin memiliki kendaraan pribadi diwajibkan untuk memiliki sertifikat kepemilikan atau Certificate of Entitlement (COE) yang harganya cukup fantastis.
Baru-baru ini, harga COE di Singapura baru saja mencapai rekor tertinggi. Melansir CNN, harga sertifikat untuk mobil besar kategori B semacam SUV mencapai $106,630 atau setara dengan Rp1,6 miliar. Sementara itu untuk mobil kecil kategori A dengan kapasitas mesin 1600 cc ke bawah, harga sertifikatnya mencapai $76,000 atau setara dengan Rp1.2 miliar. Kemudian untuk kategori kendaraan roda dua, harga sertifikatnya $10,856 atau setara dengan Rp170 juta. Terakhir, yang termahal, harga sertifikat untuk kategori "Open" yang bisa digunakan untuk berbagai jenis kendaran roda empat naik menjadi $152,000 atau setara dengan Rp2,3 miliar.
COE berlaku selama 10 tahun, dan setiap 2 minggu sekali pemerintah menjual sertifikat tersebut dalam lelang terbuka. Oleh karena kuotanya terbatas, harganya pun bisa berubah-ubah sesuai dengan penawaran yang masuk. Ketika jumlah permintaannya meningkat tajam, tak menutup kemungkinan bahwa harga sertifikat ini bisa melampaui harga kendaraannya sendiri.
Singapura dengan Strategi Atasi Kemacetan
COE adalah salah satu strategi utama pemerintah Singapura dalam mengatasi kemacetan dan membangun kota yang berkelanjutan. Melansir Singapore National Library Board, kebijakan ini diperkenalkan pertama kali tahun 1990, ketika Komite Parlemen untuk Transportasi Darat mengusulkan pemberlakuan sistem pembatasan kuota kendaraan. Antara tahun 1975 sampai 1990, tercatat peningkatan volume kendaraan yang mencapai 12%. Pemerintah kemudian menyadari bahwa, dengan luas tanah Singapura yang kecil dan penduduknya yang padat, kapasitas jalan raya tak akan bisa menampung pertumbuhan kendaraan.
Kebijakan ini kemudian dievaluasi pada tahun 1998 dan dinilai efektif dalam menekan angka pertumbuhan kendaraan pribadi. Bahkan, pertumbuhan volume kendaraan pribadi bisa diredam hingga 3% per tahun. Dengan diberlakukannya sistem ini, pemerintah bisa secara aktif mengontrol volume kendaraan yang melintas di jalanan Singapura dan secara efektif mengatasi—bahkan mencegah—kemacetan.
Mobil Berkurang, Transportasi Umum Jadi Andalan
Mungkin harga COE yang melambung tinggi tak akan jadi masalah bagi miliarder Singapura, tapi angka ini memberatkan bagi warga kelas menengah yang rata-rata pendapatannya Rp800 juta per tahun. Bagi beberapa warga yang masih membutuhkan mobil untuk aktivitas sehari-hari, kenaikan harga COE bisa menjadi sumber masalah finansial. Tapi, tak sedikit juga warga yang mendukung kebijakan ini lantaran mereka masih memiliki alternatif untuk menggunakan transportasi umum.
Salah satu faktor penting yang mendukung keberhasilan kebijakan ini—dan mengapa kebijakan ini belum tentu berhasil jika diberlakukan di negara lain—adalah Singapura memiliki sistem transportasi umum yang bisa diandalkan. Pemerintah Singapura menaruh perhatian yang banyak untuk pembangunan transportasi umum. Bahkan, mereka mengalokasikan Rp690 triliun untuk memperbarui jaringan kereta selama 10 tahun ke depan.
Dengan adanya sistem transportasi umum yang efisien dan efektif, punya atau tidak punya mobil pun tidak terlalu menjadi masalah di Singapura. Pemberlakuan COE di Singapura adalah salah satu contoh kebijakan yang efektif dan tepat sasaran, yang mungkin bisa menjadi inspirasi bagi kota-kota lain dalam mengatasi kemacetan.
(ANL/tim)