Teknologi memang diciptakan manusia untuk mempermudah kehidupan. Namun siapa yang menyangka, kalau hadirnya teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), justru bergerak lebih cepat dari helaan napas manusia, dan mengancam sedikit demi sedikit sentuhan dari manusia itu sendiri?
Kabar terbaru soal AI yang problematik hadir dari sang empunya A Song of Ice and Fire (Game of Thrones), George R.R. Martin bersama total 17 orang penulis lainnya yang baru saja menggugat OpenAI, alias indukan dari program ChatGPT. Di bawah bendera Authors Guild, para penulis resmi membawa perseteruan ini ke pengadilan federal Manhattan, New York, Amerika Serikat pada 19 September lalu.
Asalnya, konfrontasi antara para pekerja kreatif, baik para penulis dan gabungan aktor Hollywood dengan teknologi super berbasis algoritma rekaan komputer, memang terus memanas sejak beberapa waktu terakhir. Namun, pusaran konflik bernuansa sci-fi di dunia yang nyata ini kian mengeruh, ketika George R.R Martin dkk. merekognisi aktivitas OpenAI yang terlampau cerdik mengakali kekaryaan mereka.
Salah satu contoh utamanya adalah aktivitas OpenAI yang memanfaatkan sejumlah tulisan terkenal sebagai modul pelatihan, sampai mengembangkan versi rekaan dari berbagai judul tulisan fiksi hingga non-fiksi, termasuk prekuel A Dawn of Direwolves yang didasari oleh A Song of Ice and Fire tanpa seizin sang penulis. Parahnya lagi, buku-buku buatan AI juga telah beredar luas di sejumlah situs perbelanjaan buku daring.
AI Melampaui Batas?
George R.R. Martin yang tergabung bersama penulis-penulis asal Amerika Serikat seperti, John Grisham, Jodi Picoult, hingga Jonathan Franzen, menyebut OpenAI telah melakukan pencurian sistematis berskala massal terhadap karya-karya mereka, tanpa seizin hukum. Mereka menuntut OpenAI untuk berhenti memanfaatkan buku-buku mereka sebagai model bahasa, sekaligus meminta ganti rugi hingga US$150 ribu per karya yang dilanggar.
"Penting bagi kita untuk menghentikan tindakan pencurian ini, atau kita akan merusak budaya sastra kita yang luar biasa yang menginspirasi banyak industri kreatif lain di Amerika Serikat," ungkap Mary Rasenberger, Presiden Authors Guild, pada laman resminya.
"Buku-buku bagus umunya ditulis oleh mereka yang menghabiskan karir dan hidupnya untuk terus mempelajari dan menyempurnakan keahlian mereka. Untuk melestarikan literatur kita, penulis harus memegang otoritas soal bagaimana karya mereka bisa digunakan oleh AI generatif," tambah Mary.
Di lain sisi, juru bicara OpenAI justru merespon bahwa perusahaan mereka menghargai hak-hak para penulis, dan memercayai bahwa mereka harus mendapat keuntungan dari teknologi AI, seperti dilansir oleh BBC.
"Kami ada dalam percakapan yang produktif dengan berbagai kreator dari seluruh dunia, termasuk Authors Guild, untuk mengerti lebih lanjut dan mendiskusikan keresahan mereka tentang AI. Kami optimis bisa menemukan cara-cara untuk bekerja bersama serta membantu orang menggunakan teknologi baru ini di ekosistem yang kaya akan konten dengan menguntungkan semua pihak."
Dengan berkembangnya kasus ini, bola panas antara para penulis dengan pengembang AI resmi memasuki babak terbaru; di mana jembatan teknologi yang awalnya diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia, malah berpotensi menyulitkan hajat hidup manusia itu sendiri-yang sudah terlarut di tengah dunia penuh kecerdasan artifisial dan jebakan algoritma.
(cxo/alm)