Beberapa hari yang lalu, sebuah video TikTok diviralkan oleh akun @JogjaVibes di Twitter dengan headline bombastis: "Kasus Intoleransi di Candi Ijo: Petugas Tak Paham Sejarah Candi, Umat Hindu Dilarang Bersembahyang". Video yang awalnya diunggah di TikTok oleh pengguna bernama @zanzabella itu berisi kemarahan yang bersangkutan akibat niat ibadahnya di Candi Ijo dilarang oleh petugas keamanan. Zanzabella menganggap hal itu disebabkan oleh ketidaktahuan petugas keamanan mengenai sejarah Candi Ijo yang bercorak Hindu, dan oleh karenanya, seharusnya umat Hindu boleh melaksanakan ibadah di sana.
Unggahan akun Jogja Vibes membuat video ramai dibicarakan di Twitter dan mendapat tanggapan yang beragam dari netizen. Menariknya, berbeda dengan komentar di TikTok yang secara seragam bernada simpati, di Twitter justru bermunculan komentar negatif yang menyanggah Zanzabella. Komentar negatif ini datang dari sesama umat Hindu, yang mengatakan bahwa tidak semua candi bisa digunakan untuk sembahyang.
Candi Ijo: Monumen Hidup dan Monumen Mati
Selain itu, muncul juga sanggahan dari peneliti arkeologi BRIN, Harry Sofian. Ia mengatakan bahwa dalam perspektif arkeologi, monumen terbagi menjadi dua jenis yaitu living monument (monumen hidup) dan dead monument (monumen mati). Candi Ijo merupakan monumen mati, yaitu monumen yang dibangun pada masa lampau dan sudah ditinggalkan oleh masyarakat. Sehingga, dead monument sudah tidak berfungsi lagi dalam sistem sosio-kultural masyarakat saat ini.
Hal ini berbeda dengan monumen hidup, yaitu monumen yang dari awal dibangun hingga sekarang masih digunakan oleh masyarakat. Sofian memberi contoh, pura-pura di Bali tergolong sebagai monumen hidup karena hingga sekarang masih digunakan untuk beribadah oleh umat Hindu. Hal ini juga pernah ditulis oleh arkeolog Universitas Udayana, I Nyoman Wardi, yang meneliti pengelolaan monumen hidup di Bali. Dalam artikel jurnal tersebut, ia mengatakan bahwa bangunan purbakala yang ditemukan di Bali kebanyakan bernuansa religi, dan masih dipelihara serta digunakan oleh masyarakat.
Monumen Bisa Digunakan dengan Izin Pemerintah
Klasifikasi antara monumen hidup dan monumen mati juga tercantum dalam UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Menurut UU tersebut, ada banyak peninggalan bersejarah yang ketika ditemukan, sudah tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Namun bukan berarti monumen mati tidak bisa diberi fungsi baru dan digunakan kembali. Monumen mati bisa saja digunakan, namun harus sesuai dengan aturan yang ada.
Salah satu contoh monumen mati yang dimanfaatkan kembali adalah Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Kedua candi bercorak Hindu dan Buddha ini telah menjadi destinasi wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pada Februari 2022, Candi Prambanan dan Candi Borobudur disepakati untuk menjadi pusat ibadah bagi umat Hindu dan umat Buddha sedunia.
Kesepakatan ini diraih atas persetujuan berbagai pihak, di antaranya Kementerian Agama, Gubernur DIY, Gubernur Jawa Tengah, serta tokoh agama umat Hindu. Selain kedua candi tersebut, Candi Pawon dan Candi Mendut yang bercorak Buddha juga ditetapkan sebagai tempat beribadah. Setelah adanya kesepakatan ini, umat Hindu dan Buddha yang datang secara perorangan atau di bawah 5 orang bisa beribadah di candi-candi tersebut tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.
Dalam kasus seperti Candi Ijo, monumen tersebut sudah menjadi tempat wisata yang dikelola oleh pemerintah. Sehingga, masyarakat yang ingin beribadah atau mengadakan upacara keagamaan harus mengajukan permohonan izin terlebih dahulu kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan mengirim surel serta persyaratan dokumen. Izin bisa diajukan untuk kategori perorangan atau kategori kelompok tanpa ada pungutan biaya.
Penjelasan mengenai monumen hidup dan monumen mati menunjukkan bahwa kasus yang terjadi di Candi Ijo bukanlah perihal intoleransi, melainkan perihal aturan pemanfaatan cagar budaya yang belum tersosialisasikan dengan baik. Apabila dipahami dengan baik, sebenarnya tidak ada larangan bagi siapapun untuk beribadah di cagar budaya. Hanya saja, aturan yang berlaku harus tetap diikuti agar monumen bersejarah bisa tetap dipelihara dan digunakan sebaik-baiknya.
(ANL/alm)