Baru-baru ini content creator Alshad Ahmad ramai diperbincangkan karena kematian Cenora, bayi harimau benggala yang dipeliharanya. Kematian Cenora diunggah ke dalam konten Instagram oleh Alshad sendiri, yang lalu diikuti dengan pertanyaan dari rapper Tuan Tigabelas, "Jikalau boleh bertanya, dari awal mulai memelihara harimau, sudah berapa ekor yang mati di bawah pengawasan bro alshad?" Ternyata, termasuk Cenora, sudah ada 7 anak harimau benggala yang mati dalam pengawasannya. Keenam anak harimau itu mati akibat lahir prematur, sedangkan penyebab kematian Cenora masih diselidiki.
Harimau peliharaan Alshad memang sudah berkali-kali memancing perdebatan mengenai peliharaan satwa liar. Namun kematian Cenora akhirnya mendorong banyak aktivis lingkungan dan pakar konservasi untuk semakin vokal dalam mengedukasi publik, salah satunya yaitu WWF Indonesia yang dengan tegas mengatakan bahwa satwa liar bukan hewan peliharaan.
Salah seorang wildlife biologist yang bekerja sebagai asisten direktur Center for Orangutan Protection yaitu @indiratendi juga membuat thread melalui akun Twitter-nya. Ia menjelaskan bahwa harimau yang sedang hamil sebaiknya dititipkan dulu ke lembaga konservasi yang memiliki pengalaman dalam breeding harimau, bukan justru malah diajak main dan dijadikan konten.
Meski para aktivis lingkungan dan pakar konservasi sudah buka suara, tapi masih banyak juga yang membela Alshad. Salah satu netizen bahkan menghina Indira dengan menyebutkan kata "goblok". Mereka semua kompak membela Alshad dengan dalih bahwa Alshad sudah mengantongi izin untuk memelihara harimau dan Alshad tidak bersalah atas kematian bayi harimau yang dipeliharanya. Tersinggung dengan perkataan tersebut, Indira akhirnya menjelaskan bahwa dirinya sudah 9 tahun berkecimpung di bidang konservasi satwa liar.
Komentar netizen yang membela Alshad adalah bukti lain dari fenomena arogansi pengguna media sosial yang hanya mau berkomentar tapi tidak mau mendengar. Tapi, benarkah kepakaran telah mati? Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya kepakaran menjadi sesuatu yang banal di era internet. Di TikTok, misalnya, semua orang mendadak menjadi pakar kesehatan mental, pengelolaan keuangan, dan lainnya. Pada dasarnya, di internet siapapun bisa menjadi expert tanpa harus memiliki skill dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mendapat gelar sebagai expert.
Dalam buku yang berjudul The Death of Expertise (2017), Tom Nichols memperingatkan matinya kepakaran yang disebabkan oleh berbagai faktor. "These are dangerous times. Never have so many people had access to so much knowledge, and yet so resistant to learning anything," tulisnya. Menurut Nichols, salah satu penyebabnya adalah media sosial yang cenderung berfungsi sebagai echo chamber, di mana semua orang tenggelam dalam bubble informasi yang bias tanpa ada keinginan untuk mendengar perspektif lain yang mungkin berseberangan dengan yang mereka percayai.
Namun, menurut Nichols matinya kepakaran juga disebabkan oleh para pakar, di mana para akademisi seringkali asyik sendiri dengan jargon-jargon ilmiah mereka. Sehingga, ada jarak antara para pakar dengan publik secara luas. Bagaimana publik mau peduli dengan apa yang disampaikan oleh para pakar, ketika apa yang mereka sampaikan saja sulit untuk dicerna? Mungkin matinya kepakaran adalah sebuah fenomena yang tidak terhindarkan. Tapi, pengguna media sosial juga seharusnya bisa lebih bijak dalam menyikapi sebuah informasi, agar kita tidak melulu terjebak dalam echo chamber yang bias.
(ANL/alm)