Nama The Land of Khmer alias Kamboja mendadak jadi primadona mesin telusur. Faktor utamanya, tentu, karena negara tempat Angkor Wat berada tersebut tengah menghelat ajang Southeast Asian Games (SEA Games) ke-32 di tahun 2023, dari tanggal 5 sampai 17 Mei mendatang. Sebagai tuan rumah sports multievent dua tahunan untuk negara di Semenanjung Asia Tenggara, eksposur yang besar memang pantas dituai Kamboja.
Walau demikian, arus pemberitaan mengenai Kamboja—yang pertama kali menjabat host karena sempat undur diri pada tahun 1963 karena alasan politik dalam negeri—malah mendapat impresi yang cenderung negatif. Paling tidak, hal ini bisa dilihat dari beberapa unggahan video di media sosial, yang memperlihatkan ketidaksiapan Kamboja sebagai penyelenggara.
Sebut saja video-video viral mengenai sarana dan prasarana yang kurang proper. Mulai dari ruang ganti pemain sepakbola yang menggunakan "bangku kondangan", pencahayaan di venue yang hanya menggunakan sorot lampu mobil, blunder pengibaran bendera Merah-Putih yang (lagi-lagi) terbalik, hingga kamar tidur Atlet Nasional yang mengalami kebocoran. Belum lagi, adanya indikasi kecurangan, aturan yang aneh, serta kebijakan eksentrik Kamboja dalam mengikuti rangkaian kompetisi, kian memperparah keadaan.
Kapitalisasi berkedok sportivitas dan hubungan multilateral
Temuan-temuan yang disebut di atas jelas membuat banyak orang menggelengkan kepala. Tak pelak, beberapa pertanyaan mendasar soal kesiapan Kamboja dalam menggelar SEA Games ikut naik ke permukaan. Lebih jauh lagi, landasan filosofis soal penyelenggaraan multisport event bienial di Asia Tenggara juga patut dipertanyakan kembali. Misalnya, "apakah tujuan awal SEA Games masih relevan hingga sekarang?" lalu "seberapa penting hajat multiolahraga antarnegara Asia Tenggara dihelat setiap dua tahun sekali?" sampai "apakah penyelenggaraan SEA Games benar-benar memiliki dampak signifikan terhadap kualitas olahraga dari negara-negara peserta?"
Jika ditelusuri, jejak awal penyelenggaraan sports multievent di Asia Tenggara berangkat dari inisiasi empat negara Semenanjung Indocina (Thailand, Malaysia, Laos, dan Myanmar) pada pertengahan dekade 1950an. Menggunakan nama SEAP (Southeast Asian Peninsula) Games, 7 negara peserta (4 negara inisiator + Kamboja, Vietnam dan Singapura) menjalankan debut di Bangkok, Thailand pada tahun 1959.
Meski begitu, sejarah perjalanan ajang inagurasi regional ini tidak berjalan mulus karena terdapat beberapa permasalahan. Salah satunya adalah ketidaksiapan beberapa negara peserta (Kamboja, Laos, dan Vietnam) saat kebagian jatah menjadi host sesuai runut alfabetis. Untuk itu, SEAP Games lanjut dikembangkan menjadi SEA Games tahun 1977 dengan mengajak tiga negara sisa di perkumpulan ASEAN (Indonesia, Filipina, dan Brunei)—walaupun sampai saat ini SEA Games dan ASEAN sendiri tidak terafiliasi secara langsung.
Perluasan SEAP Games menjadi SEA Games ini juga mempertimbangkan kiprah cemerlang Indonesia dan Filipina di kancah olahraga global. Satu hal yang ironisnya berlawanan dengan alasan mengapa Indonesia dan Filipina tidak diajak sedari awal: dianggap punya kekuatan olahraga lebih baik daripada 4 inisiator SEAP Games, dan disebut berada di luar kawasan Peninsula.
Pada titik ini, niat luhur SEA Games: memupuk komunikasi multilateral yang lebih baik, sebenarnya sudah bisa disebut klise. Sebab faktanya, ASEAN dan konferensinya yang turut diikuti seluruh negara peserta juga telah berjalan sejak tahun 1967. Sementara lain, esensi atletis dari SEA Games itu sendiri justru dianggap teredam. Kasarnya bisa dilihat dari pencapaian negara-negara Asia Tenggara di kompetisi Olimpik Global, sementara nilai sportivitas tercoreng berulang-ulang dengan adanya kasus kecurangan di hampir setiap edisi. Pun sebenarnya, penyaduran nilai "imperialisme" ke terma "nasionalisme" negara-negara dunia ketiga menjadikan SEA Games terasa agak janggal diselenggarakan.
