Selama 1 tahun terakhir, kendaraan listrik booming di Indonesia. Di hulu, nikel digali habis-habisan agar memenuhi target pemerintah untuk membuat Indonesia menjadi salah satu produsen baterai mobil listrik terbesar di dunia. Sementara itu di hilir, masyarakat terus-menerus dianjurkan untuk berganti ke kendaraan listrik yang digadang-gadang sebagai transportasi ramah lingkungan. Untuk meningkatkan minat beli masyarakat, pemerintah sampai rela memberikan subsidi yang jumlahnya tidak sedikit. Tak hanya di situ, pemerintah berani berkomitmen untuk mengganti kendaraan dinas menjadi kendaraan listrik.
Kendaraan listrik telah menjadi primadona baru di pasar otomotif. Sampai Januari 2013, tercatat penjualan mobil listrik menembus 15 ribu unit. Sementara itu, penjualan motor listrik hingga akhir 2022 menembus 31 ribu unit. Sekilas, komitmen Indonesia untuk beralih ke kendaraan listrik tampak seperti sebuah prestasi. Bagaimana tidak, Indonesia akan dipandang sebagai negara yang berhasil menepati janjinya untuk merealisasikan pengurangan emisi. Namun di balik itu semua, realita di balik produksi kendaraan listrik menyimpan berbagai permasalahan; mulai dari sumber listrik yang masih bergantung pada batu bara, tambang nikel yang merusak lingkungan, hingga kondisi pekerja tambang yang mengkhawatirkan.
Pembangkit listrik masih menggunakan batu bara
Daya jual utama dari kendaraan listrik ialah efisiensi energi yang membuatnya ramah lingkungan dan mampu mengurangi polusi di kota-kota besar. Mobil listrik adalah solusi yang ditawarkan pemerintah agar masyarakat tidak lagi bergantung pada BBM yang emisinya menyumbang gas rumah kaca dalam jumlah tinggi. Masalahnya, di Indonesia, pembangkit listrik sebagian besar masih bergantung pada batu bara yang secara besaran emisi masih amat tinggi.
Hal ini berbeda dengan kasus di negara lain yang berhasil menurunkan emisi melalui penggunaan kendaraan listrik. Di Brasil, misalnya, kendaraan listrik efektif menurunkan emisi karena 75% listrik Brasil bersumber dari pembangkit listrik tenaga air. Selama kita masih bergantung pada batu bara, kendaraan listrik tidak akan menjadi solusi yang cukup untuk mengatasi krisis iklim.
Aktivitas tambang nikel merusak lingkungan
Salah satu komponen utama baterai kendaraan listrik adalah nikel. Selama ini, masyarakat diberitahu dampak positif kendaraan listrik tanpa diberitahu realita di balik industri nikel. Tambang-tambang nikel tersebar di berbagai wilayah; 6 daerah penghasil nikel terbesar adalah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, Papua Barat, dan Maluku. Masyarakat yang tinggal di sekitar tambang ini merasakan langsung bagaimana kehadiran tambang mencemari ruang hidup mereka.
Tahun lalu, artikel The Guardian yang ditulis oleh jurnalis Febriana Firdaus mengungkap kerusakan lingkungan di Pulau Obi, Maluku Utara, yang disebabkan oleh tambang nikel milik Harita Group dan Lygend Mining. Menurut artikel tersebut, operasi tambang nikel membuat sumber air di sekitar kawasan Desa Kawasi tercemar hexavalent chromium (Cr6) yang dapat menyebabkan kanker. Tak hanya itu, investigasi juga mengungkap penduduk Desa Kawasi terjangkit infeksi saluran pernapasan sejak kehadiran tambang.
Mirisnya kondisi pekerja industri nikel
Selain mencemarkan lingkungan, industri nikel juga memiliki segudang permasalahan yang dialami oleh para pekerjanya; mulai dari eksploitasi, upah yang tidak layak, hingga kematian. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Wired, jurnalis Peter Yeung mengungkap kondisi sebenarnya yang dialami oleh para pekerja di Indonesia Morowali Industrial Park-kawasan industri nikel terbesar di Indonesia yang terletak di Morowali, Sulawesi Tengah.
Sebagai salah satu penghasil nikel terbesar, IMIP memiliki peran sentral dalam rantai pasokan kendaraan listrik. Namun, artikel tersebut mengungkap bahwa banyak pekerjanya yang harus mempertaruhkan nyawa ketika bekerja. Mereka bekerja hingga 15 jam per hari, dibayar kurang dari Rp370 ribu per bulan, dan tak mendapatkan hari libur. Lebih parah lagi, kecelakaan kerja sudah menjadi hal yang lumrah dikarenakan minimnya standar keselamatan kerja.
Berbagai permasalahan di atas merupakan sisi gelap kendaraan listrik yang jarang terungkap kepada publik. Memang, kendaraan listrik bisa mengurangi polusi. Tapi, apakah hal ini sebanding dengan berbagai permasalahan yang berada di baliknya? Pada akhirnya, semua ini mengingatkan kita bahwa means sama pentingnya dengan ends. Selama permasalahan yang berada di hulu ini tidak diperbaiki, kendaraan listrik tidak akan bisa menjadi solusi yang berkeadilan.
(ANL/alm)