Paris merupakan sebuah kota di Eropa yang sering dianggap sebagai salah satu go-to city untuk para pelancong dari berbagai negara. Eiffel Tower dan Louvre Museum adalah satu dari berbagai bangunan bersejarah yang kerap kali dijadikan destinasi utama oleh para turis karena bangunannya yang cantik dan memiliki sejarah tersendiri. Tidak heran apabila mengunjungi Paris selalu dijadikan bahan flexing orang-orang di media sosial. Namun, tidak sedikit pula orang-orang yang memberikan testimoni bahwa Paris merupakan sebuah kota yang cukup overrated.
Bahkan, ada sebuah istilah yang menjelaskan peristiwa ini. Paris Syndrome adalah sebuah istilah yang pertama kali dikenalkan oleh publikasi jurnal psikiatri Neuvre yang diterbitkan pada tahun 2004. Munculnya istilah ini berawal dari fenomena turis Jepang yang dipulangkan dari Paris dengan guncangan mental yang hebat karena banyaknya hal yang tidak menyenangkan selama masa trip-nya di kota tersebut. Bahkan hingga saat ini, Paris masih menjadi sebuah kota yang sebenarnya sangat overrated dengan berbagai ketidaknyamanan yang seringkali didapatkan oleh para turis dari berbagai negara.
Kota Paris dan Berbagai Masalahnya
Pada sebuah akun automated menfess di Twitter, terdapat sebuah cuitan yang menanyakan perihal benar atau tidaknya Paris adalah kota yang jelek untuk dikunjungi dengan foto Eiffel Tower sebagai pancingan untuk audiens. Postingan yang dibuat pada tanggal 29 April ini pun menuai seribu testimoni lebih dari pengguna Twitter lainnya yang pernah mengalami situasi tidak menyenangkan di kota tersebut ketika sedang liburan.
Respon untuk cuitan ini didominasi oleh berbagai orang yang kerap kali merasa bahwa Paris adalah kota yang terlalu ramai, hingga kebersihannya pun sangat amat terbengkalai. Mulai dari sampah-sampah yang berceceran dan mengotori sidewalk hingga bau tidak sedap yang tidak hentinya menghantui para pengunjung di beberapa spot kota tersebut.
Bukan hanya bau tidak sedap yang berasal dari sampah atau selokan, Paris juga sangat terkenal dengan bau pesing yang berasal dari para Parisian yang banyak memiliki peliharaan dan membiarkan peliharaannya buang air di sembarang tempat seperti tiang lampu, pepohonan dan berbagai fasilitas umum lainnya. Tidak hanya urine, kotoran anjing juga seringkali dibiarkan begitu saja di trotoar.
Selain ulah hewan peliharaan, bau pesing yang sering ditemukan di daerah Paris juga ternyata berasal dari Parisian itu sendiri yang memiliki kebiasaan buang air kecil sembarangan. Paris diketahui sebagai kota yang kekurangan toilet umum. Tidak seperti kota lain di Amerika Serikat, Australia, New Zealand, atau Great Britain, di mana lokasi toilet umum dapat ditemukan di mana saja. Masalah ini pun membuat Parisian sering buang air kecil kapan pun dan dimanapun mereka membutuhkannya.
Tidak sampai di sini saja, Paris juga merupakan salah satu kota di Eropa yang memiliki angka tunawisma tertinggi. Orang-orang tunawisma ini biasanya tidur di fasilitas umum seperti stasiun kereta bawah tanah kota. Karena mereka juga memiliki kebutuhan untuk buang air, mereka tidak mencari toilet dan mereka hanya buang air kecil di mana pun mereka mau.
Selain masalah kebersihan, Paris juga dikenal sebagai kota yang memiliki toleransi rendah kepada para turis yang berasal dari luar negara Prancis. Bukan menjadi hal yang mengagetkan lagi apabila Parisian cenderung sangat rasis. Sudah menjadi hal yang umum diketahui bahwa para turis yang menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi ketika mengunjungi cafe atau restoran sering direspon dengan ketus oleh Parisian. Bahkan pada beberapa cuitan, mereka mengaku pernah mengalami kejadian yang sangat tidak dapat ditolerir.
Perlakuan warga Prancis yang rasis bahkan pernah diangkat oleh Commission Nationale Consultative des Droits de l'Homme (CNCDH, organisasi Prancis yang memantau penghormatan terhadap hak asasi manusia) sebagai isu yang terus berlanjut hingga saat ini. Lembaga tersebut menggarisbawahi bahwa perilaku diskriminatif seperti rasisme, anti-semitisme, dan xenophobia masih menjadi sebuah hal yang benar-benar hidup dan ada di negara tersebut.
Tidak sampai di sini saja, masalah yang selalu disorot oleh para turis ketika mengunjungi Paris adalah tingkat kriminalitas yang cukup tinggi. Banyak orang yang mengatakan bahwa kota Paris adalah kota yang memiliki banyak copet serta penipuan.
Paris yang terkenal sebagai kota yang dipenuhi oleh copet dan penipuan memang sudah sangat terkenal. Bahkan, salah satu hal yang seringkali diingatkan kepada para turis yang ingin mengunjungi Paris adalah untuk berhati-hati dengan barang bawaannya ketika mengunjungi berbagai hot spot di kota tersebut. Lokasi seperti Eiffel Tower, Sacre-Coeur, Louvre dan Notre-Dame de Paris yang merupakan tujuan banyak turis merupakan daerah terkenal dimana pencopet sering menyerang.
Di kota Paris, ketika para pencopet ini sudah menemukan mangsanya, mereka akan menghampirinya dengan cara yang ramah, seperti meminta rokok, meminjam pemantik, atau bahkan menanyakan arah. Pencopet juga tidak selalu sendirian, mereka biasa bersekongkol dengan dua orang atau lebih. Pencopet ini memang melakukan pendekatan terlebih dahulu untuk mengetahui dimana korbannya menyimpan barang-barang berharganya.
Ketika seseorang di jalanan atau dimanapun di daerah Paris menghampiri dan menyentuh atau bahkan hanya sekadar menepuk punggung dengan ramah, sangat disarankan untuk pergi dari lokasi tersebut. Karena pada dasarnya, sangat jarang orang Paris yang cukup ramah untuk hanya sekedar berbincang-bincang dengan turis, terlebih lagi apabila turis tersebut tidak dapat berbahasa Prancis.
Apakah Paris Masih Worth to Visit?
Terlepas dari berbagai masalah yang selalu dialami oleh banyaknya turis yang mengunjungi kota ini, Paris memang memiliki pemandangan yang sangat indah untuk disaksikan secara langsung. Tetapi, apabila menyaksikan tourist attractions secara langsung mengharuskan kita untuk mengalami ketidaknyamanan yang dapat dikatakan cukup serius ini, mengeluarkan uang puluhan juta untuk liburan ke benua Eropa akan lebih worth it apabila mengunjungi kota-kota lain yang memiliki tingkat populasi yang rendah.
(DIP/tim)