Pernyataan Lily-Rose Depp tahun lalu yang enggan disebut sebagai nepo baby membuat orang-orang semakin kritis terhadap nama-nama besar di industri hiburan. Percakapan mengenai kerja keras dan privilese pun naik ke permukaan. Tapi selain para selebriti berdarah biru, masih ada banyak nepo baby yang kehadirannya tidak kita pertanyakan, salah satunya yaitu mereka yang bergelut di dunia politik. Kehadiran nepo baby di dunia politik dianggap sebagai suatu kewajaran, karena memang sudah semaklumnya anak-anak politisi mengikuti jejak orang tua mereka.
Sebenarnya, para aktivis demokrasi sudah banyak yang mewanti-wanti agar kita lebih kritis terhadap nepo baby di dunia politik, hanya saja mereka menggunakan istilah yang mungkin kurang familiar di telinga anak muda, yaitu dinasti politik. Ketika Kaesang Pangarep menyatakan ketertarikannya untuk menjadi Wali Kota Depok, tudingan mengenai dinasti politik Jokowi ramai dibicarakan. Selama menjabat sebagai presiden, beberapa orang terdekat Jokowi memang berhasil meraih posisi yang strategis dalam bidang politik. Putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming, berhasil mengikuti jejak ayahnya menjadi Wali Kota Solo. Kemudian menantu Jokowi, Bobby Nasution, berhasil menjadi Wali Kota Medan.
Dinasti politik adalah kondisi ketika beberapa anggota dari keluarga yang sama berhasil menempati jabatan sebagai pejabat legislatif dan atau eksekutif melalui proses elektoral. Ada 2 bentuk dinasti politik yaitu continuation dan expansion. Continuation adalah ketika jabatan yang sama diteruskan oleh anggota keluarga yang lainnya, sementara expansion adalah ketika beberapa anggota keluarga mengisi jabatan yang berbeda di waktu yang bersamaan.
Dinasti politik bukanlah hal baru dalam dunia perpolitikan. Beberapa yang paling terkenal ialah Presiden Amerika Serikat George W. Bush (anak dari Presiden George HW Bush), Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (anak dari Perdana Menteri Lee Kuan Yew), dan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau (anak dari Perdana Menteri Pierre Trudeau). Kemudian di Indonesia, tentu saja ada Megawati Soekarnoputri, putri dari Soekarno yang merupakan Presiden RI pertama.
Mereka semua dipilih secara demokratis, dan oleh karena itu sah-sah saja apabila mereka pernah menduduki kursi jabatan tersebut. Lagipula, mengikuti jejak karir orang tua bukanlah sesuatu yang ganjil dan di luar nalar. Jadi, mengapa kita harus lebih kritis terhadap dinasti politik? Setidaknya, ada 3 konsekuensi yang mungkin timbul dari dinasti politik.
Monopoli Kekuasaan
Pasca Orde Baru, pemerintahan tidak lagi dijalankan secara terpusat. Kekuasaan tidak lagi dipegang oleh keluarga Soekarno dan kroni-kroninya, dan setiap daerah dipimpin oleh seorang kepala daerah yang dipilih oleh warga sendiri. Tapi, adanya dinasti politik berpotensi mengembalikan sistem kekuasaan terpusat-meski secara lebih implisit. Sebab, kekuasaan di suatu daerah atau di beberapa daerah dipegang oleh segelintir orang dari keluarga yang sama.
Menurut Yoes C. Kenawas (2015) dalam kajian berjudul The Rise of Political Dynasties in a Democratic Society yang diterbitkan Northwestern University, kesuksesan dinasti politik bergantung pada dua hal yaitu koneksi yang berhasil dibangun dan jumlah kekayaan yang berhasil diakumulasi. Dua hal ini merupakan penentu bagi sebuah dinasti untuk mempertahankan kekuasaannya dan merupakan modal yang kuat bagi para nepo baby untuk menguasai medan kompetisi dalam memperebutkan jabatan politik. Kenawas mengatakan bahwa hal ini menyebabkan adanya "uneven playing field". Walhasil, calon-calon lain yang tidak berasal dari dinasti tidak memiliki kesempatan yang sama untuk bisa berhasil.
Korupsi dan Nepotisme
Politisi Inggris abad ke-19, Lord Acton, pernah mengatakan bahwa "absolute power corrupts absolutely". Artinya, semakin absolut kekuasaannya, semakin besar potensi korupsinya. Memang, tidak semua dinasti politik terbukti melakukan korupsi. Beberapa, seperti Lee Hsien Loong, bahkan terbukti bisa memajukan negaranya. Namun, ketika kekuasaan itu menjadi begitu besar dan melibatkan berbagai anggota keluarga, kecurigaan mengenai adanya korupsi dan nepotisme menjadi tak terhindarkan.
Kasus korupsi Gubernur Banten, Ratu Atut, adalah salah satu contohnya. Selama bertahun-tahun, dinasti Ratu Atut menguasai Banten. Tidak tanggung-tanggung, 10 orang dari keluarga besar Ratu Atut menjabat sebagai pejabat publik, mulai dari wali kota, bupati, hingga anggota DPRD. Namun pada 2013, Ratu Atut menjadi tersangka korupsi atas sengketa Pemilihan Kepala Daerah Lebak. Adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan juga menjadi tersangka korupsi. Meski tidak punya jabatan resmi di pemerintahan, Wawan yang merupakan suami dari Airin Rachmi—Walikota Tangerang Selatan—disebut terlibat dalam berbagai proyek pembangunan di Banten.
Memperparah Kesenjangan
Selain kesenjangan di bidang politik, dinasti politik juga bisa memperparah kesenjangan ekonomi. Menurut Centre for Economic Policy Research, studi menunjukkan bahwa di Filipina—negara yang juga dikuasai oleh dinasti politik—80% pejabat legislasi yang berasal dari dinasti mengalami peningkatan kekayaan sejak mereka menjabat. Selain itu, dinasti politik di Filipina cenderung mendominasi perpolitikan di daerah yang tingkat kemiskinannya tinggi.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, penelitian Sujarwoto (2015) dari Universitas Brawijaya menemukan bahwa penduduk kota atau kabupaten yang dikuasai dinasti politik lebih miskin ketimbang penduduk yang tinggal di kota atau kabupaten yang tidak dikuasai dinasti politik. Bahkan, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa dinasti politik buruk untuk penanggulangan kemiskinan. Pasalnya, sumberdaya suatu daerah hanya dikuasai oleh segelintir elite dan digunakan untuk kepentingan dinasti mereka sendiri.
Semangat demokrasi sejatinya berlawanan dengan kekuasaan terpusat yang diwariskan, seperti yang terjadi pada sistem pemerintahan feodalisme ataupun otoritarianisme. Namun, keberadaan dinasti politik memungkinkan kekuasaan absolut untuk tetap hadir dalam sistem demokrasi. Memang, tidak semua nepo baby politik di Indonesia merupakan perpanjangan tangan dari dinasti politik yang korup. Beberapa dari mereka mungkin benar-benar tulus ingin berkarir di politik, apalagi sejak kecil memang mereka sudah familiar dengan dunia tersebut.
Tapi, kita harus tetap cerdas dan kritis dalam merespons kehadiran mereka. Sebab, politisi adalah profesi yang mempengaruhi hajat hidup banyak orang. Ketika pilkada atau pemilu tiba, kita harus bertanya: apakah mereka layak dipilih karena rekam jejaknya gemilang atau karena nama keluarga mereka familiar di telinga?
(ANL/alm)