Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia sepertinya semakin kreatif menggunakan media sosialnya. Terlihat dari maraknya konten-konten video parodi 'jasa keliling' yang terinspirasi dari salah satu sinetron di televisi swasta. Mulai dari konten yang lucu hingga konten video parodi 'jasa keliling' tak masuk akal pun menjadi viral.
Sayangnya, sepertinya para content creator ini lupa bahwa konten yang diparodikannya mengutip logo televisi swasta dan sebagian besar tidak memiliki izin untuk menggunakannya. Sontak perusahaan televisi tersebut akhirnya mengeluarkan statement yang cukup mengejutkan berbagai pihak—tak terkecuali para content creator yang ikut memparodikannya.
Dikutip dari unggahan Instagram perusahaan televisi swasta itu, mereka pun akan menempuh jalur hukum bagi para content creator yang memparodikan program mereka disertai logo tanpa izin.
"Sehubungan dengan maraknya penggunaan tanpa izin dan penyalahgunaan logo dan program Indosiar di berbagai sosial media, dengan ini diumumkan bahwa logo simbol, motto, dan program (termasuk tetapi tidak terbatas pada judul, nama peran, cuplikan program) dan semua hak untuk menggunakannya adalah milik eksklusif Indosiar," tulis unggahan tersebut.
"Indosiar melarang setiap penggunaan hak kekayaan intelektual milik Indosiar tanpa izin sebelumnya, baik untuk kepentingan pribadi maupun dipublikasikan di berbagai media termasuk sosial media. Dalam hal masih ditemukan pelanggaran, Indosiar akan menempuh jalur hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Usai pihak televisi mengeluarkan statement tersebut, para netizen pun memberikan komentar yang beragam. Mulai dari merasa kecewa karena pihak televisi terlalu sensitif, hingga ada yang membela karena tindakan pihak televisi sudah benar dengan melindungi karya ciptanya dari jiplakan dan lain sebagainya.
"Ente yang bikin konten nyeleneh, ente pula yang marah ketika diparodikan", tulis pengguna @zidanbonteee_
"Min kalau boleh saran kurangin sinetron2 yang di luar nalar, buktinya diparodiin kan sama yang nonton termasuk yang gak nonton juga", tulis @nanang777
"Kalo ini masalah copyright ya indosiar ada benernya juga. Logo itu kan trademark mereka dan kalo mau bikin parody ya logonya juga diparodykan aja gak full copas logo mereka. Di sini indosiar gak salah karena dia cuma menyatakan kalo penggunaan logo mereka yang sembarangan itu salah. Masalah kayak gini tuh harusnya pengetahuan umum buat kalian, apalagi jika di sini ada konten kreator pasti harusnya kalian paham soal trademark logo dan copyright", papar @gavinoelias
Sebenarnya hampir sebagian besar komentar di Instagram televisi swasta tersebut berisikan keluhan masyarakat mengenai pembatasan tentang konten yang mereka parodikan. Meski memparodikan sesuatu memang menyenangkan dan siapapun yang kreatif akan mendapatkan exposure-nya, tapi sebenarnya seperti apa adab dan batasan memparodikan sesuatu?
Pahami Ketentuannya Sebelum Memparodikan
Pada dasarnya, parodi adalah karya baru yang menggunakan bagian karya lama untuk mengomentari atau mengkritik karya lama yang sama, dan biasanya dengan cara yang jenaka sehingga menimbulkan tawa yang melihatnya. Namun para kreator yang membuat sebuah konten parodi harus memahami, bahwa ada ketentuan untuk menciptakan karya baru dengan unsur parodi ini.
Salah satunya adalah pembatasan hak cipta atau doktrin fair use. Dikutip dari jurnal yang berjudul Konten Video Parodi pada Platform Digital dalam Perspektif Perlindungan Hak Cipta dan Doktrin Fair Use, ditulis oleh Shafira Shava Rahmanissa, Sudjana, dan Sudaryat dari Universitas Padjajaran, fair use dalam Undang-undang Hak Cipta (UUHC) mengatur mengenai sesuatu perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.
Hal-hal yang termasuk fair use antara lain seperti pendidikan, penelitian, dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini termasuk untuk ceramah, pengembangan program komputer, penyusunan laporan, berita, artikel, dan ciptaan sejenis yang disampaikan ke publik; penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; penggunaan pemerintah; perpustakaan atau lembaga arsip; fasilitas akses bagi tuna netra; karya arsitektur; pertunjukan atau pementasan gratis; pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi komunikasi; atau transmisi ciptaan.
Tapi terkait dengan konten video parodi pada platform digital diatur pada Pasal 43 huruf d UUHC mengatur secara khusus mengenai fair use terhadap konten hak cipta di media teknologi informasi dan komunikasi. Sebab, konten video parodi diunggah di platform digital, maka secara yuridis normatif bisa mengacu pada ketentuan pasal ini.
Bunyinya, "Perbuatan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta meliputi pembuatan dan penyebarluasan konten hak cipta melalui media teknologi informasi dan komunikasi yang bersifat tidak komersial dan/atau menguntungkan pencipta atau pihak terkait atau pencipta tersebut menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan tersebut."
Ada tiga ketentuan yang harus terpenuhi dalam sebuah konten video parodi jika ingin tidak mendapatkan pelanggaran hak cipta. Seperti; tidak bersifat komersial alias tidak bertujuan untuk mengambil keuntungan finansial; harus menguntungkan pencipta atau pihak terkait dari karya aslinya, misalnya exposure yang positif; dan penciptanya menyatakan tidak keberatan atas pembuatan dan penyebarluasan konten parodi ini.
Selain itu, fair use dalam UUHC juga memperkenalkan orang lain untuk membuat karya hasil pengubahan atau modifikasi dari karya orang lain yang bersifat substansial. Ketentuan ini tertulis pada Pasal 44 Ayat(1) huruf a yang menyatakan,
"Perbuatan penggunaan, pengambilan penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta."
Nah berbeda dari pasal sebelumnya yang bersifat alternatif, kalau Pasal 44 ini bersifat kumulatif alias kamu harus memenuhi seluruh ketentuan agar tidak melanggar copyright. Mulai dari menyebutkan sumber karya asli yang diparodikan secara lengkap, tujuan konten parodi untuk pendidikan, penulisan kritik atau tinjauan masalah, dan yang terpenting adalah tidak merugikan pencipta atau pemegang hak cipta karya asli yang diparodikan.
Meskipun kehadiran parodi sebenarnya dapat meningkatkan exposure dari program tersebut bahkan artis yang memerankannya, namun yang terjadi adalah kritik berlebihan dan kurangnya pemahaman ketentuan dalam pembuatan video parodi yang sesuai perundang-undangan.
Jangan lupakan bahwa kreativitas kita memang tidak terbatasi secara imajinasi, tetapi secara hukum ada hal-hal yang harus dibatasi. Bukan untuk membungkam sisi kreatif, melainkan mengatur agar tidak kebablasan dan membuat kita belajar untuk lebih bijak dalam berkarya.
(DIR/tim)