Masing-masing dari kita memiliki cara tersendiri untuk merayakan Hari Kartini. Namun, salah satu cara yang paling umum ditemui—terutama di kalangan perempuan urban—adalah dengan memakai kebaya. Bagi banyak perempuan, kebaya telah menjadi semacam simbol atas perjuangan yang dilakukan Kartini dalam memerdekakan perempuan. Hal ini mungkin sedikit bertolak belakang apabila kita mengingat bahwa di masa ketika Kartini masih hidup, kebaya merupakan pakaian tradisional yang kaku dan mengkotak-kotakkan perempuan berdasarkan kelas dan etnis mereka.
Pakaian lebih dari sekedar tren atau kebutuhan, pakaian juga bisa menjadi penanda zaman, termasuk kebaya. Penggunaan kebaya di 1900an akan memiliki konteks yang berbeda dengan penggunaan kebaya di 2023. Pada masa kolonial, kebaya mungkin identik dengan pakem dan tradisi—sesuatu yang bersifat tetap dan tak bisa dikompromi.
Namun hari ini, perempuan menggunakan dan memaknai kebaya dengan cara yang begitu cair. Kebaya tidak lagi digunakan pada acara formal seperti pernikahan dan acara kenegaraan, tapi juga digunakan untuk fesyen sehari-hari; seperti ke tempat kerja atau saat sedang hangout bersama teman. Kebaya bahkan telah menjadi salah satu fashion item yang dicari-cari oleh para pemburu pakaian vintage.
Cara menggunakan kebaya yang berubah seiring waktu menunjukkan adanya pergeseran makna kebaya dari masa ke masa. Lewat kebaya, kita juga bisa mengungkap narasi mengenai perempuan Indonesia yang berubah dan dibentuk oleh kondisi sosiokultural pada masa itu.
Penanda Kelas di Masa kolonial
Berdasarkan berbagai sumber, kebaya dipercayai muncul di nusantara pada abad ke-15 di masa Kerajaan Majapahit. Maka dari itu, kebaya secara populer diasosiasikan dengan budaya Jawa. Di masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda mengkotak-kotakkan warga berdasarkan kelas dan etnis. Distingsi ini salah satunya terlihat melalui pakaian, termasuk kebaya.
Dalam artikel jurnal berjudul "Kebaya dan Perempuan: Sebuah Narasi Tentang Identitas", Trismaya (2018) mengatakan bahwa kebaya merupakan penanda perbedaan kelas antara priyayi dan rakyat biasa. Perempuan Eropa dan keturunan bangsawan menggunakan kebaya putih berenda dengan kain batik yang motifnya dipengaruhi budaya Eropa. Sementara itu, perempuan pribumi menggunakan kebaya berwarna-warni tanpa renda dengan kain batik sesuai pakem tradisional.
Dikukuhkan sebagai Budaya Nasional oleh Soekarno
Menjelang masa kemerdekaan, seiring dengan bangkitnya nasionalisme di kalangan masyarakat, warga Eropa kembali menggunakan pakaian barat karena kebaya dianggap identik dengan kaum pribumi. Sementara itu di kalangan masyarakat pribumi, kebaya menjadi simbol anti-kolonial. Pasca kemerdekaan, Soekarno yang berjiwa nasionalis tinggi melakukan berbagai cara untuk menjauhkan Indonesia dari segala macam pengaruh budaya Barat.
Dalam merumuskan identitas Indonesia, Soekarno akhirnya menetapkan kebaya sebagai busana nasional. Meskipun, kebaya sendiri sebenarnya merupakan hasil dari percampuran berbagai budaya yang masuk ke nusantara. Soekarno menganggap kebaya sebagai busana yang memancarkan identitas perempuan Indonesia.
Simbol "Ibuisme" di Orde Baru
Di masa Orde Baru, peran perempuan semakin dibatasi di ruang publik. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai organisasi dan program pemerintah yang memusatkan peran perempuan di ranah domestik, seperti Dharma Wanita dan PKK. Sementara itu, istri Soeharto yaitu Ibu Tien, memposisikan diri sebagai "figur ideal" perempuan Indonesia. Ibu Tien adalah sosok perempuan ideal yang direstui oleh negara—ia adalah ibu yang menyayangi anak-anaknya dan ia juga adalah istri yang setia mendampingi suaminya. Dan ketika mendampingi Soeharto, Ibu Tien selalu mengenakan kebaya dengan rambut yang disanggul rapi.
Penulis Julia Suryakusuma menggunakan istilah "ibuisme" untuk menjelaskan bagaimana negara membatasi ruang perempuan di masa Orde Baru. Perempuan harus melayani keluarga, masyarakat, dan negara, tanpa terlibat di sektor publik. "Ibuisme" tidak dapat dipisahkan dengan kebaya yang selalu digunakan Tien Soeharto. Sanggul, selop, jarik, dan atasan berlengan panjang kebaya yang ketat membuat perempuan sulit untuk bergerak bebas-baik secara harfiah maupun simbolis.
Kebaya Kontemporer di Era yang Lebih Progresif
Tumpasnya rezim Orde Baru membawa kebebasan bagi tumbuhnya gerakan perempuan yang progresif. Perempuan kini menjadi punya pilihan untuk terlibat di sektor publik. Di saat yang bersamaan, penggunaan kebaya semakin beragam dan tidak terpaku pada pakem tradisional. Beberapa tahun terakhir, kebaya seakan mengalami era renaissance. Munculnya komunitas seperti Remaja Nusantara mendorong anak muda di kota-kota besar untuk menggunakan kebaya sebagai pakaian sehari-hari; dengan desain dan styling yang bervariasi.
Cara penggunaan kebaya yang lebih cair dan bebas ini menjawab kebutuhan perempuan urban yang berpartisipasi aktif dalam ruang publik. Model kebaya yang sleeveless, misalnya, memungkinkan perempuan untuk memakai kebaya tanpa harus merasa sulit bergerak. Selain itu, kebaya juga bisa dipakai sebagai atasan atau outerwear yang dipadukan dengan celana.
Gelombang tren kebaya di kalangan generasi muda ini seakan menjadi momen untuk merebut kembali makna kebaya yang sebelumnya diintervensi oleh negara. Apabila di masa Orde Baru kebaya menjadi simbol atas pembatasan ruang perempuan, kini kebaya justru menjadi simbol femininitas modern bagi masyarakat urban.
Perjalanan kebaya dari masa ke masa menunjukkan bahwa meski kebaya berangkat dari pakaian tradisional yang memiliki pakemnya sendiri, tapi kini di masa yang lebih modern kebaya dimaknai kembali secara lebih cair dan beragam. Perjalanan kebaya dari masa ke masa menunjukkan bahwa di masa kolonial hingga Orde Baru, makna kebaya cenderung dinarasikan oleh mereka yang memiliki kekuasaan, yaitu negara.
Tapi, perkembangan kebaya hari ini menunjukkan bahwa kebaya adalah budaya yang dinamis dan tak dapat dikerucutkan menjadi pemaknaan tunggal. Dan siapapun yang memilih untuk menggunakan kebaya memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka mau memaknai kebaya yang mereka pakai.
(ANL/alm)