Drama Korea The Glory mendapat banyak perhatian dari audiens Indonesia, bahkan serial ini masuk ke dalam daftar Top 10 di Netflix. The Glory bercerita tentang penyintas bullying bernama Moon Dong-eun yang membuat rencana balas dendam terhadap sekelompok orang yang dulu pernah merundungnya sewaktu SMA. Moon Dong-eun mengalami perundungan yang parah; mulai dari kekerasan verbal hingga kekerasan fisik.
Selain menjadi korban perundungan di sekolah, Dong-eun juga tidak mendapatkan bantuan dari orang dewasa yang seharusnya melindunginya. Ibunya menelantarkannya, guru di sekolahnya pun justru menyalahkan Dong-eun dan membela pelaku yang berasal dari keluarga mapan. Seperti luka bakar di tubuhnya, trauma Moon Dong-eun tak pernah sembuh hingga ia dewasa. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mencari keadilan bagi dirinya sendiri, ia ingin agar para pelaku tersebut mengakui perbuatan mereka dan meminta maaf kepadanya.
Beberapa adegan bullying dalam The Glory terinspirasi dari kisah nyata, salah satunya yaitu adegan ketika kulit Dong-eun dibakar menggunakan curling iron. Kasus bullying di Korea Selatan memang cukup mengkhawatirkan. Survei dari Kementerian Pendidikan Korea Selatan menemukan bahwa angka kekerasan di sekolah meningkat sejak pandemi berakhir. Sebanyak 1.7 persen dari 3.21 juta pelajar mengatakan mereka pernah mengalami perundungan; dari jumlah tersebut sebanyak 41.8 persen merupakan kekerasan verbal dan sisanya adalah kekerasan fisik.
Meski The Glory mengangkat bullying di Korea Selatan, tapi serial ini juga relevan bagi audiens Indonesia yang sudah tak asing lagi dengan fenomena bullying. Sama halnya dengan The Glory, bullying di Indonesia juga banyak mengambil tempat di institusi pendidikan dan melibatkan anak hingga remaja.
Bullying di Indonesia
Pada 23 maret 2023, publik dikejutkan oleh berita seorang siswa SD berumur 11 tahun berinisial MR yang tewas karena bunuh diri. Melansir dari CNN, polisi menyatakan siswa tersebut diduga mengalami depresi akibat dirundung oleh teman-temannya. Menurut keterangan keluarga, MR kerap kali murung sepulang sekolah, ia diolok-olok temannya lantaran tak memiliki ayah.
Kasus di atas tak hanya menunjukkan betapa gentingnya kasus bullying di Indonesia, tapi juga bagaimana sekolah belum bisa menjadi ruang yang aman bagi anak. MenurutĀ laporan Perundungan di Indonesia yang diterbitkan UNICEF tahun 2020, sebanyak 41 persen pelajar berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan setidaknya beberapa kali dalam 1 bulan. Fakta ini membuktikan bahwa bullying telah menjadi fenomena yang terjadi secara luas.
Menurut Feka Angge Pramita, psikolog klinis di RSKB Columbia Asia Pulomas, bullying biasanya dilakukan oleh mereka yang merasa lebih kuat atau berkuasa dengan tujuan menyakiti atau memperlakukan mereka yang lebih lemah; baik dari segi usia, fisik, pangkat, atau tingkat sosio ekonomi. Dengan kata lain, bullying dilakukan oleh pelaku untuk menunjukkan bahwa dirinya berkuasa atau eksis di lingkungannya.
Di lingkungan sekolah, bullying seringkali bermula dari candaan atau sekedar 'lucu-lucuan'. "Jika dilakukan pada usia sekolah dasar, bisa jadi pelaku awalnya tidak menyadari bahwa perundungan yang dilakukannya memiliki dampak yang negatif," kata Feka kepada CXO Media. Feka mengatakan, ketika korban melapor kepada orang dewasa, pelaku bisa saja semakin kesal dan membalas dendam kepada korban.
Mengingat bullying bisa menjadi petaka bagi korban, pertanyaannya kemudian adalah apa yang menyebabkan seorang anak atau remaja bisa menjadi pelaku kekerasan. Menurut Feka, ada 4 faktor yang bisa menyebabkan perilaku bullying, yaitu emosi, sekolah, keluarga dan teman sebaya. Masing-masing faktor ini memberikan konteks yang berbeda-beda terhadap perilaku bullying. Misalnya dalam konteks keluarga, pelaku bisa saja merupakan korban kekerasan dan pada akhirnya ia memperlakukan orang lain sebagaimana ia diperlakukan.
Peran Penting Bystander
Empati adalah salah satu pondasi penting dalam tumbuh kembang anak. Ketika anak tidak bisa belajar berempati dari sosok yang ada dalam kehidupan mereka, besar kemungkinannya ia melakukan kekerasan terhadap orang lain di kemudian hari. Dan seperti yang kita lihat dalam The Glory, hal ini bisa menyebabkan perilaku bullying yang menyebabkan trauma berkepanjangan bagi korban. Korban bullying tidak hanya merasa terintimidasi, tapi juga merasa malu akibat perundungan tersebut. Oleh karena merasa tidak berdaya, korban pun akhirnya merasa terisolasi secara sosial.
Feka mengatakan bahwa korban bullying membutuhkan proses yang cukup panjang untuk bisa pulih dari traumanya. Proses yang panjang tersebut juga membutuhkan intervensi dari konselor, psikolog, atau bahkan psikiater. Selain itu sebagai upaya pencegahan, sekolah seharusnya juga bisa menjadi tempat bagi siswa untuk mempelajari keterampilan mengatur emosi atau keterampilan sosial.
Satu hal penting yang juga diungkapkan oleh Feka adalah peran penting bystander atau pengamat. Pengamat yang dimaksud di sini adalah mereka yang menyaksikan bullying. Menurutnya, studi telah membuktikan bahwa cara paling efektif untuk menghentikan pelaku adalah dengan mengaktifkan bystander. "Karena sebagian besar anak-anak adalah saksi bullying di beberapa titik, penting untuk mengajari semua anak bahwa mereka memiliki peran penting dalam menghentikan bullying," katanya.
Bila kamu mengetahui bullying yang terjadi di sekitarmu, jangan ragu untuk menghentikan pelaku dan membantu korban. Apabila kamu mengalami kondisi yang memerlukan bantuan, kamu bisa menghubungi layanan Sahabat Perempuan dan Anak melalui hotline 021-129. Kalau kamu memerlukan bantuan konseling, kamu bisa mengakses direktori layanan kesehatan mental yang telah tersedia di Pijar Psikologi.
(ANL/tim)