Tidak henti di sana, tampak lain penyelenggaraan SEA Games juga berada di jalur penuh kritik, dengan pola yang bisa dibilang serupa. Perkara ini berada di pusara perilaku yang korup, berunsur politisasi olahraga sistemik, hingga mengerucut pada semangat kapitalisme, sebagaimana yang diungkapkan Bonn Juego dalam artikelnya untuk hbs Southeast Asia. Hal ini belum termasuk alokasi fantastis untuk penyelenggaraan SEA Games, seperti membangun infrastruktur dan lain sebagainya.
Perihal anggaran SEA Games sendiri tercatat mengalami penanjakan di setiap penyelenggaraan. Pada tahun 2023 ini saja, Khmer Times melaporkan bahwa Kamboja menghabiskan $200 juta atau setara Rp 2,9 triliun untuk SEA Games dan ASEAN Para Games 2023. Suatu penanjakan empat kali lipat dari SEA Games Vietnam tahun 2021 lalu (Rp 1,1 triliun), bahkan melewati anggaran mewah SEA Games di Indonesia (Rp2,1 triliun) tahun 2011 silam.
Sudah tidak relevan?
Tak ubahnya kasus-kasus terdahulu, SEA Games Kamboja tahun 2023 ini juga kembali mengindikasikan "borok" menahun dari ajang olahraga terbesar se-Asia Tenggara. The Diplomat bahkan menggugat relevansi penyelenggaraan event SEA Games dengan keras. Di samping itu, jurnalis Thailand, Pattharapong Rattanasevee, juga mengungkap bahwa SEA Games yang mulanya menjadi wadah kerja sama di Asia Tenggara kini lebih berfungsi sebagai "tambang medali bagi negara tuan rumah."
Hal yang terakhir disebut berkenaan dengan kebijakan masing-masing tuan rumah SEA Games, yang gemar memodifikasi permainan demi pendulangan medali maksimal, di mana sisi tuan rumah lebih tinggi persentasenya untuk keluar sebagai juara umum. Salah satu contohnya adalah yang dilakukan Indonesia tahun 2011; Malaysia tahun 2017; atau SEA Games sarat kontroversi di Filipina tahun 2019, yang sampai menyeret sejumlah politisi lokal (merangkap komite kompetisi) ke dalam kasus korupsi massal, juga perampasan Hak Asasi Manusia.
Bak jatuh di lubang yang sama, Kamboja juga menerapkan strategi serupa. Tergambarkan dari indikasi-indikasi yang menunjukan kalau Kamboja tengah mengambil keuntungan sepihak dari status tuan rumah, dan mengarah laiknya pijakan hegemonial. Misalnya memasukan olahraga lokal dan idealnya demi keluar sebagai pemenang. Sampai waktu tulisan ini dibuat (10 Mei 2023), Kamboja sendiri masih memimpin klasemen perolehan medali terbanyak SEA Games 2023.
Berikutnya, penyelenggaraan SEA Games di Kamboja juga tidak terhindar dari "upaya" pengerukan profit maksimal dari tuan rumah. Hal ini berangkat dari sektor penyiaran, tepatnya ketika Thailand melaporkan "pemalakan" hak siar senilai $800.000. Angka fantastis yang bagaikan bumi dengan langit, jika kita bandingkan dengan biaya Hak Siar di beberapa edisi terdahulu (Filipina 2019: $5000 dan Vietnam 2021: $10.000), walaupun akhirnya dibatalkan dan pihak Kamboja membebaskan biaya hak siar SEA Games 2023, sekaligus membebaskan ongkos menonton pertandingan.
Hanya saja, alih-alih dermawan, kebijakan filantropis ini malah menciptakan sensasi tersendiri, apalagi keputusannya baru dikeluarkan H-2 bulan acara, dan bertalian erat dengan langkah politik petahana di Kamboja.
Secara langsung atau tidak, temuan-temuan soal perilaku manipulatif negara tuan rumah harusnya bisa membuat komunitas masyarakat Asia Tenggara mempertanyakan kembali maslahat penyelenggaran SEA Games itu sendiri. Apalagi, jika ditambah deretan kontroversi match fixing, penyelewengan anggaran saat membangun fasilitas olahraga, hingga tensi tidak sportif atlet dan atau pendukung.
Ihwalnya, hajat SEA Games yang diklaim meriah dan berfaedah itu perlu dievaluasi. Salah satunya demi mengentaskan godaan "kejayaan semu" bagi pihak-pihak terlibat, sekaligus menyudahi gengsi dan perjudian besar dari penyelenggaraan ajang olahraga dua tahunan, yang selama ini tidak terlalu ampuh membawa Asia Tenggara harum di kancah olahraga dunia.
Atau, secara lebih tajam, mungkin model SEA Games yang dielu-elukan sebagai pemersatu bangsa Asia Tenggara; momen supremasi budaya; dan sejenisnya, perlu dibredel karena pada titik tertentu, hajat ini malah sanggup memantik banyak perpecahan hingga konflik, kendati balutannya berada di ranah sportivitas—dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan.
(RIA/tim)