Akhir pekan lalu, saya sempat melihat beberapa video di TikTok tentang anak-anak muda yang tengah diwawancarai. Salah satu pertanyaannya adalah apakah mereka tahu tentang salah satu sila dari Pancasila. Ironis, jawaban beberapa dari mereka hampir benar, alias tahu silanya tapi salah ketika menyebutkan isinya.
Hal ini membuat saya berpikir, apakah generasi sekarang ini benar-benar apatis tentang pengetahuan umum yang paling dasar ini? Padahal dalam sejarahnya, Pancasila adalah buah pemikiran anak-anak muda zaman sebelum kemerdekaan yang memiliki mimpi mempunyai negara yang berdaulat.
Namun yang terjadi saat ini adalah orang-orang hanya tahu tentang silanya, tentang penjabaran apa itu sila pertama hingga kelima, tapi mereka sendiri tidak memahami. Bahkan ada pertanyaan, apakah Pancasila yang sudah dijalankan selama hampir satu abad ini masih relevan dengan kondisi negara saat ini?
Saya sebagai warga negara pun masih terus belajar tentang dasar negara ini. Saya juga bukan orang yang suka berpolitik, namun setidaknya sebagai pengetahuan dasar, tak ada salahnya kita memahami lebih dalam konsep Pancasila itu sendiri dalam setiap sila-silanya.
Memahami Konsep Pancasila di Tiap Silanya
Mengutip buku Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan yang ditulis oleh Yudi Latif, setiap sila yang ada dalam Pancasila mengandung kerangka teoritis-konseptual. Simak di bawah ini.
1. Sila Pertama
Dalam sila pertama mengonseptualisasikan bahwa nilai-nilai ketuhanan sebagai sumber etika dan spiritualitas dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara. Indonesia bukanlah negara sekular yang ekstrem, yang memisahkan antara 'agama' dan 'negara'. Indonesia juga bukan 'negara agama' yang hanya mewakili salah satu unsur agama dan memungkinkan agama untuk mendikte negara.
Sebagai negara yang multiagama dan multikeyakinan, kita harus memahami bahwa kita harus mengambil jarak yang sama terhadap semua agama/keyakinan, melindungi semua agama/keyakinan, dan mengembangkan politik secara independen tanpa embel-embel agama. Jadi intinya, peran agama dan negara tidak perlu dipisahkan, tetapi harus dibedakan. Dengan syarat sama-sama saling mengerti batas otoritas masing-masing.
2. Sila Kedua
Pada sila kedua, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, alam, dan sifat-sifat sosial manusia dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Komitmen untuk menjunjung tinggi kemanusiaan universal (humanity) yang adil dan beradap mengandung implikasi ganda.
Di satu sisi, Sukarno pernah mengatakan, "Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, melainkan kebangsaan yang menuju kepada kekeluargaan bangsa-bangsa (internasionalisme)". Di sisi lainnya, nilai kemanusiaan yang universal itu harus didialogkan dengan khazanah kearifan lokal, visi global harus dipadukan dengan budaya lokal.
3. Sila Ketiga
Dalam konseptualisasi sila ketiga, aktualisasi nilai-nilai etis kemanusiaan lebih dulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan, lebih dekat sebelum menjangkau yang lebih jauh. Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan.
Sebagai konsekuensi dari prinsip persatuan dan keragaman ini, sila ketiga juga menjadi pemandu bagi pembentukan etos nasionalisme kewargaan (civic nationalism). Inilah yang dimaksud Sukarno sebagai sosio-nasionalisme di mana kebangsaan kita dibangun demi perbaikan masyarakat berkelanjutan.
Adapun prinsip setiap warga negara ada tiga yakni menjadi konstitusi panduan hidup bersama demi kebaikan hidup berbangsa dan bernegara. Selain itu, kita harus memahami bahwa konstitusi itu tidak bertentangan dengan agama apapun. Lalu kedua, menempatkan semua orang sebagai warga negara yang setara-memiliki hak-hak konstitusional yang sama. Dan, ketiga, nasionalisme semestinya mendorong warga negara aktif untuk terlibat dalam kehidupan berbangsa.
4. Sila Keempat
Pada sila keempat, nilai-nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan dan nilai kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
Dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas atau kekuatan minoritas. Demokrasi Pancasila hendak merealisasikan cita permusyawaratan dan cita hikmat-kebijaksanaan.
5. Sila Kelima
Sila kelima mengonseptualisasikan bahwa nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai kebangsaan, dan nilai kerakyatan itu diperoleh dari perwujudan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis keempat sila lainnya.
Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila yang dikehendaki adalah kesembangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, keseimbangan antara peran manusia sebagai makhluk individu dan peran manusia sebagai makhluk sosial, juga keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik, dengan hak ekonomi sosial dan budaya.
Kesimpulannya adalah sila pertama, kedua, dan ketiga menjadi dasar bagi fundamen mental-karakter masyarakat yang religius berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah, tidak memuja materialisme-hedonisme, serta menjalin persatuan dengan semangat pelayanan.
Sementara sila kelima menjadi dasar bagi pembentukan fundamen perekonomian merdeka yang berkeadilan dan berkemakmuran, berlandaskan usaha tolong-menolong, menekankan penguasaan negara atas sektor strategis, dengan memberi peluang bagi hak milik individu dengan fungsi sosial.
Sedangkan sila keempat menjadi dasar bagi tata kelola kelembagaan sosial-politik melalui negara hukum dalam sistematik kekeluargaan, melalui demokrasi permusyawaratan yang berorientasi persatuan, dan keadilan.
Nah, sekarang sudah tahukan konsep sesungguhnya Pancasila diciptakan oleh para pendiri bangsa ini. Pancasila bukanlah sekadar dasar negara yang terdiri dari lima sila, namun pemikirannya lebih dalam dari itu. Bagi kita anak-anak muda, sudah semestinya kita mengenal seperti apa negara yang kita tinggali ini.
(DIR/tim)